"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
...****************...
“Nathan tidak punya ibu.”
Aku masih diam, mencoba mencerna kata-kata itu.
Apa maksudnya? Ibunya meninggal? Pergi? Atau—
“Terserah kau percaya atau tidak,” suara Arsen memotong lamunanku, terdengar sedikit lebih mendesak dari sebelumnya.
“Tapi sekarang bukan waktunya untuk mempertanyakannya. Kau tidak lihat? Dia sudah menangis sejak tadi.”
Seakan ingin menegaskan kata-katanya, Nathan kembali menangis lebih kencang.
“OEEEK!! OEEEK!! OEEEK!!”
Kepalaku mulai sakit. Aku menatap bayi kecil itu yang wajahnya sudah memerah karena menangis terus-menerus.
Aku tidak terbiasa menghadapi bayi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menenangkan mereka.
Dan satu hal yang lebih parah—aku benci disentuh.
Seumur hidup, aku selalu menghindari kontak fisik berlebihan. Itulah salah satu alasan kenapa sampai sekarang aku belum menikah. Bukan karena tidak ada yang mendekatiku, tapi karena aku selalu merasa tidak nyaman jika seseorang terlalu dekat secara fisik.
Tapi sekarang?
Arsen Ludwig, seorang pria asing yang baru kukenal hari ini, tiba-tiba memintaku untuk—
Aku menggeleng cepat, menolak keras.
“Tidak. Aku tidak bisa.”
Arsen menatapku dalam-dalam, lalu menghela napas. “Sienna.”
Nada suaranya berubah. Masih tenang, tapi ada sesuatu di sana yang membuatku tidak bisa mengabaikannya.
“Kau butuh sponsor untuk mimpimu, kan?”
Aku membeku.
Arsen melanjutkan dengan nada datarnya, “Aku akan jadi sponsormu. Hingga mimpimu terwujud. Sampai kapan pun.”
Mataku melebar.
“Tapi,” lanjutnya, matanya menatap lurus padaku. “Dengan satu syarat.”
Tenggorokanku terasa kering. Aku sudah bisa menebak jawabannya sebelum dia mengucapkannya.
“Hentikan tangis anakku.”
...****************...
Aku masih terdiam, menimbang segalanya dalam kepalaku.
Bagian diriku ingin menolak. Ini gila. Ini di luar nalar.
Tapi bagian lain dari diriku… mengingat kata-kata Arsen.
Aku akan jadi sponsormu. Hingga mimpimu terwujud. Sampai kapan pun.
Sebuah kesempatan yang tidak datang dua kali.
Aku menggigit bibir. “Baiklah,” gumamku akhirnya.
Arsen tidak bereaksi berlebihan. Dia hanya mengangguk singkat, lalu berjalan ke arah mobilnya. “Masuk.”
Aku mendengus pelan sebelum mengikuti langkahnya. Mobilnya adalah SUV hitam yang terlihat mahal, dan ketika aku masuk, aku melihat supirnya sudah duduk di kursi depan, menunggu.
Arsen masuk setelahku, lalu duduk di sampingku.
Tanpa banyak bicara, dia menoleh ke arah supirnya. “Keluar.”
Supir itu hanya mengangguk sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil, meninggalkan kami bertiga di dalam.
Aku menatap Arsen curiga. “Kenapa nyuruh dia keluar?”
Arsen tidak menjawab. Dia hanya menyerahkan Nathan ke arahku.
Aku menatap bayi mungil itu ragu-ragu, lalu dengan hati-hati mengulurkan tangan. Ini pertama kalinya aku mencoba menggendong bayi.
Begitu Nathan berpindah ke pelukanku, tubuhnya terasa begitu kecil dan rapuh. Tanganku sedikit gemetar, takut kalau aku salah gerakan dan malah membuatnya semakin tidak nyaman.
Aku menatap Arsen tajam. “Bayi sekecil ini kenapa bisa keluar-keluar? Kenapa gak di rumah aja dulu?” protesku.
Arsen menatapku sebentar sebelum menjawab, nada suaranya tetap datar. “Aku gak bisa meninggalkan anakku.”
Aku terdiam.
Aku menatap Nathan yang masih merengek kecil di pelukanku. Tubuh mungilnya bergerak gelisah, tangisannya belum mereda.
Masalahnya… aku gak tahu harus bagaimana.
“Terus gimana caranya?” tanyaku bingung. “Aku gak pernah gendong bayi sebelumnya.”
Arsen menatapku, lalu menjawab dengan sangat santai. “Aku akan buka kemejamu.”
Aku nyaris melempar bayi di tanganku.
“Apa?!” seruku kaget. “Gak mau!”
Arsen menghela napas, lalu menatapku seolah aku yang aneh di sini. “Dia nangisnya makin keras.”
Aku menoleh ke Nathan.
Benar saja—tangisannya semakin kencang, membuatku panik setengah mati.
Oke, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang.
Aku mengembuskan napas panjang, mencoba mengabaikan rasa panas di wajahku. Ini bukan waktunya untuk bersikap canggung atau mempertanyakan segalanya.
