Segalanya yang telah ia hasilkan dengan susah payah dan kerja keras. lenyap begitu saja. kerja keras dan masa muda yang ia tinggalkan dalam menghasilkan, harus berakhir sia-sia karena orang serakah.borang yang berada di dekatnya dan orang yang ia percayai, malah mengkhianatinya dan mengambil semua hasil jerih payahnya.
Ia pun mulai membentuk sebuah tim untuk menjalankan rencana. dan mengajak beberapa orang yang dipilihnya untuk menjalankan dengan menjanjikan beberapa hal pada mereka. Setelah itu, mengambil paksa harta yng dikumpulkan nya dari mereka.
"Aku akan mengambil semuanya dari mereka, tanpa menyisakan sedikitpun!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vandelist, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Selamat membaca
Udara di pagi hari, dengan suara anak-anak yang bermain semangat. Dan juga suara obrolan ibu-ibu dengan kegiatan rutin mereka setiap paginya. Yaitu menyapu. Kegiatan yang akan dilakukan setiap orang di sini, di waktu paginya.
Entah sudah berapa kali ia melihat pemandangan seperti ini, dan ia merasakan kenyamanan di tempat ini. Meskipun letaknya di pinggir kota, namun bukan berarti tempat ini akan menjadi suatu tempat kotor nan kumuh. Justru malah sebaliknya, orang-orang disini sangat menjaga kebersihan. Bahkan setiap seminggu sekali kepala desa sini menyuruh warganya untuk kerja bakti dalam membersihkan selokan. Agar nanti ketika hujan airnya tidak meluap.
Sementara ibu-ibu yang bertugas, mereka melakukan pekerjaannya dalam memenuhi perintah kepala desanya. Yaitu membuat makanan untuk para pria yang membersihkan selokan.
Suatu pemandangan yang jarang ia lihat di tempatnya dulu. Ia merasakan hal yang tak pernah dirasakannya setelah dewasa. Dia merasakan hal ini lagi setelah sekian lama, pemandangan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Di rumah masa kecilnya.
Di rumah masa kecil dengan formasi lengkap, ia biasa melihat pemandangan seperti ini. Dengan dirinya yang bermain bersama temannya, lari-larian di sekitar para pekerja. Dan akan meminta makan pada ayahnya setelah pria itu menyelesaikan pekerjaannya.
Dengan dipangku ayahnya dan ikut makan bersama bapak-bapak yang sedang mengobrol dan juga saling melontarkan candaan.
Serta ibunya dengan kesibukannya sendiri, bersama dengan ibu-ibu lain. Ia tersenyum ketika mengingat masa-masa itu. Masa dimana ia merasakan kebahagiaan yang tak akan pernah terlupakan. Dan juga kenangan indah yang akan terus terpatri di ingatannya.
“Ayah ibu, apakah kalian melihatku dari sana?”tanya Sabia dengan menatap langit.
Kerinduan yang selalu menderanya setiap saat, dan juga bayangan orang yang dirindukannya itu ada di depannya. Entah, sampai sekarang ia masih belum rela orangtuanya tiada. Ada banyak kejanggalan ketika orang tuanya tiada. Dan ia ingin mencari tahu akan hal itu.
Dia masih belum rela, jika semua hasil kerja keras ayahnya di ambil begitu saja oleh orang terdekat ayahnya. Namun dirinya juga tidak bisa melawan mereka,sebab dia saat itu masih terlalu muda. Dan tidak paham dengan apa yang terjadi, serta juga ia tidak memiliki keberanian untuk melawan mereka.
Sabia, menghela napasnya. Terlalu sakit jika mengingat kejadian dirinya waktu muda. Dan terlalu sakit, jika bayangan itu selalu muncul dalam benaknya.
“Sabia!”panggil Bulek Erica dari pekarangan rumahnya.
Sabia pun mendekati Bulek yang sedang duduk di kursi kayu kecil dengan tangan sibuk mencabuti rumput.
“Ada apa Bulek?”tanya Sabia dari pekarangan rumah.
“Bantuin Bulek sini cabutin rumput. Banyak banget iki suket ee”gerutu Bulek dengan tangan yang masih berkutat.
Sabia pun menuruti ucapan Bulek, ia pun masuk ke dalam pekarangan Bulek melalui pintu belakang yang mengarah langsung ke rumah Bulek.
Pekarangan dengan berbagai tanaman yang ditanami Bulek dan tak beraturan. Sangat ciri khas orang desa seperti Bulek Erica ini. Apalagi ayam kampung yang berkeliaran di sekitar area Bulek, dengan mencakar-cakar rumput yang baru saja dicabuti Bulek. Pekarangan ini bisa dibilang lebih luas dari pekarangan rumah Erica. Dan lebih banyak berbagai jenis tanaman daripada di pekarangan rumah Erica.
