Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 35
"Kalian akan berangkat sekarang, Din?" tanya pak Aji.
"Iya, Pak," jawab Andini sambil memasukkan senter serta beberapa alat lain yang mungkin akan mereka butuhkan nanti di perjalanan.
Anggi duduk di dekat Andini, ia terlihat sedih. Sejak pagi tadi, wajahnya belum menampakkan keceriaan, senyumnya yang biasa terukir, kini bahkan menghilang.
"Kamu enggak bahagia ya, Anggi. Kamu enggak bahagia karena harus berpisah dari pak Aji dan bu Santi?" tanya Andini.
"Mbak, aku yakin suatu saat nanti masih bisa kembali ke sini, soal sedih wajar saja terjadi kan? Lagi pula, aku sudah lebih dulu dirawat oleh bapak dan ibu," ucap Anggi.
Bu Santi membungkukkan badannya, ia memegangi dagu Anggi dan mengarahkan ke arahnya. "Lihat ibu! Ibu akan tetap di sini menunggu kamu, kamu harus kembali pada ayah kandungmu sama mbak Sisi. Waktu kalian sangat sempit, ini satu-satunya cara sayang."
Anggi mengalihkan pandangannya ke arah lain, hampir saja air mata itu merembes keluar. Anggi berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan ibunya, namun dia tidak bisa.
Pak Aji tidak ingin membuang waktu sia-sia, beliau segera mengantarkan Sisi dan Anggi ke jalan menuju hutan. Tempat di mana mereka datang ke desa winara dengan lewat hutan rimba itu.
Jika lewat jalan desa seperti biasa, sudah pasti mereka akan dihadang oleh anak buahnya pak Danang.
Sedangkan Andini, dia pergi mencari keberadaan Dimas dengan ditemani oleh Ijal.
****
Dua jam sudah mereka berjalan menyusuri hutan itu, perjalanannya memang jauh. Kemarin saat Sisi dan Andini datang ke sana, mereka harus terjebak dalam hutan itu selama sehari semalam. Setelah itu baru kemudian mereka melihat desa winara, desa yang menyimpan banyak misteri.
Anggi menghela napas panjang, ia merasa bebannya terlalu berat. Baru sekarang dia berjalan kaki sejauh ini, pegal sudah rasanya.
"Mbak, kayaknya kita udah jalan selama dua jam lebih deh. Istirahat bentar yuk!" ajak Anggi.
Sisi yang masih terlihat segar hanya tersenyum menanggapi, ia adalah seorang penjelajah. Perjalanan seperti ini tidak membuatnya lelah, dia hanya takut kalau ketemu setan tiba-tiba.
"Berhenti di depan sana aja gimana?" tanya Sisi mengusulkan.
"Eum .... Gimana ya?" Anggi berpikir sejenak, "oke deh." Dia mengangguk setuju.
Mereka pun pergi ke arah yang ditunjuk Sisi, setidaknya di sana terlihat lebih aman.
"Hutan ini sudah ada banyak perangkapnya, kita harus hati-hati berjalan di sini. Pak Danang sudah menyuruh kita untuk memantau dua anak yang berasal dari kota itu, jangan sampai mereka berhasil keluar dari desa ini," ucap seorang laki-laki berbadan ceking.
"Mampus! Mereka ternyata sudah menyiapkan jebakan di sini," ujar Sisi, mereka segera mencari tempat sembunyi.
Anggi yang tidak pernah mengahadapi situasi menegangkan seperti ini, dia jadi sangat takut dan cemas.
"Mbak, gimana ini? Aku enggak mau mati di sini," keluh Anggi.
"Jangan takut! Kita akan keluar dengan selamat dari hutan ini, aku sudah menandai jalan keluarnya. Ada jalan lain di sini," ucap Sisi sembari tersenyum miring.
Dia sudah menduga ini akan terjadi, untungnya dia dan Andini kemarin sudah ke sini dan membuat rencana. Jadinya perjalanan mereka sekarang akan terasa lebih mudah, Andini menemukan jalan pintas lain.
"Bisa aja jalan yang kalian anggap aman, jalan itu juga sudah diberi jebakan oleh suruhan pak Danang." Anggi menatap ngeri ke arah jalanan yang dipenuhi dengan dedaunan kering itu.
Sisi menenangkan Anggi dengan memberi dia semangat.
Kedua lelaki tadi sudah berjalan jauh dari tempat mereka berada sekarang. Sisi dan Anggi segera keluar dari tempat persembunyian, mereka melanjutkan perjalanan dengan mengambil arah lain. Berputar haluan, Sisi melihat ke sekeliling pohon besar yang diberi tanda kemarin, ternyata masih ada.
"Bagus, tandanya masih ada. Kita bisa keluar dengan aman dari sini."
Krek!
Terdengar suara sesuatu yang terinjak, Sisi segera menoleh ke arah Anggi. "Kamu nginjek apa?"
Push!
"Awas!" teriak Sisi.
Hampir saja pisau itu mengenai leher Anggi, kalau Sisi tidak cekatan menarik tubuh gadis itu supaya merunduk, mungkin Anggi sudah kehilangan kepalanya.
Deg, deg, deg....
Keduanya sama-sama berdebar, jantung mereka berdetak cukup kencang.
