"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergok
Brukk!
Tubuhnya seketika limbung ke depan dan jatuh tersungkur ke bawah.
Sejenak, suasana menjadi hening. Orang-orang di sekitar menoleh ke arahnya. Namun, Murni tak terlalu peduli dengan tatapan mereka. Fokusnya hanya pada rasa sakit yang menjalar dari kakinya dan dagunya yang sempat menghantam lantai kayu pelaminan.
"Auh... Sakit..." desisnya, meringis kesakitan sambil mencoba menopang tubuhnya dengan satu tangan.
Beberapa orang mulai berbisik, sementara yang lain mendekat untuk melihat keadaannya. Murni menunduk, merasa malu sekaligus menahan nyeri yang menjalari tubuhnya.
Seseorang dari arah belakang buru-buru menghampirinya.
“Oh my God! I’m so sorry! Are you okay?” Suara berat seorang pria yang terdengar panik, menderu indra pendengaran Murni.
Membuatnya mendongak pelan, dan melihat seorang pemuda berwajah asing, sepertinya bukan dari desa itu, tampak terlihat resah, menatap Murni dengan wajah bersalah.
Murni masih meringis menahan sakit terutama di kakinya, ia mengangguk kecil.
“Ndak apa.” Ujarnya pelan sambil tersenyum menenangkan, meski jelas ia masih kesakitan.
Pria itu langsung mengulurkan tangannya ke arah Murni, menawarkan bantuan untuk membantunya berdiri. Dengan ragu, Murni menyambut uluran tangan itu dan perlahan bangkit. Tapi saat ia menapakkan kaki kirinya...
“Akh…” Murni meringis tajam.
Perih dan nyut-nyutan menjalar cepat dari pergelangan kaki kirinya. Ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa nyeri itu, sepertinya kakinya terkilir.
Melihat itu, si pria tampan semakin panik. “Do you need help? I didn’t mean to step on your dress. I swear, I’m really sorry.”
Murni mengerutkan dahinya, entah apa yang pria itu ucapkan, ia sama sekali tidak mengerti dengan bahasa asing itu.
Beruntungnya saat SMA dulu Murni sempat mendapatkan materi bahasa inggris, membuatnya sedikit tahu bahasa apa yang pria itu pakai.
Dengan ragu-ragu Murni menjawab sebisanya.
“I-it’s okay… Ndak apa-apa.” Ujar Murni lagi sambil memaksakan diri berdiri tegak, lalu berjalan pelan menuruni pelaminan.
Ia sengaja memilih jalan belakang pelaminan yang lebih sepi, karena bagian depan masih ramai dengan tamu dan kerabat pengantin yang bersua foto.
Pria itu tetap mengikutinya dari belakang.
“Wait, are you sure you’re okay? You’re limping seriously, let me help you.”
"Help you? Itu artinya dia mau bantu aku?" Batin Murni, mencoba menerjemahkan kata-kata yang bisa ia tangkap.
Murni hanya melambaikan tangan pelan. “
"N-no problem... Tida apa-apa...” Ulangnya sambil berjalan terseok-seok.
Tapi langkahnya semakin berat, ketika rasa nyeri di kakinya kembali berdenyut hingga membuat matanya mulai berair.
Dan tiba-tiba-
Tanpa peringatan, pria itu membungkuk dan menggendong tubuh Murni dalam posisi bridal style.
“H-hah?!” Murni terperanjat, wajahnya langsung memerah. “Eh?! Ndak usah! Aku bisa jalan sendiri!”
"Biarkan aku membantu." Kata pria itu yang kali ini menggunakan bahasa Indonesia, namun tetap dengan aksen asingnya.
Tanpa mengindahkan protes Murni, dengan cepat, ia membawa Murni masuk ke dalam rumah pengantin, yang saat itu cukup sepi karena sebagian besar orang sedang berkumpul di luar untuk berfoto ataupun mengobrol.
Udara di dalam rumah jauh lebih tenang. Dengan aroma kue dan bunga yang tercium dari sudut ruangan. Beserta suara riuh dari luar yang hanya menjadi gema samar di balik dinding rumah.
Wajah pria asing itu tampak bingung ketika mencoba merangkai kata dalam bahasa Indonesia, hingga perlahan ia mulai membuka mulutnya dan berbicara meski terdengar kaku dan terbata-bata.
