Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Usai menunaikan salat Maghrib, Viola melipat sajadah dengan khidmat. Suara gemericik air dari dapur menyusup masuk ke ruang tamu, membawa serta aroma harum yang menggoda inderanya. Ia berdiri perlahan, lalu melangkah menuju meja makan. Di sana, sepiring ikan goreng masih mengepulkan asap, berdampingan dengan tumis kangkung yang tampak segar dengan irisan cabai merah dan bawang putih. Aroma sedap itu menyeruak, membuat perutnya seketika berontak, dan air liurnya nyaris menetes.
"Viola, jangan makan di sini. Kamu harus segera pulang," suara Dewi, sang Mama, terdengar tegas dari balik dapur.
Viola menoleh cepat, agak terkejut. "Tapi, Ma... Aku belum makan dari siang."
Dewi keluar dari dapur sambil membawa rantang kecil berwarna biru. "Mama sudah siapkan ini. Makanannya bisa kamu hangatkan di rumah. Arga pasti sudah menunggu. Kamu kan tahu, dia bisa khawatir kalau kamu pulang terlalu malam."
Viola memandang wajah ibunya, berharap ada sedikit kelonggaran. Tapi yang ia temukan hanya sorot mata penuh kekhawatiran dan kasih sayang.
Ia menghela napas pelan, menahan kecewa yang menggantung di dadanya. "Iya, Ma. Terima kasih makanannya."
Dewi mengelus lengan putrinya, lembut namun mantap. "Lain kali saja makan di sini, ya. Mama cuma nggak mau Arga terlalu cemas."
Dengan langkah pelan, Viola keluar dari rumah ibunya, membawa rantang di tangan dan rasa lapar yang belum sempat terobati. Di dalam hati, ia tahu Mama benar. Tapi tetap saja, meninggalkan rumah dengan aroma masakan yang menggoda seperti itu—rasanya seperti menolak pelukan hangat di malam yang dingin.
**
**
**
Suara deru mesin perlahan mereda saat Arga memarkir motornya di teras rumah. Ia melepas helm dengan gerakan pelan, dahinya mengernyit saat mendapati rumah tampak sepi dan gelap. Tak ada cahaya dari balik jendela, tak ada suara yang menyambutnya.
"Hmm… Viola belum pulang?" gumamnya pelan, setengah bertanya pada dirinya sendiri.
Ia mendesah pelan, lalu turun dari motor dan merogoh saku jaketnya. Untunglah, ia selalu membawa kunci cadangan. Dengan gerakan cepat, ia melangkah menuju pintu, tapi baru hendak memasukkan kunci ke dalam lubangnya, cahaya lampu dari arah jalan memecah kegelapan.
Sebuah mobil perlahan memasuki halaman. Lampu depannya menyapu dinding rumah, menampakkan bayangan yang bergerak di balik kaca depan. Arga menyipitkan mata, lalu tersenyum kecil.
"Viola..." ucapnya lirih, separuh lega, separuh heran.
Ia membiarkan pintu tetap tertutup dan berdiri di ambang teras, menunggu mobil itu berhenti sempurna. Beberapa detik kemudian, mesin dimatikan. Pintu mobil terbuka, dan muncullah sosok perempuan dengan langkah terburu-buru, membawa rantang di tangan.
Arga menyilangkan tangan di dada, menatap sang istri dengan alis terangkat. "Kamu dari mana aja? Udah malam begini."
Viola tersenyum sinis. menutup pintu mobil dengan satu tangan. "Dari rumah Mama. Nggak usah sok perhatian padaku!"
Tatapan Arga melunak, meski masih terselip kekhawatiran di sorot matanya. Ia membuka pintu rumah sambil berkata, "Aku ini suami kamu Vi, sudah sewajarnya aku peduli pada istriku."
Viola berdecak kesal. "Suami di atas kertas. kamu itu masih bocah, geli rasanya mendengar kamu menyebut aku istri kamu!" Viola lantas melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya.
Jawaban Viola tadi masih terngiang-ngiang di telinga Arga, membuat dadanya bergemuruh dengan rasa yang sulit dijelaskan—antara kesal, kecewa, dan tidak ingin mengaku bahwa ia sebenarnya merindukan kehadiran istrinya malam ini.