Keringat menetes dari kening Anggi, ketakutan ikut menyapanya.
Baru saja mereka berpikir kalau jalan ini adalah jalan yang aman, malah kenyataan tidak demikian.
Pak Danang telah memasang perangkap hampir di seluruh jalan tersebut.
Tubuh keduanya masih menegang, Sisi menggenggam erat tangan Anggi.
"Setelah kejadian tadi, jangan sesekali melepas tangan aku, mengerti! Kamu juga jangan berjalan sembarangan, kita tidak tahu perangkap berbahaya seperti apa yang ada di depan sana."
"I-iya, Mbak." Anggi memegang erat tangan Sisi, mereka kembali berjalan. Rasa lelah yang tadi sempat singgah, kini sirna begitu saja. Ketakutan dan kekhawatiran mengambil tempat di hati mereka.
Sisi berjalan dengan sangat hati-hati, berharap jebakan tadi adalah yang pertama dan terakhir yang menghadang perjalanan mereka.
"Mbak, aku mulai ngerasa capek. Kira-kira kita bisa istirahat di mana ya?"
"Kita cari tempat yang aman dulu, Gi. Sudah jam tiga siang juga, kita harus bisa berjalan lebih jauh dari ini. Setidaknya sampai kita ngerasa benar-benar aman," jawab Sisi.
Angin di hutan itu berhembus pelan, membelai dedaunan yang kering. Bau melati semerbak tercium, Sisi memindai ke segala arah, melihat apakah ada yang mencurigakan.
Hari sudah beranjak sore, jika bau melati sudah tercium, mungkin sosok tak kasat mata yang ada di hutan itu sedang mengikuti mereka.
"Anggi, kita berhenti dulu!"
"Apa di sini aman, Mbak?" tanya Anggi.
"Aku juga enggak bisa mastiin, tapi di sini keknya sepi. Enggak ada orang, aku cuma ngerasa enggak enak hati aja, Gi." Sisi mulai meletakkan tas punggungnya.
"Hufh! Capek!" Anggi juga melakukan hal yang sama, dia menyeka peluh yang jatuh dari keningnya.
Keduanya beristirahat sejenak, menyandarkan tubuhnya ke sebuah pohon jambu air yang ada di hutan itu.
Byur!
Sisi terperanjat saat mendengar suara air, seperti ada sesuatu yang jatuh ke air.
"Kamu mendengarnya gak, Mbak?"
"Ya, aku dengar. Itu suara air kan? Berarti kita ada di dekat aliran sungai dong," ujar Sisi dengan mata berbinar.
"Ayo ke sana! Kebetulan, aku juga gerah," kata Anggi. Dia kembali menggendong tas ranselnya.
Sisi mengikuti langkah Anggi, ternyata benar kalau di sana ada sungai. Sebelum pergi, mereka memetik beberapa buah jambu yang sudah matang.
"Ini bisa jadi untuk bekal kita di perjalanan, lumayan kan?"
Anggi hanya mengangguk saja, saat mereka sedang berjalan menuju suara gemericik air itu, mendadak ada seekor kelinci hutan yang tengah bermain di sana.
Kelinci tersebut mengikuti kupu-kupu yang terbang.
"Anggi, kita ikuti jejak kelinci itu aja. Kita bisa jadikan dia sebagai objek untuk mengetahui apa di depan sana ada jebakan atau tidak."
"Iya, Mbak. Anggi setuju, kita ikuti kelinci itu."
Si kelinci terus melompat dengan riangnya, untuk beberapa menit keadaan masih aman. Namun, tiba saat sedikit lagi mencapai sungai, mendadak kelinci tersebut menginjak sebuah kawat berduri yang ternyata telah ditimbun dengan dedaunan, di sepanjang tempat yang menuju aliran sungai tersebut.
Sisi dan Anggi mundur, mereka tidak jadi ke sungai itu.
"Mbak, enggak mungkin kita istirahat di sini. Aku yakin kalau nanti malam mereka pasti akan datang ke sini dan mengecek semuanya, apa kita terkena perangkap mereka."
Sisi masih saja berusaha bersikap tenang, dia melihat teduh ke arah Anggi.
"Anggi, kamu tahu kenapa aku sama Andini berbagi tugas seperti ini? Kenapa kami tidak menyelamatkan Dimas sama-sama?" tanya Sisi, dan Anggi menggeleng.
"Ini semua supaya pak Danang terkecoh, dia yang membuat perangkap, tapi dia juga yang terperangkap. Dia mengira kalau aku dan Andini akan pulang bersama, tapi nyatanya Andini malah pergi menyelamatkan Dimas. Pak Danang berharap ayah kamu yang datang untuk menyelamatkan Dimas, dengan begitu dia bisa membunuhnya. Aku sudah menyuruh Mamat untuk menyebarkan berita kalau aku, Andini, dan juga ayah kamu. Kami bertiga sedang pergi untuk menyelamatkan Dimas, jadi .... Bisa dipastikan kalau dia tidak akan ke sini," tutur Sisi bercerita panjang lebar.
Mendengar omongan Sisi, membuat hati Anggi jadi lebih lega sekarang.
Berarti mereka bisa melanjutkan perjalanan tanpa rasa takut untuk tertangkap, hanya harus berhati-hati dari setiap perangkap yang ada di hutan itu.
****