Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Kekuranganku? Katakan!
Berdebar dada Hana mendengar pertanyaan Yudis dari seberang telepon. Tangannya masih saja gemetar hebat tatkala menutup panggilan itu. Napasnya memburu, pandangannya gelisah.
Alin yang menyadari teman masa kecilnya itu tidak baik-baik saja, segera memegang kedua tangan Hana. Matanya menatap cemas dan penasaran. "Ada apa, Hana? Kenapa kamu gemetar begitu? Apa itu panggilan dari cowok gila yang ngejar-ngejar kamu?"
Hana menoleh sambil mengangguk cepat. Alin segera memeluk temannya itu, seraya berusaha meredakan kegelisahan bercampur takut yang berkecamuk di dada Hana. "Tenang, Hana. Ada aku di sini. Kamu nggak perlu takut," ujarnya.
"Alin, aku takut dia tiba-tiba datang kemari. Dia pasti memata-matai aku dari kejauhan. Aku yakin itu," rintih Hana dengan suara bergetar.
Alin mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tak ada yang mencurigakan di sana. Orang-orang berlalu lalang tampak melintas seperti biasa, bahkan salah satu dari mereka tak ada yang memperhatikannya dan Hana.
"Hana, sebaiknya kita pergi dari sini. Kamu mau nggak mampir ke kos aku? Nanti kita makan kerak telor sama secangkir kopi bareng. Gimana? Kamu mau, kan?" usul Alin.
"Tapi, kamu kayaknya lagi sibuk hari ini," sanggah Hana, merasa sungkan.
"Enggak. Aku nggak sibuk-sibuk amat. Anggap aja aku lagi melindungi kamu dari rasa takut. Oke?"
Hana mengangguk setuju. Keduanya berjalan meninggalkan taman, menuju jalan raya. Sesekali, Hana mengalihkan pandangan ke arah lain, memastikan Yudis tak berada di sekitarnya.
Ketika naik bus kota, panggilan itu muncul lagi di ponsel Hana. Lagi-lagi, Hana menunjukkan reaksi ketakutan luar biasa seperti di taman lagi.
Melihat kecemasan di wajah Hana, Alin segera merebut ponsel itu dari temannya. Diangkatnya panggilan masuk itu, lalu menempelkan ponsel ke telinganya.
"Siapa ini? Berhenti menelepon Hana dan jangan ganggu dia lagi. Ngerti?" cerocos Alin bersungut-sungut.
"Kenapa kamu bicara begitu? Mana Hana? Aku rekan kerjanya Hana," jawab seorang perempuan dari seberang telepon.
"Oh, aku kira dari orang misterius. Maaf, ya. Sebentar, aku mau kasih dulu hapenya ke Hana," tutur Alin sambil nyengir, lalu menyerahkan ponsel pada Hana. "Temen kerja kamu," terangnya.
Hana tercengang, lalu menerima ponsel dari tangan Alin. Ditempelkannya ponsel ke telinga, seraya berkata, "Ini siapa, ya?"
"Aku Santi, temen kerja kamu. Kata staf kafe, permohonan cuti kamu dibatalkan. Kita lagi butuh tenaga tambahan buat melayani pembeli yang membludak. Kamu bisa ke sini sekarang juga, kan?" jelas gadis di seberang telepon.
"Oh, iya iya. Aku akan segera ke sana. Aku lagi di perjalanan. Tenang saja," tutur Hana.
"Kalau begitu, cepatlah." Panggilan pun diakhiri oleh Santi.
Hana mendesah pelan, dan menoleh pada Alin. Kekecewaan tampak jelas di wajah gadis itu, mengetahui bahwa dirinya mendadak harus pergi ke kafe.
"Alin, kapan-kapan aja, ya, aku main ke kos kamu. Di kafe sedang kedatangan banyak banget pengunjung, jadi aku batal cuti," kata Hana dengan penuh penyesalan.
"Hm ... kamu beneran mau masuk kerja hari ini? Gimana kalau cowok itu tiba-tiba datang ke kafe?" tanya Alin cemas.
