"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 08
Selama magang di kantor Gustav, Gladys merasa bahagia karena para senior di departemen finance baik-baik semua.
Mereka memperlakukan anak magang dengan baik sehingga Gladys juga Mita merasa nyaman, kecuali Fellycia karena keangkuhannya para senior memilih mengabaikan dia.
“Gladys, tolong antarkan laporan ini ke ruangan direktur, ya,” ucap Vivi menyerahkan buku laporan tahunan pada Gladys.
“Kok aku?” tanya Gladys heran, meskipun begitu ia tetap menerima laporan itu dari tangan Vivi.
“Kenapa bukan Pak Diksa selaku manager keuangan yang memberikan ini?”
“Sengaja, kata Pak Direktur anak-anak magang harus dilibatkan dalam segala interaksi di kantor supaya paham dunia kerja dan terbiasa juga.”
Melihat wajah ragu Gladys Vivi terkekeh lucu karena ia berpikir Gladys takut bertemu dengan Direktur mereka langsung. Wajar dia kaget wong langsung di suruh ketemu pusat.
Wanita yang sudah memiliki dua orang anak itu merangkul bahu Gladys dengan tujuan menyemangati.
“Udah, gak papa, Pak Direktur gak gigit kok, beliau memang galak tapi ganteng pasti matamu segar melihatnya,” celetuk Vivi percaya diri.
Tidak gigit katanya? Haha, Gladys ingin sekali tertawa sambil memperlihatkan bekas-bekas merah keunguan yang selalu menghiasi dadanya.
Senyum. “Baik, Kak. Kalau begitu aku antarkan ini sekarang.”
“Nah, gitu dong.”
***
Gustav menunggu kedatangan Gladys dengan wajah tak sabaran, selama beberapa hari ini ia sibuk sekali sampai tidak bisa berkunjung ke apartemen juga belum pernah bertemu Gladys sejak perempuan itu masuk magang, bahkan dia sudah mengusir Nick dari ruang direktur demi bisa leluasa melakukan hal-hal cabul dengan Gladys.
Pria itu tersadar begitu pintu di ketuk, Gladys masuk membawa map biru di tangannya seperti biasa wajahnya selalu tersenyum begitu berjumpa mata dengan Gustav.
“Kunci pintunya,” suruh Gustav berdiri dari kursi kerja.
“Ini laporan tahunan yang Anda—hmphhh!”
Pria itu langsung menyerang mencium bibirnya brutal, bahkan sebelum Gladys menyelesaikan perkataannya.
Tangan Gustav mendorong kepala Gladys lebih dalam, ia susuri setiap inci mulut bergigi-gigi kecil dan hisap lidah hangat itu kuat-kuat. Tangan yang satunya meremas pinggang Gladys seksi.
Tak ingin kalah, Gladys balas ciuman brutal itu semampu yang ia bisa, mengisap menggigit bibir tebal Gustav membagikan aroma manis Cherry dari mulutnya serta meneguk aroma sejuk mint dari Gustav.
Setelah beberapa menit beradu mulut, ciuman itu terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas, ngos-ngosan dengan wajah merah puas.
“La—laporannya,” ucap Gladys terbata-bata menunduk mau memungut map yang tadi terjatuh karena Gustav tiba-tiba menyerangnya.
Pria itu raih bahu Gladys secepat kilat berdiri tegak ia cium kembali bibirnya dan perlahan turun ke leher jenjang gadisnya yang selalu beraroma wangi.
“Aku tidak butuh angka-angka itu, aku butuh kau saat ini,” tekan Gustav menggeram, matanya redup berkabut gairah.
“Tapi ini kantor,” ujar Gladys gugup.
“Siapa peduli?” Gustav angkat tubuh Gladys ke bahunya, si perempuan berteriak kaget.
“Gustav, ini kantor. Ada banyak orang di sini!” jerit Gladys panik.
“Diam dan laksanakan tugasmu!” Dengan kepalanya yang terbalik Gladys bisa melihat mereka menjauh dari pintu dan masuk ke ruangan tertutup di belakang meja kerja Gustav.
***
“Lo kenapa, Dys? Pegang-pegang pinggang dari tadi?” tanya Mita heran.
Saat ini jam istirahat dan mereka berdua sedang makan di kantin kantor.
