Di khianati dan terbunuh oleh orang yang dia cintai, Nada hidup kembali di tubuh seorang gadis kecil yang lemah. Dia terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa?
"Kakak, tolong balaskan dendam ku." Pinta gadis kecil yang namanya hampir sama dengan Nada.
"Hah!! Gimana caranya gue balas dendam? tubuh gue aja lemah kayak gini."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.7
Siang hari, Kara akhirnya diperbolehkan pulang. Evelin mengusap lembut rambut sang anak, bersyukur Kara sudah membaik walau masih ada trauma dalam dirinya. Dokter juga meminta untuk membawa Kara ke psikolog, agar mendapatkan penanganan yang tepat.
Hari ini juga, Jayden pun berjanji akan menjemput Kara pulang kerumah. Namun, sampai pukul dua belas. Jayden tidak menampakan batang hidungnya.
"Bang Jay, mana sih? Kan aku nunggu dari tadi, Mama coba hubungi lagi." Pinta Kara dengan cemberut.
"Sudah, kan belum di balas mungkin Bang Jayden lagi sibuk. Kara, gak papa kan ada Mama."
"Huh!"
"Jangan cemberut dong, kan jadi jelek." Goda Evelin, membuat Kara makin cemberut dan kesal.
"Eh! Astaga gue kenapa sih, kaya orang cemburu aja. Kara gak mungkin kan, kamu suka Jayden?"
"Sudah ayo kita pulang, Mama udah pesan taxi." Kata Evelin, membuyarkan lamunan Kara.
"Tapi, Abang ..."
"Bang Jayden tadi kirim pesan, katanya masih banyak tugas yang harus dia kerjakan." Jelas Evelin, dalam hati Kara pun merasakan kecewa.
Dia pun mengangguk, Evelin pun memangku Kara dan didudukan di kursi roda. Setelah siap, Evelin mendorong kursi roda sang anak. Mereka pun menunggu lift, setelah lift terbuka Evelin terkejut karena di dalam ada mantan suaminya juga anak dan istri.
Seketika suasana menjadi canggu, Bagas pun nampak tak nyaman saat menggendong putrinya.
Kara sendiri enggan menatap Bagas, dia sakit hati pada Ayah kandungnya.
"Ohh, jadi ini istri baru Ayahnya Kara? Cih, so cantik banget cantikan emaknya Kara." Nada membatin sambil melirik tajam pada istri Bagas.
Rina yang ditatap seperti itu, merasa tak nyaman dia pun balik menatap Kara. Tak lama, pintu lift terbuka Evelin buru-buru mendorong kursi roda sang anak.
Dia pun langsung memasukan barang-barang di bantu oleh sopir taxi, setelah itu Evelin memangku Kara dan mendudukkannya.
"Papa, ayo." Seru Isabel.
"Iya nak, sebentar ya Papa mau kesana dulu."
"Mau kemana sih, Mas? Biarin aja mereka." Sahut Rina.
"Aku ingin menyapa Kara, bagaimanapun dia anakku." Cetus Bagas, membuat Rina memutar bola mata dengan malas.
"Sudah sayang, kamu sama Mama aja disini." Rina pun membujuk sang anak, beruntung Isabel menurut.
Bagas bergegas menghampiri mobil dan meminta sopir jangan dulu pergi, karena dia ingin bicara dengan sang anak.
"Kara, kamu sakit apa, Nak?" tanya Bagas.
"Bukan urusanmu," jawab Kara dengan ketus, Evelin terkejut dengan jawaban sang anak yang tak sopan.
"Maafkan Kara, Mas." Sahut Evelin.
"Ngapain Mama minta, maaf? Mama gak salah." Pekik Kara dengan kesal, biasanya Kara penurut dan penakut. Tapi, dengan jiwa Nada dalam tubuh Kara dia menjadi berani.
"Tidak apa-apa." Bagas mengusap rambut Kara. Namun, Kara menepis tangan Bagas.
"Dia sakit, apa? Kenapa gak bilang?" tanya Bagas dengan pelan.
"Ma, ayo pulang." Sebelum Evelin menjawab, Kara sudah lebih dulu mengajak Evelin pulang.
Pasalnya Kara melihat tatapan tajam Rina dan Isabel, walau masih kecil Kara bisa melihat Isabel akan menjadi gadis licik.
"Maaf aku harus pulang, permisi." Pamit Evelin, Bagas pun mengangguk dan memperhatikan mobil yang sudah bergerak menjauh.
"Mas, cepat nungguin apa, sih!" seru Rina.
"Iya, Papa. Aku sudah cape pengen tidur di kamar."
"Iya, iya."