"Aku juga nggak tau. Tapi, semoga aja hari ini dia juga sibuk dan nggak ada waktu buat nemuin aku. Dia itu mahasiswa fakultas kedokteran. Pasti mata kuliahnya banyak, kan?"
"Oh, jadi dia anak kedokteran. Semoga dia nggak gangguin kamu hari ini. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku aja, ya. Nanti aku kirim alamat kos aku lewat WhatsApp, jaga-jaga kalau seandainya cowok itu masih menguntit kamu, kamu datang aja ke kos aku," tutur Alin.
"Terimakasih banyak, ya, Lin. Kamu bener-bener malaikat penolongku."
"Nggak usah sungkan. Kita kan teman."
Seiring berlalunya waktu, bus tiba di depan kafe tempat Hana bekerja. Gadis berambut panjang itu berpamitan pada Alin sambil melambaikan tangan, lalu turun dari bus dan melenggang menuju kafe.
Alin masih memandang Hana sampai temannya masuk ke kafe. Ia tak menyangka, teman masa kecilnya itu mengalami masalah yang tak biasa. Berurusan dengan seorang pria obsesif dan psikopat bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
***
Malam semakin larut, waktunya kafe segera tutup. Setelah berkutat dengan membludaknya pembeli hari ini, para pegawai akhirnya bisa bernapas lega. Hana bersama pelayan lain membersihkan meja dan kursi agar nyaman dipakai esok hari.
Saat para pegawai merasa yakin tak ada pengunjung lagi, tiba-tiba Yudis datang memasuki kafe. Jelas, kehadirannya sangat menjengkelkan bagi mereka.
"Pesan dua cangkir cappucino," ucap Yudis pada seorang kasir.
"Maaf, Kak. Kafe kami sebentar lagi akan tutup. Sebaiknya Kakak mampir lagi kemari besok saja, ya," jelas seorang kasir dengan sangat menyesal.
"Ayolah! Apa kalian semua ingin diberhentikan secara tidak hormat? Aku kenal dengan pemilik kafe ini. Jadi, nggak usah banyak alasan," tukas Yudis tak terima.
"B-Baiklah. Dua cangkir cappucino, ya?" tanya kasir itu dengan tergagap-gagap. Ia merasa tak enak hati setelah Yudis mengungkapkan hubungannya dengan pemilik kafe.
Sementara itu, Hana yang baru saja menyimpan apron dan bergegas pulang, seketika membeku mendapati Yudis duduk di kursi dekat jendela. Alih-alih memedulikan kehadiran pria itu, Hana berjalan dengan terburu-buru. Yudis yang tak mau kehilangan Hana, segera mencengkeram lengan gadis itu erat-erat.
"Mau pergi ke mana kamu? Duduklah dulu," ujar Yudis, beranjak dari kursinya sambil menatap Hana dalam-dalam.
"Aku nggak punya waktu. Aku mau segera istirahat. Permisi," tutur Hana tergesa-gesa, napasnya tak beraturan.
"Apa kamu mau melanggar persyaratanmu sendiri, Hana? Ini sudah lebih dari tiga hari. Apa kamu masih butuh waktu lebih lama untuk berpikir?"
"Iya. Aku belum mendapatkan jawaban yang tepat. Jadi, biarkan aku pergi. Oke?" jelas Hana menatap nyalang kedua mata pria itu.
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi sebelum aku mendengar keputusannya langsung hari ini. Duduklah dulu. Aku sudah memesan dua cappucino buat kita," sanggah Yudis dengan tegas.
Hana mendesah kasar. Mau tidak mau, ia akhirnya menuruti kemauan Yudis untuk duduk sejenak, menikmati kopi yang sudah dipesannya.
Tak lama kemudian, seorang pelayan lain membawakan dua cangkir kopi yang dipesan Yudis. Sesekali, pelayan itu mendelik pada Hana, seolah tak suka melihat rekan sepekerjaannya diistimewakan oleh seorang pelanggan.
Selepas pelayan pergi, Hana pun berusaha tetap tenang dan mencoba mencaritahu alasan Yudis begitu menuntut jawaban darinya. Ditatapnya Yudis dengan gusar sambil mengepalkan tangan.
