Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DELAPAN
Gala menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang letih sebelum menekan nomor Bara yang baru saja ia dapatkan dari Nara. Dengan punggung menyandar nyaman di kursi, ia mencoba menenangkan detak jantung yang masih berdebar.Tidak sampai beberapa detik, suara Bara yang hangat dan akrab langsung menyapa dari layar ponselnya.
"Hee... gimana kabarmu, lama menghilang dan kamu baru menghubungiku Ga," suara Bara terdengar begitu renyah, namun tersembunyi rasa penasaran tiba tiba Gala menghubunginya, setelah sekian lama tak terdengar kabar keberadaan sahabatnya itu.Gala tersenyum tipis, memancarkan aura ketampanannya.
"Ya, ponselku hilang di bandara,saat penerbangan ke Amerika, tiga tahun lalu" ujarnya, mengingat kembali kejadian itu yang seakan memutus hubungan mereka.
Cerita tentang ponsel yang hilang itu hanya permukaan dari banyaknya rintangan yang mesti ia hadapi, tapi untuk saat ini, mendengar suara Bara sudah cukup membuatnya merasa lebih baik.Bara tertawa kecil.
"Wah, harusnya kau lebih hati-hati, Ga. Tapi yang penting sekarang kita bisa kembali berkomunikasi. Kamu ada waktu? Kapan kita bisa bertemu ngopi bareng. Banyak cerita yang harus diceritakan," ajaknya penuh antusias.
Gala mengangguk,"boleh, atur saja" sahut Gala menyambut keinginan Bara.
"Oke, kebetulan aku sedang berada di Semarang saat ini," ucap Bara."Hem, shareloc. Aku nyusul" pinta Bara. Gala pun langsung membagikan titik lokasinya saat ini. Tak butuh waktu lama, Bara datang mengetuk apartemen milik sahabatnya.
Gala membuka pintu apartemen dengan tenang. Bara, dengan rambut yang sedikit acak-acakan tapi masih terlihat rapi, berdiri di depan pintu dengan senyum lebar. Mereka saling merangkul kuat, seperti dua sahabat lama yang telah terpisah oleh waktu dan jarak.
Bara melangkah masuk, mengamati apartemen Gala yang terkesan mewah dan namun nyaman. "Kamu sudah menata tempat ini dengan baik, Ga," puji Bara, sambil duduk di sofa yang empuk.Gala menyusul duduk di sampingnya, kedua tangan diangkat menunjuk Bara dengan ekspresi bangga.
"Wah, makin kesini kelihatannya makin sukses Bar," katanya, mengamati penampilan Bara dari atas ke bawah. Jas yang dikenakan Bara tampak mahal dan terawat dengan baik, menambah aura profesionalisme.Bara hanya terkekeh, menepuk-nepuk lengan sofanya.
"Ah, kamu ini bisa saja. Aku hanya berusaha sebaik mungkin," jawabnya dengan rendah hati. Keduanya lalu terlibat dalam pembicaraan panjang, mengejar ketinggalan cerita satu sama lain,sambil menikmati secangkir kopi.
Disela obrolannya, tiba tiba Gala menanyakan sesuatu yang mengganjal di fikirannya sejak tadi.
"Bar,ada hal yang ingin aku tanyakan, prihal Nara"ujar Bara dengan wajah seriusnya.
Kening Bara berkerut menatap Gala yang terlihat gelisah.
"Kenapa dengan Nara,? Apa kamu sudah bertemu dengannya?"tanya Bara memasang wajah penasaran.
Gala mengangguk, namun anggukannya itu terlihat kaku.
"Hem,aku sudah bertemu, Nara.Tapi sepertinya Nara tak mengenaliku, sama sekali."Bara mengangguk mengerti apa yang Gala hawatirkan saat ini.
"Ya,aku tahu dia tidak mengingatmu,"
sahut Bara dibarengi helaan nafas yang dalam.
Gala menyipit, menuntut Bara untuk menjelaskan.
"Kenapa bisa, sejak kapan Nara tak mengingatku?" Ada rasa sedih dan kecewa dalam hati Gala, saat mengetahui faktanya, jika Nara melupakan kenangan saat bersamannya dulu.
"Sejak hujan petir tiga tahun lalu,saat aku dan Nara pulang mengantarmu di bandara,tiba tiba trauma yang kembali merenggut memorinya"Bara pun menceritakan keadaan Nara saat itu,hingga dirinya harus membawa Nara ke rumah sakit.
Gala terdiam, matanya terpaku pada secangkir kopi yang mulai dingin di hadapannya.
"Jadi, memang benar dia tidak mengenali siapa pun dari masa lalunya?" tanyanya, suara Gala terdengar menyimpan kesedihan.Bara mengangguk pelan, "Iya, kecelakaan masa kecilnya itu, menyisakan trauma yang mendalam, hingga kini, Nara masih belum bisa menghadapi hujan yang disertai petir,karena situasi itu dapat merusak memorinya, dan memperburuk ingatannya," jelas Bara dengan wajah dibingkai rasa sedih.
