NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Fantasi / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 4 Remake: Wanita Misterius

Tujuh hari telah berlalu sejak malam itu.

Sejak dunia Sho runtuh dalam sekejap mata—dibakar oleh kekejaman, dihancurkan oleh kehilangan. Kini rumah batu yang sekaligus toko bunga, dulunya terasa hangat dan riuh oleh tawa, namun sekarang telah sunyi seperti makam tanpa nisan.

Tapi rumah itu tidak lagi berantakan. Tetangga-tetangga dari desa Rivera datang bergantian sejak fajar pertama pasca tragedi. Ada yang memperbaiki pintu depan yang patah, ada yang menyapu sisa darah yang mengering di lantai dapur, dan ada pula yang menanam kembali bunga-bunga di halaman yang terinjak-injak.

Namun semua itu... Tidak mengembalikan kehangatan.

Sho belum sekali pun keluar rumah. Anak laki-laki itu hanya duduk, diam di sudut kamarnya, di atas ranjang kayu yang terlalu besar kini untuk tubuh sekecil dirinya. Mata merahnya yang dulu bersinar ceria kini kusam, kantung matanya menghitam, dan bibirnya hampir tidak pernah terbuka.

Ia tidak menangis. Ia juga tidak bicara. Seolah seluruh air mata dalam tubuhnya telah habis saat melihat ibunya tersungkur dengan senyum terakhir di bibir.

Setiap pagi, seorang wanita tua yang tinggal tak jauh dari rumah mereka datang mengetuk pintu.

“Sho... Ini Ibu Rena,” panggilnya lembut.

Ia tidak menunggu jawaban, hanya meletakkan sepiring nasi hangat dan semangkuk sup kaldu di meja kecil dekat jendela.

Setiap hari ia melakukan hal yang sama. Dan setiap hari, saat ia kembali keesokan paginya, makanan itu selalu habis... Namun tak ada jejak bahwa Sho pernah bergerak keluar dari kamar nya.

Tirai jendela tetap tertutup.

Pelita tetap menyala sepanjang malam. Dan kamar itu... Tetap sunyi.

Hari ketujuh, hujan turun tipis saat pagi menjelang. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan kenangan yang enggan pudar. Sho duduk memeluk lututnya di atas ranjang, mengenakan pakaian lama yang kini terlalu kebesaran.

Di tangannya, ia memegang bunga lonceng biru yang telah layu.

Bunga yang dulu ia rawat bersama ibunya.

Bunga yang... Katanya bisa bicara saat angin pagi datang.

Tapi sekarang... Mereka pun diam.

Tidak ada yang bicara padanya. Tidak pohon. Tidak angin. Tidak bunga. Bahkan langit pun hanya menggantung kelabu tanpa pesan.

“Bunga ini layu... Tapi belum gugur. Sama seperti aku, ya, Bu?” bisiknya kepada dirinya sendiri sembari berharap bahwa ibunya masih hidup.

Suara pintu diketuk perlahan. Seperti biasa.

“Sho... Ini Ibu Rena. Hari ini aku bawakan sup kacang dan roti hangat. Kudengar kau suka itu.”

Tak ada jawaban.

“Cuaca dingin, ya... Mungkin nanti sore akan turun hujan lagi. Pastikan pakai selimut tebal, ya, Nak.” Lalu langkah-langkahnya menjauh, perlahan.

Dan Sho tetap duduk diam.

Namun hari ini sedikit berbeda.

Saat malam tiba, dan suara jangkrik kembali bergema di luar jendela, Sho turun dari ranjang.

Tubuhnya masih lemah, tapi kakinya melangkah perlahan ke ruang tengah. Ia menatap lilin yang menyala di meja makan, dan piring kosong dari siang tadi.

Perlahan, ia membuka tirai jendela—untuk pertama kalinya sejak malam itu.

Dan di luar sana, di bawah cahaya bulan yang redup, taman kecil di halaman rumahnya terlihat... Sedikit lebih hidup.

Bunga-bunga yang rusak mulai tumbuh kembali. Daun-daun yang terinjak sudah berganti baru. Dan di bawah pohon kecil di sudut taman, seseorang telah menaruh boneka kayu kecil berbentuk kelinci, dengan pita biru di lehernya.

Sho menatapnya lama.

Ada sesuatu di dalam dadanya yang bergolak.

Bukan kesedihan... Bukan juga kemarahan.

Lebih seperti... Kehangatan samar yang nyaris ia lupakan.

Ia tidak tersenyum.

Tapi untuk pertama kalinya, matanya tidak kosong.

Ia menatap ke langit.

Dan meski awan masih menggantung berat, ia tahu di balik itu semua... Bintang-bintang masih ada.

Dan ia berbisik sangat pelan, hampir tak terdengar.

“...Ibu...”

Kemudian ia kembali ke ranjang, memeluk bunga layu di dadanya, dan menutup mata.

---

Malam kembali turun ke atas Rivera. Hujan telah reda sejak sore tadi, namun sisa embun masih menggantung di ujung dedaunan. Langit pekat tanpa bintang, seakan dunia pun sedang berduka.

Di dalam rumah kecil keluarga Noerant, Sho masih tertidur di ranjangnya. Nafasnya pelan dan teratur, tapi tubuhnya menggeliat gelisah. Bahkan dalam tidur, bayangan malam berdarah itu belum sepenuhnya hilang dari jiwanya.