"Kenapa kamu ingin sekali mendapatkan jawabannya malam ini juga? Apa tidak ada waktu lagi selain esok atau lusa? Lagipula, aku tidak akan kabur ke mana pun," cerocos Hana.
"Aku percaya, kamu memang tidak akan pergi ke mana pun. Aku cuma nggak mau kamu jatuh ke pelukan lelaki lain," jelas Yudis, lalu menyeruput kopi.
"Kenapa kamu begitu cemburu dan posesif seperti itu? Bukankah aku sudah bilang, aku butuh waktu sendiri? Apa kamu sulit memahami itu?" gerutu Hana bersungut-sungut.
"Hana, tenanglah dulu. Aku tidak menuntut apa pun selain jawabanmu," ujar Yudis, sambil mengulas senyum simpul.
Hana mendengus sebal dan membuang muka. Ia melipat kedua tangannya, seakan enggan menerima semua perkataan Yudis.
"Kalau begitu, aku mau tau alasan kamu begitu ngotot mendekati aku. Apa yang spesial dari aku? Kamu ini mahasiswa fakultas kedokteran, tampan, dan pastinya banyak uang. Nggak diragukan lagi, di luar sana pasti banyak perempuan yang tergila-gila sama kamu. Bahkan Arum pun mau berkencan sama kamu, meski akhirnya harus meregang nyawa," ketus Hana, sesekali mendelik pada Yudis.
"Karena aku suka kesederhanaan kamu, Hana. Di tengah hingar-bingar dunia, aku butuh ketenangan. Dan, buatku, ketenangan itu cuma ada pada dirimu, bukan perempuan lain. Apa penjelasanku masih belum cukup?"
Hana tersenyum sinis, seraya berkata, "Aku pikir kamu hanya menyukai fisikku saja."
Yudis tertawa kecil. "Seleraku tidak semurah itu, Hana. Jika aku memandang perempuan dari fisik saja, mungkin sudah banyak perempuan cantik yang aku tiduri."
Hana berdecak, sambil sesekali mendelik pada Yudis. Ia merasa yakin, pria di depannya pandai memanipulasi. Terbukti dari caranya menjebak Arum, yang berujung dengan lenyapnya nyawa.
"Jadi, gimana? Kamu mau, kan, menerima aku?"
Hana memandang Yudis dengan yakin, seraya berkata, "Jawabanku masih sama. Aku nggak bisa menerima kamu. Maaf."
Yudis mengembuskan napas berat. Hatinya seketika terbakar amarah setelah mendengar jawaban tegas dari Hana. Alih-alih meluapkan kekecewaannya, ia mengusap muka, lalu menatap Hana sembari tersenyum kecut.
"Begitu, ya. Coba katakan, apa yang kurang dariku sampai kamu menolakku berkali-kali," tutur Yudis menatap Hana dengan tajam.
"Apa kamu masih nggak sadar dengan diri kamu sendiri? Lihatlah status kita! Kamu seorang mahasiswa kedokteran, sedangkan aku pelayan kafe yang bersusah payah bekerja demi menghidupi diri sendiri dan keluarga. Kamu terlalu sempurna bagi aku yang tidak berkecukupan ini, Yudis," jelas Hana, berusaha tetap bersikap santun, meski kekesalan berkecamuk hebat dalam dadanya.
Yudis mengangguk takzim. "Jadi, kamu merasa minder dengan perbedaan status sosial kita?"
"Bukan hanya itu. Aku tidak suka dengan semua caramu mendapatkan perhatian dariku. Membunuh dua orang yang aku sayangi bukanlah hal benar. Sebaiknya kamu menyerahkan diri ke polisi dan mengakui semua kesalahanmu," imbuh Hana.
Yudis memutar bola mata, lalu mengetuk-ngetuk meja sambil tertunduk lesu. Sekali lagi, ditatapnya wajah Hana yang letih setelah seharian bekerja itu dengan jengkel.
"Apa dengan menyerahkan diri ke polisi, kamu mau menerima aku dalam hidupmu?" tanya Yudis, merasa sangsi.