“Bulek, itu rambutannya udah merah-merah kenapa enggak diambil?”tanya Sabia dengan tangan yang ikut berkutat pada rumput dengan pandangan ke arah pohon rambutan.
Bulek menengadahkan kepalanya ke atas dan melihat pohon rambutan yang ada di depannya. “Iya juga, cepet bangat merah-merah nya. Perasaan kemarin baru pentil-pentil, kamu mau to?”tanya Bulek pada Sabia.
“Kalau dikasih ya mau to Bulek, jarang banget bisa makan buah ini. Apalagi dari pekarangan sendiri”ujar Sabia dengan nada candaan.
“Nanti kalau Pakdhe mu udah pulang biar di ambilin nanti. Duh kalau nggak segera di pek ndak enak nanti kalau dimakan. Apalagi udah merah-merah gitu,”
“Memangnya kenapa Bulek kalau merah-merah?”
“Menurut Bulek kalau buahnya udah kayak gitu, jadi banyak airnya. Dan rasanya jadi kayak asem gitu, Bulek lebih suka yang baru berwarna oren kayak itu,”tunjuk Bulek ke salah satu buah yang baru matang “soalnya masih ada kres-kresnya. Kalau udah merah-merah kayak gitu, banyak airnya dan lembek. Bulek nggak terlalu suka kalau kayak gitu.”
Sabia menganggukkan kepalanya, selera orang dalam menilai sebuah makanan memang berbeda. Mungkin Bulek memang sudah sering merasakan hal menyenangkan di masa kecilnya.
Sehingga pengalamannya dalam menilai sebuah makanan seperti buah-buahan, lebih berpengalaman dari dirinya. Kalau ia, tidak pernah memikirkan hal itu. Dia akan memakan apa saja yang diberi orang padanya. Karena pemberian dari orang-orang itu akan sangat dibutuhkan bagi orang lain.
“Kamu itu kayak Rika kalau lihat buah udah langsung nanya apa aja, baru pertama kali datang kesini anaknya jijikan sama segala hal yang berkaitan dengan kotor- kotor. Cuma bedanya kamu ndak kayak gitu, tapi malah langsung bekerja kalau diajak kayak gini. Dulu Erika ndak kayak gitu, nunggu di ejek Fahmi baru mau ikut bekerja kayak gini,”
“Bulek tuh kadang heran sama orang kota kayak kalian berdua, disaat orang lain pengen kayak kalian berdua. Kalian malah pengen kayak kita, kadang Bulek juga nanya pada Rika. Kenapa malah milih jadi orang biasa, padahal dia itu anaknya dari orang kaya.”
Satu fakta yang baru ia ketahui tentang Erica, yaitu dia berasal dari keluarga berada.
“Alasannya sih katanya kehidupan di kota sebelumnya capek, sumpek, Rika bilang pernah mau bunuh diri karena capek. Bulek denger itu langsung tak jewer telinganya. Tapi yah mau bagaimana lagi, kehidupan Rika itu aja Bulek nggak pernah rasain. Makanya Bulek sempet marah sama Rika.”
“Sampai bapak nasehatin Bulek tentang hal ini. Untuk nggak perlu iri dengan kehidupan orang, terutama Rika. Dan bapak nyuruh Bulek buat nemenin Rika. Akhirnya Bulek nemenin Rika selama tinggal disini.”
Bulek berhenti dari kegiatannya dan beristirahat sejenak dengan Sabia yang mengikuti langkah Bulek. Mereka pun minum air es untuk melepaskan dahaga mereka. Membersihkan pekarangan yang begitu luas membuat tenaganya terkuras habis.
“Sampai Bulek sadar dengan masalah yang dihadapi Rika selama dia ada di kotanya. Hidupnya terkekang, dan dia sulit untuk berekspresi, stres juga. Huft, Rika itu seperti pembawa rezeki bagi Bulek, Pakdhe, dan orang-orang sini. Karena Rika, mau membantu perekonomian daerah ini.
Bulek pernah lihat Rika nangis. Bulek tanya kenapa nangis, ternyata Rika nangis karena ada yang perhatian sama dia. Bulek kadang bingung, kadang juga Bulek iri dengan kehidupan orang kota. Tapi setelah lihat Rika, iri itu hilang dengan sendirinya. Apalagi dengar cerita Rika yang bikin Bulek malah ndak pengen kayak orang kota.”
