Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Menurut kalian masuk akal tidak kalau ada seseorang yang memakai kacamata hitam ketika di dalam rumah, pada malam hari, ketika sinar lampu juga tidak terang-terang amat sampai membuat silau?
Karena Naren merasa heran sekali melihat Kayanara yang tak kunjung menanggalkan kacamata hitamnya. Outfit-nya sudah berganti menjadi satu set baju tidur berbahan satin warna biru tua, jadi tidak match dengan kacamata hitam tersebut, terlepas dari pertanyaan Naren yang pertama.
Di sela-sela kegiatannya bermain game bersama Eric di ruang keluarga, Naren tak bisa mengenyahkan keanehan itu dari kepalanya. Sesekali dia melirik Kayanara yang duduk di sofa belakang. Sudah curiga saja bawaannya, terlebih karena perempuan itu juga tidak cerewet seperti biasanya. Naren malah menemukan sudut-sudut bibirnya terangkat sedikit—tersenyum tipis.
Suara-suara dari game masih terus terdengar. Disusul Eric yang sesekali bersorak, tertawa, dan meledeknya penuh semangat. Sementara Naren sudah setengah hati karena persoalan kacamata hitam itu benar-benar mengganggu pikirannya.
Pada akhirnya, Naren memilih menuruti intrusive thought yang dia punya. Joy stick ditinggalkan di lantai, badannya memutar dengan kaki masih bersila, kedua tangannya bertaut di atasnya. Dia fokus menatap Kayanara. Mencari di mana lagi letak keanehan perempuan itu supaya bisa dia korek sekalian.
“Heh,” panggilnya. Tidak sopan. Kalau ayahnya dengar, dia akan dibungkam.
Kayanara menyahut dengan dagunya yang sedikit naik. Ponsel di tangannya menyala terang. Dari bawah, Naren bisa mengintip isinya—laman sosial media Instagram.
“Lo lagi sakit mata?” tanyanya kemudian.
“Nggak,” sahut Kayanara. Tombol power ditekan sekali, layar seketika redup, Naren tidak bisa mencuri pandang lagi.
“Terus kenapa nggak dicopot kacamatanya?” telisiknya kian curiga.
Kayanara menurunkan satu kakinya yang semula bertumpu di atas kaki yang lain. Tubuhnya condong sedikit ke depan. Lemah gemulai ia turunkan kacamatanya sedikit, hanya supaya netranya terlihat.
“Sengaja, biar muka lo ngeblur dalam pandangan gue. Supaya gue nggak merasa muak karena harus ketemu lo terus selama seminggu ke depan,” tutur perempuan itu, lalu menaikkan kembali kacamatanya dan kembali bersandar ke sofa.
Gigi Naren bergemeletuk. Dia kesal. Dari semua perempuan yang dekat dengan ayahnya, si nenek sihir ini sama sekali tidak pernah berusaha menunjukkan sisi manis yang menyenangkan. Membuatnya semakin sebal.
“Yah ... Macan. Berarti dari tadi siang Macan juga lihat muka aku ngeblur dong?” Si kunyuk Eric main nimbrung saja tanpa permisi.
Naren memelototi anak itu, tetapi tak manjur sebab Eric malah langsung melompat ke sofa, menunjukkan raut sedih dibuat-buat kepada Kayanara.
Mual sekali. Naren rasanya ingin muntah.
“Enggak dong,” Suara Kayanara mengudara lagi. Wajahnya seketika berubah ramah, bibirnya tersenyum lembut. “Kamu mah tetap tampan dan memesona, nggak peduli mau dilihat dengan kondisi kayak gimana pun.”
Cih.
“Ganteng dari mana coba, belel begitu.” Naren mencebik. Tak membiarkan Eric bersorak riang merayakan pujian yang baru saja dia dapatkan.
Eric cemberut. “Kenapa sih? Macan adalah orang pertama yang bilang gue ganteng selain emak gue, tahu. Sirik aja lo.”
“Nye-nye-nye,” ledek Naren. Mukanya julid mampus. Emak-emak tukang gosip juga kalah. “Cocok deh lo berdua, sama-sama aneh.”
Pernyataan itu jadi gerbang pembuka untuk Naren meninggalkan ruang keluarga. Dia melangkah lebar menuju kamar. Tak memedulikan protes Eric di belakang.
Naren lantas menjatuhkan bokongnya di kursi gaming. Membiarkan pintu kamarnya sedikit terbuka kalau-kalau si kunyuk mau masuk untuk pergi tidur. Di sana, Naren membuka ponselnya, mengecek sosial media.