Bara menghela napas, seakan berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur Gala."Sangat sulit melihatnya seperti itu, Ga. Dia sering terlihat kebingungan, seolah mencari puzzle yang hilang dalam ingatannya," tambah Bara, matanya menunjukkan rasa simpati yang mendalam.Gala menyesap kopinya perlahan, mencoba menenangkan gejolak di dadanya yang kian tak keruan.
"Apakah ada kemungkinan ingatannya akan kembali?" tanyanya dengan harapan yang nyaris putus asa. Meski dia tahu, pertanyaan itu sudah sering ia lontarkan, tapi tetap saja, Gala tak mampu menghentikan dirinya.
Bara menghela napas, raut wajahnya menyiratkan keputusasaan.
"Dokter bilang itu mungkin, Ga. Tapi kita nggak tahu kapan, atau bahkan apakah itu benar-benar akan terjadi." Jawabannya langsung membuat hati Gala terasa berat, seperti ada beban yang semakin menekan.
Namun Bara kembali melanjutkan, mencoba menguatkan Gala. "Tapi jangan khawatir, kalau kamu benar-benar ingin membuatnya ingat, pelan-pelan saja mendekatinya. Aku yakin, dia bakal merasa senang kalau tahu kamu masih ada untuknya, masih peduli sama dia." Gala hanya bisa mengangguk kecil dan memaksakan senyum.
Senyum yang rasanya lebih seperti tameng untuk menutupi luka yang semakin dalam.
"Ini berat, Bar," gumamnya, lebih untuk diriku sendiri daripada untuknya. Dalam hati, Gala berdoa, memohon agar gadis kecilnya—Nara, gadis yang dulu memanggilnya dengan suara ceria, bisa kembali mengenalinya suatu hari nanti.
Bara memperhatikan Gala dalam diam, dan akhirnya bertanya dengan nada lembut, tapi menusuk.
"Kamu nyerah, Ga?" tentu Gala menggeleng, menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.
"Bukan nyerah," katanya dengan nada getir, meski sebenarnya ia pun ragu pada jawabannya sendiri."Masalahnya, Nara yang sekarang bukan Nara yang aku kenal dulu, Bar. Dia... dia lebih galak daripada nenek sihir!"
Aku Gala dengan tatapan jauh ke luar jendela, meraup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan kelelahan emosional yang terlalu nyata.
Tapi kenangan itu terus berdengung di kepalanya. "Bagaimana aku bisa mendekatinya, kalau setiap kali bertemu, aku merasa seperti berbicara dengan orang asing?" ceplos Gala.
Mendengar keluhan Gala, Bara terkekeh geli sambil menyeka rambut hitamnya.
"Wah, parah kamu. Bisa-bisanya mengatai adikku nenek sihir," ujarnya dengan nada menahan tawa.
Gala menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Kamu pikir aku bercanda? Ini serius, Bara. Dua hari lalu, adikmu yang manis itu memakiku habis-habisan di depan umum, lalu menyiram wajah tampanku ini dengan susu Milo. Susu Milo, Bar, bukan air putih!" Gala mengangkat alisnya, mencoba menegaskan bahwa kejadian itu bukan lelucon.
Bara semakin tergelak, seperti tidak percaya mendengar cerita sahabatnya. "Apa?! Nara sampai segitunya? Menyirammu dengan susu Milo? Emangnya, apa yang kamu lakukan sampai dia marah seperti itu, Ga?" Bara bertanya, setengah penasaran, setengah tak habis pikir.
Gala tiba-tiba tersenyum kecil, matanya menerawang, mengingat wajah Nara yang merah padam, seperti tomat yang habis tersiram air panas.
"Ya begitulah, Bar. Aku memang kena siram. Tapi yang lebih parah, aku diteriakin mesum. Di kafe pula. Semua orang yang ada di sana, menatapku, Bar. Semua. Hanya gara-gara aku berusaha melepaskan kumbang yang lengket di punggungnya." Bara menatap Gala, mencoba mencerna ucapannya.
"Tunggu. Maksudmu, kumbang sungguhan?"Bara memastikan.
"Iya, kumbang sungguhan!" Gala mengangguk penuh semangat. Tapi senyumnya memudar sedikit saat mengenang bagian berikutnya.
"Kamu tahu, gara gara kumbang sialan itu, Dia kira aku sengaja narik tali branya, Bara. Tali bra! Coba bayangkan betapa kacaunya situasi itu!" Gala tertawa kecil, meski ada sedikit nada frustrasi dalam suaranya.
Bara hanya bisa geleng-geleng kepala, antara kasihan dan ingin tertawa lebih keras. "Gila, Ga. Kamu dan Nara memang selalu punya cerita absurd. Tapi tetap saja, kamu benar-benar berani cari perkara dengan gadis kecil bar-bar itu." ceplos Bara tak tahan menahan tawanya.