“Ga papa, Mit. Pegal aja duduk terus dari tadi,” ucap Gladys berbohong.
Gadis bermata monolit itu dengan polosnya mengangguk sok paham, ia seruput kembali es matcha miliknya.
Dari kejauhan Mita melihat Fellycia yang membawa nampan makan siangnya sedang kebingungan mencari tempat duduk.
“Oy! Fellycia, sini duduk bareng kita,” ajak Mita mengangkat tangan memanggil gadis itu.
Fellycia melihat itu, tersisa dua kursi kosong di samping Mita dan Gladys, tetapi bukannya menuju ke sana dia memutar mata kesal lalu pergi ke tempat lain.
“Dih, sombong amat,” cibir Mita mendengus kesal.
“Orang dia benci aku mana mungkin mau duduk bareng kita, Mit,” sahut Gladys.
Mita menoleh. “Apa sih yang bikin dia benci banget sama lo? Padahal zaman SMA udah lama lewat,” tutur Mita merasa janggal.
“Aneh kan?”
Lebih heran kok bisa ada yang membenci gadis sebaik sahabatnya ini, cantik, baik, ramah, pintar, apa kurangnya coba sampai-sampai Fellycia dan Andre begitu membenci Gladys.
Gladys menggendikkan bahu acuh, bukan urusannya orang mau suka atau benci padanya. Asal mereka tidak menghalangi jalannya Gladys bisa mengabaikan semua.
“Gladys, Mita, aku boleh gabung dengan kalian?” sapa Julian meletakan nampan makannya ke atas meja langsung duduk di sebelah Gladys.
Ngapain pake nanya kalo begitu, batin Mita mencibir.
Mita memutar bola mata, tatapan gadis itu memicing muak pada Julian, sama seperti George tempo hari Julian juga menunjukkan ketertarikannya terang-terangan pada Gladys di hari pertama magang.
“Banyak banget yang naksir kamu, Dys,” gumam Mita pelan tanpa di dengar siapa pun.
Entah itu di SMA, di kampus atau di kantor magang Gladys selalu menjadi pusat dunia.
“Gimana magang di sini? Enak?” tanya Julian menoleh pada kedua gadis itu bergantian.
“Lumayan, lingkungannya positif dan jatah makan siangnya enak-enak,” jawab Mita semangat, Julian tertawa geli.
“Soal makanan memang juara di sini, Direktur orangnya gak pelit kalau ngasih konsumsi.”
Kedua gadis itu mengangguk setuju terutama Mita, dia garda terdepan soal makanan apalagi kalau gratis dan enak seperti makanan kantor mereka ini.
“Enak ya kerja di sini, walaupun tuntutannya berat, gaji dan fasilitas terjamin,” komentar Gladys, mengingat kepribadian Gustav tidak heran jika kantornya juga begini.
“Betul, makanya karyawannya pada betah, di Serenova hidup terjamin. Gaji, fasilitas, tunjangan sampai pesangon pensiun tidak main-main, makannya walau berat banyak yang bertahan sampai belasan tahun di sini,” terang Julian, dia sendiri sudah bekerja selama hampir tujuh tahun dan masih betah.
“Pantes perusahaan ini di sebut kantor impian, ya?” imbuh Mita setelah menelan nasi di mulutnya. Mereka semua mengangguk setuju.
Dari jauh Fellycia menatap ketiganya datar, tangannya yang memegang garpu mengepal kesal ketika melihat mereka tertawa lepas.
“Apa istimewanya anak yatim piatu itu?” sinisnya.
“Dasar Pick me!”
Di sudut lain pula Gustav menggertakkan gigi kesal melihat tawa lepas Gladys bersama Mita dan Julian, tidak masalah jika dengan teman bodohnya tapi Julian? Berani sekali si jelek itu mendekati gadisnya!
Berani sekali kau tertawa dengan pria lain padahal baru saja puas mendesah di bawahku!
“Pak, Anda tidak suka makanannya? Apa mau saya pesankan saja dari resto biasa?” tanya Nick.
Ia lihat sang atasan sejak tadi tidak menyentuh makanan di atas meja sama sekali, padahal beberapa waktu lalu mood Gustav sangat bagus karena sudah bertemu dengan Gladys.
“Apalagi yang salah?” monolog Nick menggaruk alisnya bingung.