Akun milik Ben muncul di deretan paling atas begitu laman Instagram miliknya terbuka. Lelaki memposting sebuah foto selfie dengan latar belakang kamar penginapan bernuansa kayu yang tampak cozy. Senyumnya lebar. Tampak menikmati suasana liburan yang jauh dari hiruk-pikuk ibu kota.
Namun, bukan itu yang membuat Naren betah berlama-lama memandang. Di belakang, pada bagian sudut foto, di sebuah sofa cokelat muda, tampak seseorang lain yang sepertinya tak sengaja masuk frame. Meski sedikit blur, Naren tetap bisa melihat seseorang itu tengah tersenyum. Senyum yang terkembang lebar sekali. Hampir-hampir tak Naren lihat belakangan ini.
Seketika itu juga, Naren mencelos. Dia senang abangnya bisa pergi bersenang-senang dengan teman-temannya. Tapi di sisi lain, ada sedih yang merayap di dada ketika dia sadar alasan mengapa Mahen tak bisa sering pergi adalah dirinya. Walaupun sudah tidak pernah tantrum, walaupun sudah bilang tidak apa-apa untuk ditinggal pergi, nyatanya Mahen masih selalu menahan diri. Sebisa mungkin tak meninggalkannya. Sebisa mungkin membawanya pergi bersama.
“Kayak gini mau sok-sokan cancel? Apa nggak nyesel kamu, Bang?” gumamnya. Merasa lega Mahen tetap berangkat pada akhirnya.
Untuk beberapa lama, Naren terdiam. Harus apa kira-kira supaya abangnya tidak lagi worry kalau ingin pergi bersama teman-temannya? Haruskah dia punya circle pertemanan yang lebih luas supaya bisa sering sibuk sendiri di luar? Atau...
“My Baby,”
Naren menoleh cepat, mendelik. “My Baby, My Baby. Ngapain ke sini? Tidur aja sana Macan lo itu!” Tangannya sigap menampol muka Eric yang tahu-tahu sudah monyong-monyong di depannya.
“Ih, nggak boleh dong. Macan kan punya Ayah Janu, kalau kamu baru punyaku.” Eric kembali nyosor. Gerakannya terlampau cepat hingga Naren tak sempat mengelak. Jadilah pipinya basah disambangi kecupan mesra. Sudah pasti dia mereog setelahnya. Ngamuk-ngamuk, tiada henti memukul tubuh Eric hingga anak itu menjerit minta ampun.
“Ampun, My Baby!”
“My Baby forgive me!”
“Sayangku, sayangku ... tolong jangan pukul lagi.”
“NARENDRA PLEASE, BIJI GUE KEGENCET!”
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
...
Janu menyalakan kamera. Di layar, Kayanara muncul, bersandar santai di headboard ranjang dengan selimut menutupi hingga paha. Wajahnya bersih tanpa pulasan make up, rambut indahnya digerai bebas.
"Semuanya oke?” tanyanya. Suaranya pelan, hampir tenggelam ditelan angin malam.
Dia berdiri di balkon penginapan, hanya mengenakan lekbong abu-abu yang sedikit melayang diterpa angin dan celana panjang berbahan linen. Hawa malam terasa lembut, membawa serta aroma laut dan suara debur ombak yang berkejaran di kejauhan. Dari arah sebelah kiri, alunan musik elektronik mengalir pelan—ritme khas beach club yang semakin berdenyut kala malam kian larut.
“Oke,” jawab Kayanara dengan senyum kecil terselip di wajahnya. “Anak-anak udah masuk kamar dan aku suruh tidur.”
“Maaf ya ... jadi ngerepotin kamu,” ujar Janu sambil mengusap lengan atasnya. Tubuhnya sedikit menggigil.
"Nggak repot kok,” jawab Kayanara pelan. Dia menggeser posisi duduknya, menyandarkan kepala ke tembok. “Aku malah senang kamu mau kasih kepercayaan buat jagain kesayangan aku.”
Janu terkekeh. Ia menunduk sebentar, menahan napas yang mengembun samar di udara, lalu kembali menatap layar.
Ketika itu, dia menemukan tatapan Kayanara terpaku pada lengan kirinya. Janu mengikuti arah pandang perempuan itu, lalu tersenyum tipis saat sadar apa yang membuat si cantik terlihat begitu fokus.
“Itu ... udah lama ada di sana?” tanya Kayanara. Telunjuknya menempel di layar, mengarah pada beberapa tato yang menyebar di lengan kiri Janu. Beragam bentuk, tetapi tidak terkesan ramai, justru tampak seperti satu kesatuan yang solid.
“Iya,” Janu menjawab lembut. Dia memajukan lengannya, membiarkan Kayanara melihat satu persatu tatonya dengan lebih jelas. “Aku mulai bikin pas Naren lahir.”