Tanpa banyak bicara, ia menyusul Viola ke kamar. Langkahnya cepat, nyaris tanpa suara, tapi ada sesuatu yang berat dalam cara ia membuka pintu, lalu menutupnya kembali dengan dentuman pelan. Klik. Kunci diputar. Terkunci.
Viola menoleh, napasnya tercekat. "Arga...? Kamu ngapain mengunci pintunya?" tanyanya gugup.
Tatapan Arga menusuk, tidak berteriak, tapi diamnya berbicara lebih keras dari seribu kata. Ia melangkah perlahan, seperti seekor singa yang menilai mangsanya, bukan dengan niat melukai, tapi dengan amarah yang butuh penjelasan.
Viola mundur satu langkah, lalu satu lagi, hingga punggungnya menyentuh dinginnya tembok kamar. Ia bisa merasakan dinding di belakangnya, keras dan tak memberi ruang untuk melarikan diri. Jantungnya berdetak kencang, seperti hendak meloncat keluar dari dadanya.
Arga berhenti tepat di hadapannya. Kedua lengannya ia letakkan di sisi kepala Viola, menumpu pada tembok dan secara tak langsung mengurung tubuh sang istri di antara kekarnya. Nafasnya hangat, tapi nadanya dingin.
"Ka-kamu jangan kurang ajar Arga."
Arga tersenyum sinis, dia semakin mendekatkan wajahnya. Tanpa di duga dia melabuhkan kecupan manis dan hangat pada bibir Viola.
Wanita cantik itu melotot karena tidak menyangka Arga berani menciumnya. tapi dia juga tidak berusaha untuk menolak atau membalasnya. Viola hanya terdiam seperti patung.
Arga lantas menjauhkan wajahnya. Tatapan penuh peringatan dia berikan pada sang istri. "Lain kali kamu harus menjaga bicara kamu. Jika tidak aku akan menunjukkan bahwa aku adalah suami kamu. Aku bisa melakukan apa saja atas diri kamu. apa kamu paham?"
"Arga, aku... aku nggak bermaksud bikin kamu marah..." bisiknya.
Arga menatap wajah Viola lama, matanya menelusuri setiap ekspresi sang istri. Perlahan, emosi di wajahnya mulai mereda. Tangan yang awalnya menumpu kuat di tembok kini melonggar, turun perlahan.
Ia menarik napas panjang. "Maaf, aku emosi. Aku hanya tidak ingin kamu merendahkan aku. Ya sudah, aku mau mandi. karena setelah ini aku akan keluar lagi."
Arga gegas pergi meninggalkan Viola yang masih membeku.
Viola berdiri terpaku, napasnya masih belum stabil. Jantungnya berdentam tak karuan, seperti genderang yang dipukul tanpa irama. Tangan kanannya, tanpa disadari, terangkat perlahan menyentuh bibirnya—bibir yang baru saja disentuh oleh Arga. Lembut, namun tegas. Sebuah kecupan singkat yang berhasil mengguncang dunianya.
Ada debaran aneh yang menyusup ke relung hatinya, hangat dan menggelitik, membuat kepalanya sedikit pening. Ini bukan sekadar sentuhan biasa. Ini… ciuman pertamanya.
Viola menunduk pelan. Wajahnya memerah, bukan karena marah, tapi malu. Ia mengingat semua lelaki yang dulu pernah mendekatinya. Tak satu pun yang pernah ia izinkan menyentuhnya, apalagi menciumnya. Bahkan saat mereka memohon, meyakinkan dengan kata manis, atau—lebih parah lagi—memaksa, Viola selalu memilih pergi. Lebih baik kehilangan mereka, daripada kehilangan harga dirinya.
Namun malam ini… dia membiarkan Arga melanggar batas itu.
Bukan karena terpaksa. Tapi karena hatinya sendiri yang membuka jalan.
Dan kini, di tengah sunyi kamar yang hanya diisi detak waktu dan bayangan remang lampu, senyum kecil merekah di bibir Viola. Senyum malu-malu yang bahkan tak ia sadari sendiri. Ia menyentuh bibirnya sekali lagi, seolah memastikan bahwa tadi bukan mimpi.
"Arga..." gumamnya pelan, lebih seperti panggilan hati daripada suara yang benar-benar ingin didengar.
Ia tak tahu ke mana arah hubungan mereka akan berjalan. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, Viola merasa… mungkin ia tak perlu terus menjaga jarak. Mungkin, untuk kali ini, ia bisa belajar percaya.
**
**
Bersambung
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran