Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Meeting dengan Mr. Walker berlangsung selama tiga jam lamanya, penuh dengan diskusi mendalam tentang strategi bisnis, peluang ekspansi, dan kemitraan potensial.
Eleanor menunjukkan ketajamannya dalam memahami angka dan strategi, membuat Mr. Walker semakin tertarik dengan visinya.
Kini, mereka sudah berada di restoran mewah untuk makan siang bersama. Suasana ruangan terasa tenang dengan pencahayaan lembut, sementara alunan musik klasik mengisi latar. Sergey duduk di sebelah Eleanor, sementara Mr. Walker duduk di seberang mereka.
"Saya harus mengakui, Nyonya Ivanov," ujar Mr. Walker sambil meletakkan gelas anggurnya, "saya semula mengira Anda hanya sekadar nama di dalam bisnis ini. Tapi setelah mendengar rencana Anda tadi, saya mulai melihat potensi besar."
Eleanor tersenyum tipis, mengambil napkin dan meletakkannya di pangkuannya sebelum menjawab, "Saya tahu ada banyak keraguan tentang keputusan saya yang akan mengambil alih bisnis keluarga. Tapi saya tidak datang ke sini hanya untuk sekadar nama. Saya ingin membangun sesuatu yang lebih besar."
Sergey melirik Eleanor, ekspresinya datar tetapi ada kilatan kagum dalam matanya.
Mr. Walker mengangguk, terlihat semakin tertarik. "Ambisi yang menarik. Tapi saya penasaran, kenapa Anda baru sekarang berniat mengambil alih bisnis keluarga Anda? kenapa tidak sejak dulu?”
Eleanor mengambil napas, lalu menyesap sedikit anggurnya sebelum menjawab. "Karena dulu saya merasa tidak siap. Tapi setelah melihat bagaimana bisnis keluarga saya terancam oleh para pesaing yang tidak bertanggung jawab, saya sadar bahwa jika saya tidak mengambil alih, semuanya bisa hancur."
Mr. Walker tersenyum. "Jawaban yang bagus."
Pelayan datang, membawa hidangan utama mereka. Percakapan terhenti sejenak saat mereka mulai menikmati makanan. Namun, Eleanor tahu, ia harus memastikan bahwa kepercayaan Mr. Walker benar-benar berpihak padanya.
Beberapa saat kemudian, acara makan siang bersama akhirnya usai. Mr. Walker berpamitan lebih dulu dan berjanji akan mengunjungi perusahaan milik Sergey keesokan harinya untuk menandatangani kontrak kerja bersama.
"Aku harus kembali ke kantor, bagaimana denganmu?" tanya Sergey begitu Mr. Walker pergi.
"Aku mau pulang," jawab Eleanor datar.
"Baiklah, tapi aku tidak bis-"
"Aku bisa pulang sendiri." Potong Eleanor cepat.
Ia menghentikan sebuah taksi, dan langsung masuk ke dalam mobil tanpa berpamitan pada suaminya.
Sergey hanya bisa menatap Eleanor yang kini sudah berada di dalam taksi. Jendela mobil terbuka sedikit, memperlihatkan ekspresi datarnya yang sulit ditebak.
"Kuharap kamu tidak melakukan sesuatu yang gegabah," ujar Sergey, suaranya nyaris tenggelam oleh suara lalu lintas.
Eleanor menatapnya sejenak lalu menjawabnya. "Aku tahu apa yang kulakukan, Sergey," balasnya, lalu menutup jendela.
Taksi itu pun melaju, meninggalkan Sergey yang masih berdiri di trotoar. Ia menghela napas panjang, lalu merogoh ponselnya, menghubungi seseorang.
Sementara itu, di dalam taksi…
Eleanor bersandar, membiarkan kepalanya menyentuh sandaran kursi. Pikirannya masih dipenuhi dengan diskusi panjang tadi. Ia tahu ini baru langkah awal, tapi setidaknya ia sudah berhasil mendapatkan perhatian Mr. Walker.
Namun, di balik keberhasilannya, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Bukan tentang bisnis, bukan tentang pertemuan tadi, tapi tentang Sergey.
Laki-laki itu jelas terkejut dengan sikapnya yang mendadak mandiri, dan Eleanor bisa merasakan bahwa Sergey mulai melihatnya dengan tatapan berbeda.
Ponselnya bergetar, menariknya kembali ke dunia nyata. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sudah lama tak menghubunginya.
"Kudengar kamu akhirnya keluar dari rumah sakit, Eleanor. Kita perlu bicara, datanglah ke rumah sekarang."
Eleanor terdiam, jantungnya berdegup lebih kencang. "Rupanya semua berjalan lebih cepat."
Eleanor mematikan ponselnya setelah mengirim balasan, lalu memasukannya ke dalam tas kecil yang ia bawa.
Sopir taksi meliriknya sekilas melalui kaca spion, seolah menyadari perubahan ekspresi di wajah Eleanor.
"Ke mana tujuan Anda, Nona?" tanyanya dengan nada sopan.
Eleanor menghela napas pelan, merasakan lelah yang mendadak menjalar di sekujur tubuhnya. "Ravenshire Estate."
Sopir taksi itu tampak sedikit terkejut, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Tanpa banyak bicara, mobil pun melaju, meninggalkan hiruk-pikuk kota menuju kawasan elit di pinggiran kota.
Sepanjang perjalanan, Eleanor menatap keluar jendela, memperhatikan gedung-gedung tinggi yang perlahan berganti menjadi deretan pepohonan rimbun dan pagar tinggi.
Ravenshire Estate adalah salah satu kawasan perumahan paling eksklusif dan hanya segelintir orang yang memiliki akses ke dalamnya, salah satunya adalah keluarga Eleanor.
Dua puluh lima menit kemudian, taksi melewati gerbang besi besar dengan ukiran rumit, yang dijaga oleh dua petugas keamanan yang mengenakan setelan rapi.
Setelah melakukan konfirmasi, mereka membuka gerbang, membiarkan taksi melaju di sepanjang jalan beraspal yang dikelilingi taman luas dan air mancur yang berkilauan di bawah cahaya bulan.
Akhirnya, taksi berhenti di depan sebuah mansion megah bergaya klasik dengan pilar tinggi dan jendela besar. Lampu-lampu gantung menerangi teras depan, menciptakan bayangan samar di lantai marmernya. Di balik jendela kaca, Eleanor bisa melihat siluet seseorang berdiri, menunggunya.
Ia menarik napas dalam. Udara siang hari terasa sangat terik, ia tidak percaya jika akan bertemu dengan keluarga Rosenthal secepat ini.
Dengan langkah mantap, Eleanor membuka pintu taksi dan melangkah keluar setelah membayar taksi itu dan menyuruhnya pergi.
Saat Eleanor tiba di teras, dua bodyguard yang berjaga langsung menunduk hormat padanya.
"Ayah ada di rumah?" tanya Eleanor.
"Tuan besar sudah menunggu Anda di ruang keluarga, Nona." Jawab bodyguard itu serempak.
Eleanor mengangguk, ia melangkah memasuki rumah besar itu. Setibanya di dalam, tiba-tiba seorang wanita paruh baya langsung memeluknya dengan erat.
"Sayang, kenapa kamu baru datang sekarang?" tanya wanita itu, ia melepas pelukannya dan menangkup wajah Eleanor. "Kamu tidak rindu padaku?"
"Ibu, kamu sangat tahu bahwa aku selalu merindukanmu. Tapi, putrimu ini sangat sibuk." Jawab Eleanor setengah bercanda.
Wanita itu, Hanna Rosenthal hanya bisa menghela napas, menatap Eleanor dengan mata penuh kerinduan.
"Sibuk selalu menjadi alasanmu, kan? kamu memang nakal," suaranya terdengar setengah bercanda, tapi ada nada sedih yang tak bisa disembunyikan oleh wanita itu.
Eleanor tersenyum tipis. "Aku kembali sekarang, kan? kita bisa berbincang bersama atau minum teh bersama, Bu."
Hanna mengangguk pelan, lalu merapikan rambut Eleanor seperti kebiasaannya dulu. "Kamu selalu seperti ini… keras kepala."
Sebelum Eleanor sempat menjawab, suara berat terdengar dari balik ruangan.
"Eleanor."
Eleanor menoleh. Seorang pria berusia enam puluhan berdiri di ambang pintu ruang keluarga, mengenakan setelan abu-abu yang rapi. Rambutnya sudah hampir seluruhnya memutih, tapi sorot matanya tetap tajam, menunjukkan wibawa yang tak tergoyahkan.
"Ayah."
Edmund Rosenthal menatap Eleanor dalam diam sejenak, lalu melangkah mendekat dengan langkah mantap. Ruangan seketika terasa lebih hening saat pria itu berdiri di hadapan putrinya.
"Jadi, akhirnya kamu memutuskan untuk pulang," katanya, suaranya rendah dan dalam. "Apa yang membuatmu berubah pikiran, Lea?"
Eleanor menegakkan bahunya. "Kudengar Ayah mencariku. Jadi, aku datang. Aku tidak mau Ayah menganggapku sebagai anak durhaka."
Mata Edmund menyipit sedikit, lalu ia memberi isyarat dengan tangannya. "Rupanya kamu sudah banyak berubah, mari kita bicara di dalam."
Eleanor mengikuti langkah ayahnya menuju ruang keluarga yang luas dengan perapian marmer dan rak buku besar di salah satu sisinya. Sebuah meja panjang dengan minuman sudah disiapkan, seolah pertemuan ini memang telah direncanakan sejak lama.
Setelah duduk, Edmund menatap Eleanor dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Aku ingin tahu," katanya sambil menyilangkan tangan di dadanya. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Eleanor? kenapa kamu bisa masuk ke rumah sakit?"
thor 😄😄😄😄😄😄