“Aku yang buka sendiri,” gumamku, masih merasa sulit percaya dengan apa yang akan kulakukan. “Tapi pegang dulu anakmu.”
Arsen tidak banyak bicara. Dia hanya mengambil Nathan kembali ke pelukannya, sementara aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
“Jangan lihat aku,” tegasku.
Arsen mengangguk datar, meskipun ekspresinya menunjukkan dia sama sekali tidak peduli. Tapi tetap saja, aku meliriknya curiga sebelum dengan tangan gemetar mulai membuka kancing kemejaku.
Nathan masih menangis, lebih histeris dari sebelumnya. Tangisan nyaringnya memenuhi seluruh mobil, membuatku semakin panik.
Begitu kancing atas terbuka, aku langsung merasakan udara dingin menyentuh kulitku. Aku buru-buru merapatkan kedua tanganku ke dada, berusaha menutupi bongkahan gunung kembar yang sekarang terekspos sebagian. Lalu membersihkan put***ku dengan tisu bayi.
“Cepat kasih kesini anaknya,” ujarku canggung.
Arsen menyerahkan Nathan tanpa banyak tanya.
Tapi aku masih sibuk menjaga agar dadaku tetap tertutup, tanganku bergerak canggung di antara mencoba menggendong Nathan dan tetap menutupi bagian tubuhku.
Melihat itu, Arsen hanya mendengus pelan.
“Lepaskan saja. Aku juga gak selera.”
Aku menoleh tajam, menatapnya penuh geram. Brengsek.
Aku mengumpat dalam hati, tapi situasinya terlalu genting untuk membalas ucapannya. Dengan pasrah, aku akhirnya menurunkan tanganku, membiarkan kulitku terekspos sepenuhnya di depan pria yang baru saja kutemui hari ini.
Astaga, ini gila.
Tapi aku tidak punya pilihan.
Dengan hati-hati, aku menggendong Nathan lebih dekat dan mengarahkan put*ngku ke mulut kecilnya.
Sejenak, tidak ada reaksi. Tapi begitu kulitku menyentuh bibirnya, naluri bayi itu langsung bekerja.
Sedetik kemudian, aku mengerang pelan saat Nathan mulai menyedot put*ngku.
“Akh… Aduh, sakit banget."
Aku menggigit bibir, menahan rasa tidak nyaman yang menjalar. Sensasinya aneh, perih, dan menusuk. Ini pertama kalinya bagian tubuhku disentuh seperti ini, dan aku sama sekali tidak siap.
Di sampingku, Arsen menatap tanpa ekspresi. Tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan.
Ekspresi aneh.
Campuran antara keterkejutan, keheranan, dan… entahlah.
Namun lebih dari itu, aku bisa melihat kekhawatiran di wajahnya.
Dan benar saja—tak lama kemudian, tangisan Nathan mereda.
Bayi kecil itu kini hanya mengisap pelan, sesekali merengek kecil, tapi jauh lebih tenang daripada sebelumnya.
Aku menghela napas panjang, merasa seperti baru saja melewati ujian hidup yang paling absurd.
Aku menatap Arsen dengan ekspresi frustrasi.
“Terus ini gimana?” tanyaku lirih, suaraku masih bergetar karena sensasi aneh di tubuhku. “Gak ada susunya.”
Tanpa menjawab, Arsen merogoh sesuatu dari dalam tas perlengkapan bayi yang ada di sampingnya. Sebuah dot bayi muncul di tangannya—sudah berisi susu formula.
Aku mengerutkan kening. “Kau sudah siapkan ini dari tadi?”
Arsen menatapku sekilas. “Aku tetap mencoba. Siapa tahu berhasil.”
Aku menghela napas, lalu menoleh ke bawah, menatap Nathan yang masih dengan rakus mengisap putingku.
“Sekarang gimana cara melepaskannya?” tanyaku putus asa. “Dia nyedotnya terlalu kuat.”
Arsen menghela napas, lalu mengulurkan tangan.
Aku terdiam saat jari-jari panjangnya menyentuh dadaku.
Perlahan, dengan gerakan sangat hati-hati, dia menekan area di sekitar putingku, berusaha melepaskan isapan Nathan tanpa menyakitiku lebih parah. Tapi tetap saja—
“Akh!” erangku pelan.
Arsen menatapku, sedikit khawatir, tapi tetap melanjutkan usahanya.
Sentuhannya sangat lembut. Bahkan lebih lembut dari yang kubayangkan seorang pria seperti dia bisa lakukan.
Dan itu justru membuatku semakin membeku.
Aku tidak bisa berpikir jernih.
Ini pertama kalinya dadaku disentuh oleh pria.
Detik berikutnya, Nathan akhirnya terlepas. Dengan sigap, Arsen langsung memasukkan dot bayi ke mulutnya.
Bayi itu sempat rewel sebentar, tapi akhirnya mulai mengisap dotnya dengan tenang.
Sedangkan aku masih diam, tubuhku terasa kaku.
Bingung.
Syok.
Dadaku… baru saja disentuh pria lain!
Dan aku bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa!
.
.
.
Next 👉🏻
Amankah post gini di bulan puasa 😭