Tapi malam ini... Ada sesuatu yang berbeda.

Tanpa suara.

Tanpa derit engsel.

Tanpa angin yang bertiup.

Seseorang... Telah berada di dalam kamar itu.

Ia duduk tenang di sisi tempat tidur Sho, mengenakan gaun panjang berwarna hitam kelam yang memantulkan kilau perak di bawah cahaya lilin. Rambutnya hitam legam, panjang dan terurai sempurna, seakan disisir angin malam. Mata merah rubi menyala pelan—cahaya yang sama dengan mata Sho, namun dalam bentuk yang jauh lebih dalam... Tebih tua... Dan lebih tajam.

Wanita itu tampak anggun, tapi anehnya... Tidak menakutkan.

Sosoknya seolah tidak benar-benar nyata, seperti bayangan yang tertambat pada mimpi.

Sho, yang sebelumnya tampak resah, mulai tenang. Tangan kecilnya yang menggenggam bunga layu perlahan mengendur.

Wanita itu menatap anak laki-laki itu dengan tatapan tak terdefinisikan—campuran iba, kasih, dan... Kesunyian.

“Namamu... Sho, ya?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

Suara itu seperti gema embun yang jatuh ke daun. Dingin, tapi lembut.

Tidak ada balasan dari Sho. Ia masih tertidur.

Wanita itu hanya mengangguk kecil. Lalu duduk diam, menemani.

Tak ada lagi kata-kata. Tak ada gerakan. Hanya keheningan yang mengendap... Dan perasaan aneh di udara yang seolah mengatakan, anak ini tidak sendiri.

Dan begitulah berulang selama beberapa malam.

Setiap malam—saat langit paling sunyi, dan bintang tidak terlihat—wanita itu akan muncul di sisi tempat tidur Sho. Tidak pernah membuka pintu, tidak pernah terdengar langkahnya. Ia hanya ada.

Ia terkadang pernah menyentuh Sho, mengelus-elus rambut cokelat anak itu.

Kadang berbicara satu-dua patah kata yang tak dimengerti.

Kadang hanya menatapnya tidur.

Dan setiap kali ia hadir, malam terasa lebih ringan.

Udara di kamar tidak terasa sesak.

Mimpi buruk tidak datang.

Dan bunga layu di tangan Sho, anehnya, belum juga hancur.

Pada malam kelima, Sho terbangun pelan. Ia menatap sosok wanita itu dalam samar cahaya lilin.

Mereka hanya saling menatap tanpa bicara. Sho tidak bertanya. Ia tahu... Wanita itu bukan orang biasa. Tapi entah kenapa... Ia tidak takut.

“...Siapa... Kau?” tanya Sho, suaranya serak.

Wanita itu tersenyum lembut, matanya bersinar redup.

“Panggil aku sesukamu,” jawabnya singkat.

Tidak ada penjelasan.

Tidak ada alasan.

“Cora...” Ucap Sho lirih.

Wanita itu hanya tersenyum mendengar nama yang diberikan oleh Sho kepada dirinya.

Dimalam itu, Sho tak kembali tidur sendirian.

Dan meskipun ia tak tahu siapa “Cora” sebenarnya, atau mengapa ia selalu datang hanya saat malam... Ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa wanita itu bukan musuh. Ia bukan penyelamat... Tapi juga bukan ancaman. Ia adalah misteri.

Dan sejak malam itu, Sho tidak merasa hampa.

Ia masih sedih.

Ia masih sering diam.

Tapi ia tahu...

Ada seseorang yang mengawasi.

Dan entah kenapa... Untuk pertama kalinya, Sho tidak merasa sendirian.

1
J. Elymorz
lucuuuu
J. Elymorz
lucuuuu, sifat mereka berbanding terbalik
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
J. Elymorz
si krepes dateng tiba-tiba banget plss, krepes jangan jadi beban yh/Grievance//Grievance/
J. Elymorz
akh... gantung banget plss/Grievance//Grievance/
J. Elymorz
SJSKSKKSK APASI SHO, PINTER BGT GOMBALNYA
J. Elymorz: aku pas baca chapter ini
awal: /Grimace/
tengah: /Hey/
akhir: /Kiss/
total 1 replies
J. Elymorz
aduh... perasaan yg rumit..
J. Elymorz
yara santai banget pls/Shame/
J. Elymorz
BAGUSS LIORAA
J. Elymorz
Ayooo lioraaaa, kamu pasti bisaaa/Determined//Determined/
J. Elymorz
AKHIRNYAAA SHO BALIKK/Joyful//Joyful/
J. Elymorz: "Kau adalah matahari ku.." KSSKKSKSKSKSKS APASI SHO, GOMBAL BGT/Hammer//Hammer/
total 1 replies
J. Elymorz
Persephone sayang banget sama sho/Cry//Cry/
J. Elymorz
wamduh ada plagiatnya sho, dasarr
J. Elymorz
baguss/Cry//Cry/
J. Elymorz
Ga tidur sama makan selama 3 hari? Bener-bener gila!! /Skull//Skull/
J. Elymorz
lucuuu, pertemuan liora dan cresswell membawa nostalgia saat pertama kali mereka bertemu/Hey//Hey/
J. Elymorz
akhirnya liora jadi high human/Smile//Smile/
J. Elymorz: ikut senangg/Smile//Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!