Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 8
“Fisa, kamu bicara sama siapa?” Nuria mendekati temannya yang berdiri di depan dinding tembok, Fisa melihat hantu kepala panjang lenyap begitu saja di depan mata.
“Ah, bukan siapa-siapa, kamu salah dengar mungkin.”
“Yang kulihat lebih banyak daripada dugaanmu Fisa, jadi kuharap kamu bisa jujur padaku.”
Nafisa tergagap, ia belum siap menceritakan kemampuannya pada Nuria, mereka belum sedekat itu untuk bisa saling bercerita rahasia pribadi seperti ini. Fisa memutuskan meraih tas dan berpamitan pulang. “Maaf, aku pulang dulu Nuria.”
“Hey, Fisa! tunggu aku!” Nuria melihat Fisa berjalan keluar kelas, pikiran gadis itu mulai tak tenang. Sebenarnya sedikit banyak ia mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada temannya itu, dan jika memang itu nyata berarti berada di kelas sendirian seperti ini bukan sesuatu yang baik. Nuria merapikan isi tasnya lalu berlari pergi mengejar Fisa.
***
Empat gadis terlihat di belakang sebuah bangunan sekolah, tiga di antaranya berdiri dengan tangan berkacak pinggang, sedangkan satu lainnya berlutut dengan air mata berderai di kedua belah pipinya. Kejadian kemarin adalah penyebab ketiga temannya itu marah besar.
“Haruskah aku mengirimnya sekarang?” tanya Alena, seringai kecil tercetak di sudut bibirnya yang merah, tatapan mata nyalang menatap seorang gadis yang memohon ampunan.
“Kumohon maafkan aku kali ini, kumohon Alena. Aku akan lakukan apapun yang kamu mau."
“Sungguh?” Alena meraih dagu gadis itu, sedikit mengangkatnya untuk melihat lebih jelas wajah basah penuh air mata, kemudian ia menyentaknya keras. “Baiklah, istirahat nanti bawa dia kesini, aku ingin bermain-main sebentar dengan gadis tak tahu malu itu. Kalau kamu gagal, maka kamu yang akan menggantikannya, mengerti?”
“Hana pasti mengerti Al, dia kan tidak bodoh, ya kan Hana?” tanya Zeti. Hana mengangguk ketakutan.
Sementara itu di tempat berbeda, Arjuna kembali menemui Fisa di kelas, lelaki itu berpamitan tak bisa menemani Fisa saat istirahat nanti. Karena ada beberapa kesibukan yang tak bisa ditunda.
“Nuria, kamu temani Fisa nanti ya, aku sudah belikan kalian banyak jajanan jadi nggak perlu ke kantin,” kata Arjuna meletakkan kantong plastik berisi makanan ringan, susu botol dan roti lapis.
“Kamu ini udah kayak orang tuaku aja Arjun, nggak asyik ah lama-lama.”
“Udah jangan cerewet, tante titip kamu ke aku jadi wajar aku seperti ini.”
Lagi lagi Arjuna mengacak rambut Fisa saat gadis itu mencebik mendengar alasannya, setelah itu ia berpamitan kembali ke kelas sebab bel pelajaran pertama berbunyi. Fisa hanya melihat punggung Arjuna yang semakin lama semakin jauh, ia hanya merasa bersyukur memiliki sahabat sebaik ini.
“Kalian yakin bersahabat? kayaknya Kak Arjun nggak anggap gitu sih,” seloroh Nuria tiba-tiba, Fisa meminta gadis itu diam karena bu Anita baru saja masuk kelas dan mengucap salam. Ia tak ingin mendapat hukuman seperti kali terakhir bersama Pak Rafan saat itu.
Pelajaran jam pertama berjalan lancar, Fisa merapikan catatan di bukunya, ia terbiasa mencatat hal-hal kecil yang tak ada di dalam buku paket, seperti materi-materi tambahan yang diberikan langsung oleh para guru. Hal-hal seperti itu sama pentingnya dengan pelajaran utama bagi Fisa, siapa tahu kedepannya ia akan membutuhkan materi-materi tambahan itu.
Bel istirahat berbunyi beberapa saat lalu, para siswa berebut keluar kelas, termasuk trio usil yang selalu memanggil Fisa dengan sebutan donat gula, meskipun gadis itu sudah tak lagi memakai bedak seperti waktu itu. Fisa tak marah, ia tak keberatan dengan panggilan yang menurutnya justru terdengar imut itu.
Apalagi ketiga siswa itu hanya menggodanya saja, mereka tak berani berbuat macam-macam, kalau saja berani pun Fisa berjanji tak akan diam saja. Ia memutuskan melawan siapapun yang mengganggunya mulai kini.