Sabia tersenyum mendengar cerita Bulek Erica. Kehidupan yang dibilang Bulek nya, memang ada benarnya. Kehidupan di kota tidaklah seindah seperti yang dibayangkan.
Kehidupan di kota itu, seperti tempat bagi setiap orang untuk bekerja keras dan saling menjatuhkan sama lain. Terutama untuk mendapatkan hasil yang di inginkan.
μμ
“Apa aku terima tawaran Erica aja ya?”tanya Sabia pada diri sendiri.
Sudah beberapa bulan lamanya ia tinggal di rumah Erica. Dan sampai sekarang dirinya belum menerima panggilan kerja dari tempat yang ia lamar. Cukup lelah dirinya menunggu selama itu, serta ia juga tidak enak hati jika berlama-lama di rumah Erica.
Meskipun wanita itu tidak mempermasalahkannya, namun dirinya juga merasa tidak enak hati jika terlalu berlama-lama di sini. Apalagi ia tidak ada penghasilan sama sekali.
Cukup lelah menunggu dengan panggilan dari tempat kerja. Dan dirinya sudah terlalu lama menganggur. Dia sangat ingin bekerja dan menghasilkan uang untuk kehidupannya sendiri. Dan juga, untuk segera keluar dari rumah Erica. Ia terlalu sungkan jika terus menumpang disini.
“Huft, kalau kayak gini terus. Sampai kapan aku punya duitnya? Apalagi nenek terus neror dan nggak berhenti,”keluh Sabia. Kepalanya benar-benar pusing dengan keadaan nya sendiri.
“Tuntutan dari nenek sampai sekarang juga belum reda”gumamnya.
Hembusan napas panjang adalah kunci dari kebingungannya. Semua beban yang ia tanggung, seakan-akan tak akan pernah mereda sampai kapanpun. Terkadang ia selalu berdoa pada yang Maha Kuasa, untuk segera mengambil nyawa orang-orang yang memberinya beban. Walaupun itu terdengar kasar, namun beban yang ditanggungnya benar-benar memberatkannya.
Tapi apalah daya, dirinya hanya manusia yang masih banyak salah. Dan doanya bukanlah hal yang baik untuk dikabulkan. Meskipun dia menginginkannya.
Ia pun berjalan ke arah jendela ruang tamu yang mengarah ke jalanan langsung. Tempat dimana Erica sering melamun dan melihat keadaan sekitarnya. Serta mendengar suara tetangga dan anak-anak yang sedang mengobrol.
“Kenapa jadi dewasa harus seberat ini?”
“Kapan beban yang kutanggung berkurang sedikit saja?”
Sabia rindu masa kecilnya, Sabia rindu dengan kehidupannya yang dulu, Sabia ingin kembali ke tempat dimana formasi keluarganya masih lengkap. Ia rindu semua itu.
Tapi dia juga sadar, bahwa kembali ke masa itu adalah sesuatu yang mustahil. Tidak ada yang namanya lorong waktu, itu hanya lah khayalan dari seorang seniman yang merindukan masa-masa indahnya. Atau tidak masa-masa yang ingin diciptakan sendiri.
Kalaupun lorong waktu itu ada, ia pasti akan ikut serta untuk mencoba nya. Hidupnya terlalu pelik di masa ini, dan juga rasa ingin menyerah dalam menjalani nya.
“Haruskah aku menerima tawaran kerja dari Erica?”
“Apakah aku tidak keterlaluan dalam hal ini?”
“Apalagi Erica menolongku di saat diriku tidak memiliki apa-apa, dan juga dia sudah memberiku tumpangan,”
Sabia menggaruk rambutnya dengan kasar dan membuatnya berantakan. Dirinya sangat pusing dalam memikirkan kehidupannya. Penuh kesialan dan tak ada keberuntungan.
“Sampai kapan kesialan hidupku harus menghantui kayak gini?”gumam Sabia. Ia kembali menatap jalanan yang ada di depannya.
Jalanan lurus dengan rumah-rumah yang ada di pinggirnya. Serta beberapa ibu-ibu yang sedang menganyam karya seni untuk dijual. Jalanan hari ini, bisa dibilang sangat lah sepi. Karena beberapa orang sedang melakukan aktivitas rutin mereka, dan anak-anak kecil yang sering bermain lari-larian disini sedang bersekolah untuk menuntut ilmu.
Sedangkan dirinya, menganggur dengan melihat jalanan yang sepi. Dia ingin kembali ke aktivitas rutinnya. Bekerja dengan dibawah tekanan, dan mendapat gaji setiap bulannya. Dia merindukan aktivitas nya yang dulu. Berdiam diri seperti ini, hanya akan membuat dirinya stres berkelanjutan.