"Saya... bawa kamu ke mana? Tempat lebih baik? Dan di mana... saya bisa dapat kotak P-tiga-K?" Tanyanya, menyebut "P3K" dengan lafal lidah asing, terdengar seperti 'pi-triga-ki'.
Murni diam sejenak.
Ia tahu bahwa ia harus segera mengobati memar di kakinya. Tadinya, ia memang berniat pergi ke kamar pengantin, tempat di mana ia menitipkan baju dan beberapa barang pribadinya.
Namun sekarang keadaannya berbeda. Saat ini ia sedang bersama dengan seorang pria asing. Dan membawa orang tak dikenal masuk ke kamar yang berisi barang-barang pribadi dan penting milik temannya? Tentu saja ia tak berani. Bagaimana jika nanti ada barang yang hilang, dan berakhir ialah yang akan disalahkan.
Matanya bergerak cepat, lalu menunjuk sebuah kamar lain yang masih kosong. "Di sana aja. Kamarnya kosong, ndak ada barang penting."
Pria itu mengangguk paham. Lalu dengan hati-hati, ia membawa tubuh Murni mendekati pintu model lama dari kayu yang sudah terlihat reot, namun masih bisa digunakan.
Tanpa berpikir panjang, pria itu mendorong pintu itu menggunakan bahunya, membuat pintu tersebut perlahan terbuka.
Dan ketika mereka masuk…
Krieeet!
Pintu itu langsung menutup sendiri dengan bunyi khas engsel tua yang berat.
Seketika keduanya menoleh secara bersamaan. Menatap pintu yang kini sudah tertutup rapat.
Pria itu mengerutkan dahinya ketika menatap pintu itu, lalu beralih menatap Murni.
“Itu... pintu... kenapa begitu?”
Murni yang paham mulai menjelaskan.
"Model pintunya memang begitu. Kalau ndak disangga, dia bakal nutup sendiri."
"Disangga?" Tanya pria itu tampak penasaran.
"Itu... Di tahan pakai sesuatu." Jelas Murni.
"Oh... Yeah, i know." Gumamnya pelan.
Dengan perlahan, pria itu menurunkan tubuh Murni ke atas kasur di dalam kamar tersebut.
"Kamu tahu... Kotak P3K nya dimana?" Tanya pria itu.
"Disini ndak ada benda semacam itu." Jawab Murni mencoba menjelaskannya sembari menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada?" Tanya pria itu lagi, Murni mengangguk mengiyakan.
Pria itu tampak terdiam sejenak.
"Kamu bisa keluar." Ucap Murni akhirnya sembari mengibaskan tangannya memberi isyarat, takut pria itu tidak paham.
"Aku sudah oke." Timpalnya sembari mengacungkan jempol.
Pria itu menggelengkan kepalanya, "No, saya harus bertanggung jawab." Tolaknya.
Lalu Pria itu duduk bersimpuh di sisi kasur berhadapan dengan Murni. Keningnya tampak berkerut, ketika menatap kaki kiri Murni yang terlihat bengkak.
"Maaf... kaki kamu jadi bengkak. Aku... aku pernah belajar sedikit pertolongan pertama. Kalau kamu izinkan, aku coba bantu, ya?" ucapnya, masih menggunakan bahasa Indonesia, meski aksennya masih terdengar asing di telinga Murni.
Murni menatapnya sebentar, dengan ekpresi ragu. Tapi rasa nyeri di kakinya lebih menyita perhatiannya daripada rasa ragunya.
Akhirnya ia mengangguk menyetujui.
Barulah Pria itu mulai menyentuh pergelangan kaki Murni dengan sangat hati-hati, sentuhan tangannya yang terasa hangat dan tegas, menekan lembut beberapa titik persendian di kaki Murni, lalu menggerakkan perlahan kaki Murni ke arah tertentu.
"Sakit?" Tanyanya lirih.
"Sedikit..." gumam Murni dengan wajah meringis.
Pria itu menarik nafas dalam.
"Okay... ini mungkin sedikit tidak nyaman. But, aku janji tidak akan kasar."
Lalu, dengan gerakan pasti, ia memutar pergelangan kaki Murni sedikit demi sedikit, hingga-
Krek**k**
Seketika Murni mengerang pelan sampai mencengkeram sprei di bawahnya. Namun beberapa detik kemudian, rasa nyeri di kakinya itu perlahan mulai mereda sedikit.