“Emangnya nggak sakit?” tanya Kayanara lagi, sedikit bergidik. Dia tidak takut jarum suntik, tetapi kalau harus membuat tato sebanyak itu, sepertinya juga tidak punya nyali.
Janu mengangguk pelan. “Sakit,” ucapnya. Bibirnya perlahan menipis. “Tapi justru itu tujuannya.”
Kayanara menggigit bibir bawahnya. Menyadari bahwa tato-tato itu adalah bentuk ekpresi kesedihan yang menumpuk di dada Janu dan harus dia tanggung sendirian. Jika mulai dibuat sejak kelahiran Naren, berarti di momen itulah kesakitan Janu paling terasa menyesakkan.
“Kamu mau dengar filosofi di balik tato-tato ini?”
Renungan Kayanara terpecah. Dia kembali fokus menatap Janu yang tersenyum lembut di seberang.
“Boleh?” tanyanya ragu-ragu.
Janu mengangguk mantap. Dia berpindah ke sudut lain, duduk di salah satu kursi, meletakkan ponselnya di meja dengan disandarkan pada vas bunga kecil. Dia tampak bersemangat untuk menjelaskan. Dimulai dari tato berbentuk cabang zaitun yang membentang di lengan atas hingga ke bawah tulang selangka. Dia perlu menyibak lekbongnya sedikit untuk menampilkan bentuknya secara utuh kepada Kayanara.
“Yang ini maknanya adalah perdamaian dan persahabatan,” tuturnya. Pandangannya lekat pada Kayanara. “Saya bikin sebagai pengingat bahwa saya perlu berdamai dengan keadaan dan menerima Naren sebaik-baiknya. Saya nggak mau menganggap Naren sebagai penyebab mamanya meninggal, atau membuat dia jadi merasa bahwa kelahirannya nggak diinginkan.”
Di tempatnya, Kayanara diam mendengarkan. Ketika tato itu dibuat, perasaan Janu pasti carut-marut. Tetapi kini saat menjelaskannya, dia bisa melihat lelaki itu memang telah berdamai dengan semuanya.
“Yang ini,” tunjuk Janu pada tato kedua. Seekor jaguar ganas dengan dua bola mata tajam mengintimidasi. “Saya bikin ini waktu Naren kelas 5 SD. Dia lagi bandel-bandelnya, suka bikin onar sama gengnya.” Tawanya pecah di udara, mungkin Janu teringat pada salah satu kenakalan Naren yang sukses membuatnya sakit kepala. “Ini saya buat sebagai simbol keberanian. Biar saya nggak takut menghadapi kemungkinan-kemungkinan di masa depan. As you know, jadi orang tua tunggal itu nggak mudah. Jadi setiap saya ngaca dan lihat tato ini, saya jadi ngerasa keren dan mampu aja buat lewatin semuanya.”
Kayanara mengangguk. “Kamu emang keren, persis kayak jaguar itu.”
Janu kembali tertawa, kali ini lebih lepas dan keras.
“Terus kalau yang itu, maknanya apa?” Kayanara menunjuk tato terakhir berbentuk burung walet di antara tato jaguar dan cabang zaitun. “Biar bisa terbang bebas?” tebaknya asal.
Lagi-lagi tawa Janu meledak, cukup keras hingga membuat bahunya terguncang.
“Salah ya?” Kayanara menyengir canggung sambil menggaruk pelan kepalanya.
Ketika tawanya reda, Janu tersenyum makin lembut. “Ini menggambarkan seberapa jauh perjalanan saya sama anak-anak. Setiap liat tato ini, saya kayak diingatkan kalau saya udah terbang jauh dan berhasil melewati banyak hal.” Di akhir kalimat, senyumnya semakin terasa hangat.
Ketakjuban Kayanara bisa saja melambung semakin tinggi, jika saja dia tidak terusik akan satu hal. Dengan hati-hati, dia bertanya untuk memastikan. “Tapi ... kamu udah nggak berniat nambah tato lagi, kan?”
Janu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum simpul. Terakhir kali tatonya dibuat sewaktu Naren masuk SMA, sudah lumayan lama.
“Jangan, ya. Aku berharap cuma hal-hal baik yang datang ke kamu mulai sekarang, supaya kamu nggak perlu lagi bikin tato buat pelampiasan.”
Bersama angin yang membelai lembut wajahnya malam itu, Janu mengangguk. Turut mengaminkan harapan Kayanara agar keluarga kecilnya hanya dilingkupi bahagia mulai sekarang.
Bersambung.....
Yang penasaran sama tatonya Om Janu, ini dia penampakannya.