“Mungkin aku emang harus menerima pekerjaan dari Erica, nggak ada pilihan lain selain itu”ucapnya.
Ketika dirinya sedang melamun, dia mendengar suara orang membuka pintu rumah ini. Dan ia melihat Erica dengan wajah kusut. Serta lelah.
“Kamu udah pulang? Tumben biasanya Sampek malem pulangnya,”tanya Sabia.
“Pekerjaan nya selesai sebelum waktunya, makanya pulang nya lebih awal,”jawab Erica dengan meletakkan tasnya.
“Oh iya Erica”Sabia mendekati Erica yang sedang duduk. “Tawaran kamu tentang pekerjaan itu...masih berlaku nggak?”
“Kenapa? Kamu mau menerima tawaran ku?”
“Iya, ini mungkin agak keterlaluan aku sebagai tamu mu. Tapi saat ini aku benar-benar butuh banget, jadi bolehkan aku kerja di tempatmu?”
“Kerja di tempat ku?”gumam Erica. Ia jadi teringat dengan pembicaraannya dengan Fyneen. Tentang mengambil kembali harta yang telah dirampas oleh mereka.
Pembicaraan yang bisa dibilang membahas masa lalu dan orang-orangnya dulu. Pembahasannya, sangatlah menguras emosinya. Karena ia akan disuruh ‘melakukannya atau tidak?’ pikirnya.
“Boleh, tapi kamu mau bantuin aku nggak?”
“Bantuin apa, kalau aku bisa pasti aku bantuin.”
“Mungkin ini akan terdengar sedikit kasar menurutmu dan juga berbahaya bagimu. Tapi aku ingin melakukan ini.”
“Berbahaya? Seberbahaya apa, apakah akan mengakibatkan nyawa melayang?”tanyanya. “Bicaralah aku akan mendengarnya.”
Erica menarik napasnya dan menghembuskan pelan. “Agak berbahaya sih dan aku belum bisa menjelaskan secara spesifik tapi... aku ingin mengambil kembali apa yang ku punya dari mereka,”ucapnya tegas. Dia sudah memikirkan ini dengan matang. Beberapa hal sudah ia pertimbangkan banyak. Dan ia yakin dengan apa yang menjadi keputusannya ini.
“Maksudnya?”tanya Sabia yang tidak paham dengan maksud Erica.
“Seperti yang kamu tahu, aku bukanlah penduduk asli sini. Bulek tentu udah beritahu kamu. Dulu diriku, bukanlah seperti yang kamu lihat sekarang, kehidupanku dulu sangat bergelimang harta. Namun semua itu dirampas dari orang-orang serakah yang ingin menguasai semuanya.
Semua hasil kerja kerasku diambil oleh mereka tanpa menyisakan sepersen pun untukku. Dan aku… ditendang keluar dari rumah yang kuhuni dari kecil,”diamnya sejenak “hingga dewasa,”cicitnya.
“Semua hasil kerja kerasku dan timku harus dirusak oleh mereka. Dan membuat semua menjadi tidak berharga. Aku sangat ingin kembali mengambil semuanya, kerja kerasku dan timku harus dipertahankan agar tidak terbuang begitu saja menjadi seonggok sampah.”
“Lalu apa yang akan kamu lakukan untuk mengambil milikmu?”
Erica tersenyum kemenangan dengan pertanyaan yang diajukan Sabia. Rencananya dalam hal ini harus benar-benar berhasil untuk mengambil kembali miliknya. Dia yakin akan hal ini.
“Aku… ingin membentuk sebuah tim”ucapnya dengan penuh ketenangan dan keyakinan.
“Tim? Mencari orang lagi berarti dong?”tanya Sabia.
Erica menganggukkan kepalanya. “Dan aku sudah menemukan orang yang akan bekerja sama dengan kita.”
“Secepat itu?!”
“Hem, tenanglah aku punya orang kepercayaan dalam hal ini.”
“Lalu siapa yang akan membiayai kita? Nggak mungkin dong hanya kamu doang dalam soal biaya,”
Erica mendekati Sabia dan berdiri disampingnya. Merangkulnya dengan perasaan senang. “Tenanglah aku sudah punya investor dalam hal ini. Kamu nanti cukup ikuti cara kerja ku saja.”
Dalam hal ini, memang akan butuh banyak biaya untuk menyelesaikan rencananya. Dan juga butuh waktu yang banyak untuk pendekatan dengan orang-orang yang dipilihnya.
“Orang-orang yang akan bekerja dengan kita ini, bisa dibilang orang yang tidak puas dalam mencari kesenangan. Serta… kebebasan."
suket \= rumput
di pek \= dipetik
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