"Masih sakit?" Tanya pria itu.
"Udah lebih baik." Jawab Murni.
"Then, jangan lupa dikompres dan jangan terlalu banyak bergerak." Kata pria itu dengan ekspresi yang terlihat lebih lega.
Murni mengangguk paham
Setelah memastikan kondisi kaki Murni yang sudah sedikit lebih baik, pria itupun tampak menghembuskan nafas lega, namun sorot matanya masih menyiratkan kekhawatiran.
Sembari memijit kakinya perlahan, Murni mendadak tersadar akan situasi aneh di antara mereka, di mana dua orang yang berbeda gender dan bukan sesama muhrim malah berada dalam satu ruangan yang sunyi dan sepi.
Seketika jantungnya berdetak dengan cepat. Matanya melebar, disusul dengan pipinya yang ikut memerah. Lalu ia bergeser sedikit, hendak menjaga jarak karena tubuh mereka sedari tadi cukup dekat. Pria itupun, mulai menyadari hal yang sama ketika merasakan gerak-gerik tidak nyaman dari gadis itu, ia pun segera hendak mundur dari sisi ranjang.
Namun-
“Eh-!” Murni terkejut.
Mendadak saja, ujung gelang stainless nya malah menyangkut di kancing baju pria itu. Pria itupun ikut menoleh, dan seketika ikut melebarkan kedua matanya.
“Kancing baju kamu... nyangkut di gelangku.” Bisik Murni, terkejut sendiri melihat ujung gelang stainless miliknya melilit celah kancing kemeja pria itu.
"Uh, sorry! Wait, biar saya lepaskan." Ujar pria itu terdengar panik, lalu menunduk sambil mencoba melepaskan kaitan ujung gelang Murni yang menyangkut di kancingnya.
Namun bahan stainless itu cukup elastis dan terpilin dengan kuat.
“Sebentar, biar aku bantu.” Ujar Murni, ikut menunduk, sembari mengulurkan kedua tangannya dan berusaha menahan gelangnya supaya tidak semakin tertarik.
Posisi mereka berdua kini begitu dekat, dan hanya berjarak beberapa jari saja. Bahkan helaan nafas pria itu bisa Murni rasakan dengan jelas ketika nafas hangatnya menerpa punggung tangan Murni.
Ketika pria itu semakin menunduk dalam karena fokus, Murni pun malah ikut menunduk karena penasaran kenapa ujung gelangnya masih belum terlepas juga.
Jujur saja, ia mulai merasa benci dan risih dengan gelangnya itu. Entah udah berapa kali gelang itu menyangkut , mulai dari di anting-anting nya, baju, kain berjarik, kini ujung gelangnya itu malah menyangkut di kancing baju seseorang, membuat sang penggunanya repot saja.
Tanpa mereka sadari, dahi mereka hampir bersentuhan.
“Ini sulit." Gumam pria itu lirih.
“Iya, bentar... ini ada ujungnya yang nyelip ke kancing kamu.”
Sesekali jari-jari mereka saling bersentuhan. Setiap sentuhan itu, berhasil membuat detak jantung Murni berdegup tak karuan. Pria itu tampaknya juga menahan nafas, berusaha tetap fokus.
"Wait... almost done.” Katanya pelan, dengan logat asing yang tetap terdengar hangat di telinga Murni.
Mereka berdua masih sibuk mencoba melepaskan kaitan yang menyangkut di kancing kemeja pria itu, tanpa menyadari jari-jari mereka yang beberapa kali saling bersentuhan, tapi keduanya terlalu fokus untuk mempermasalahkannya.
“Hampir lepas.” Gumam pria itu pelan, menunduk sedikit lebih dekat.
“Iya, sebentar, ini ujungnya nyelip..." Balas Murni, tanpa sadar menggigit bibirnya karena gemas dengan gelangnya, ia pun ikut membantu memutar gelangnya dengan hati-hati, tanpa menyadari seseorang yang ada di luar tampak keheranan mendengar suara dua orang yang berada di dalam kamar.
Hingga-
Brak!
Tiba-tiba pintu kamar tersebut terbuka lebar.
“ASTAGHFIRULLAH HALAZIM!”
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