Bagas pun berjalan cepat menuju mobilnya, sebelum anak dan istrinya berisik. Dia mengajak mereka makan di resto favorit Isabel, selama perjalanan Bagas pun kepikiran dengan Kara. Anaknya itu berubah, tidak ada kelembutan dan cinta dalam tatapan matanya.
"Ayah adalah cinta pertama ku." Bagas masih mengingat kata-kata tersebut, Kara mengatakan dengan mata berbinar penuh cinta.
Rina memperhatikan Bagas yang melamun saat mengemudi, dia pun menegur sang suami.
****
Kembali ke Kara dan Evelin, Evelin memperhatikan sang anak yang menatap keluar jendela. Seolah di luar ada hal yang menarik, Evelin tidak tahu saja bahwa Nada yang ada didalam jiwa Kara begitu senang.
Dia pun mengingat jalanan tersebut, jalan dimana menuju rumah lamanya. Rumah peninggalan kedua orang tuanya.
"Tunggu, apa jangan-jangan..."
"Kenapa?" tanya Evelin.
"Tidak ada, Ma." Balas Kara tersenyum manis.
Dan benar saja, setelah berpuluh menit kemudian Kara tiba di perumahan dimana dulu dia tinggal. Nada masih ingat, jika rumahnya berada di blok H. Dimana rumah tersebut adalah rumah mewah semua.
"Jadi, Kara dan aku bertetangga? Apa mungkin dulu Kara, masih bayi?" Nada membatin.
Jika rumahnya dekat, maka dia bisa dengan mudah kerumahnya. Nada yakin, jika rumahnya sudah diambil alih oleh Rowman.
"Ma, sejak kapan kita disini?" tanya Kara tiba-tiba.
"tiga tahun yang lalu." Jawab Evelin, dua tahun yang setelah bercerai seingatnya.
Kara mengangguk, mobil sudah tiba didepan rumah minimalis dengan cat warna hitam dan abu.
"Sudah sampai." Evelin membayar ongkos dan memberikan lebihan pada sopir, setelah mengucapkan terima kasih.
Kara menatap rumah tersebut dengan lama, dia memejamkan mata sekelebat ingatan lalu muncul. Nada bisa melihat, Kara menderita di dalam rumah tersebut. Dia juga sering mendapat kekerasan. Namun, saat akan bicara Alfa selalu mengancamnya.
Dan bahkan puncaknya adalah, saat Kara mendapatkan pelecehan dari Alfa.
"Akhhh ..."
"Kara, kamu kenapa sayang? Apa yang sakit?" tanya Evelin panik.
Kara mengerjapkan matanya, dia mampu menguasai emosi dan trauma secara bersamaan. Kini dia mulai tenang.
"Aku gak apa-apa, Ma. Aku baik-baik saja, tadi aku hanya terkejut saja ada penampakan di jendela." Ujar Kara, dia mengatakan dengan nada datar. Evelin pun menoleh pada jendela, dimana Alfa mengintip.
Huh!
"Sayang, itu bukan penampakan. Itu Om Alfa," kata Evelin, dia ingin tertawa.
"Ohh, maaf." Kekeh Kara. "Ayo, Ma. Kita masuk aku sudah rindu sama kamar."
"Ya sudah ayo."
Evelin pun membawa barang yang bisa dibawa, lalu saat masuk Alfa sudah ada di ruang tengah menatapnya dengan lembut.
"Akhirnya Kara, kamu pulang. Om kangen sama kamu," ujar Alfa, dia mendekat dan akan memeluk Kara. Tapi, Kara mundur beberapa langkah.
"Maaf, Om. Aku gak suka di peluk sama Om-om," celetuk Kara, Evelin pun tercengang dengan ucapan sang anak.
"Loh, kenapa? Dulu kamu suka dipeluk, bahkan Om mandikan." Kini Alfa mensejajarkan tubuhnya dengan Kara, dia menarik tubuh Kara dengan paksa. Evelin ingin protes, tapi Alfa menggeleng, Alfa pun berbisik.
"Jangan macam-macam, Kara. Kamu harus menurut padaku. Atau ..."
"Atau apa? Aku tau apa yang akan kamu lakukan," balas Kara dengan berbisik pula, dia juga memberitahu bahwa dia punya bukti untuk menjebloskan Alfa ke penjara.
Alfa terkejut, dia melepaskan pelukannya dengan Kara dan melihat Kara tersenyum sinis penuh kebencian. Tatapan matanya tajam, seperti bukan Kara. Evelin memperhatikan mereka berdua, Alfa ketakutan dengan tatapan Kara.
"Mas, biarkan Kara istirahat. Ayo sayang," ajak Evelin, dia menuntun Kara ke lantai dua di mana kamarnya berada.
Kara melirik ke arah Alfa, dan kembali tersenyum dengan sinis.
"Kenapa anak, itu?" gumam Alfa.
Bersambung ...
Maaf typo