“Eh Fisa, ini beneran kak Arjun nggak beliin air mineral? cuma susu doang? astaga bisa gendut dong kalau kita konsumsi manis-manis aja kayak gini,” kata Nuria mengeluarkan satu persatu makanan ringan di dalam kantong plastik pemberian Arjuna, mereka kini duduk di depan kelas, pada deretan kursi yang memanjang di ujung lorong.
Fisa hanya tersenyum, membuka pembungkus roti lapis dan mulai menikmatinya. Tangan kirinya sibuk membuka susu botol rasa coklat kesukaannya itu, Arjuna membeli sesuai selera Fisa.
“Tunggu-tunggu, kamu nggak takut gendut? Fis, remaja seperti kita harus menjaga penampilan. Okelah kamu belum bisa dandan, nanti aku akan ajari, tapi bentuk tubuh ideal tak mungkin kamu juga mengabaikannya kan?”
“Aku tipe gadis yang sulit gemuk Nuria,” sahut Fisa sambil mencoba menelan rotinya yang tersangkut di leher, tangan gadis itu berusaha menggapai susu botol di tangan Nuria, Nuria lantas membantu membuka penutup botol dan memberikannya pada Fisa.
“Kalau gitu mah kamu enak, aku tipe yang tarik nafas aja udah gendut. Ya udah deh kalau gitu aku ke kantin sebentar ya Fisa, beli air mineral dulu, jangan habisin loh! mentang-mentang sulit gemuk jangan makan banyak, sisain buat aku, oke?” Nuria berjalan mundur sebelum akhirnya berlari menuruni anak tangga menuju kantin.
Fisa tersenyum tipis menghadapi kelakuan gadis itu, dulu ia mengira Nuria itu pendiam dan pemalu, nyatanya semakin mengenalnya, Nuria tipe gadis ceria yang sedikit cerewet. Tapi itu tidak masalah bagi Fisa, yang terpenting hidupnya jadi lebih berwarna sejak memiliki teman.
“Hai Nafisa, boleh kita bicara sebentar?”
Fisa terkejut mendapati seorang gadis berdiri di depannya, ia merasa tak asing dengan gadis itu, setelah dicoba mengingat barulah ia tahu gadis di depannya adalah salah satu dari gadis yang hendak mencelakainya kemarin.
“Bicara apa ya Kak?”
“Jangan panggil Kakak, panggil saja aku Hana. I-itu sebenarnya aku cuma mau minta maaf sama kamu, mewakili teman-temanku kemarin. Kalau kamu maafkan aku, bolehkah kamu ikut aku sebentar ada yang ingin kutunjukkan padamu.”
Fisa mulai tak tenang, tapi hati kecilnya berkata gadis di depannya ini baik, tak seperti tiga gadis lain. “Mau tunjukin apa?” tanya Fisa.
“Ikut saja, sebentar kok.” Hana menarik tangan Fisa, awalnya Fisa hendak menolak tapi gadis itu masih terus meyakinkannya jika ini sesuatu yang penting dan ada hubungannya dengan Arjuna. Karena penasaran Fisa memutuskan mengikuti gadis itu, yang membawanya menuju belakang sekolah.
Baru kali ini Fisa melihat bagian belakang sekolah, ternyata di sana ada sebuah ruang terbengkalai yang diprediksi Fisa sebagai gudang, Hana membawanya menuju belakang gudang. Di sini perasaannya semakin tak karuan.
“Kenapa kamu membawaku kesini?”
“Maafkan aku Fisa, aku terpaksa melakukan ini.” Hana mendorong Fisa pada teman-temannya yang telah menunggu, mereka sigap menangkap kedua tangan Fisa. Setelah itu Alena datang membawa sebuah benda besar yang tertutup kain, ukuran benda itu hampir sama dengan tinggi badannya.
“Hallo anak bodoh, kamu pasti bingung ya kenapa kami membawamu kesini. Oke, aku akan jelaskan secara singkat, kuharap kamu membuka telinga busukmu itu!”
“Lepaskan aku! aku tak peduli dengan masalah kalian!”
Alena tertawa nyaring, suaranya bahkan menyakiti gendang telinga Fisa. Gadis itu mirip psikopat yang pernah ditontonnya di film-film horor, setelah puas Alena menghentikan tawanya. “Jangan dekati Arjuna lagi, dia itu milikku bodoh! sekali lagi kamu kegatelan kupastikan kamu akan menyesal seumur hidup.”
Alena melirik Hana di belakangnya, Fisa bisa melihat penyesalan di wajah gadis itu, setiap kali Fisa mencoba menatapnya, Hana akan segera menunduk.
Alena meraih ponsel, mengarahkan benda pipih itu pada tubuh Fisa, setelah itu ia memaksa Hana membuka kain penutup benda besar yang dibawanya tadi. Hana menarik kain dan sebuah cermin besar terpampang nyata di depan Fisa. Fisa menjerit kaget, ia merasa nafasnya tercekat, jantungnya berdetak berkali-kali lipat dari normalnya. Mereka menertawakan kekonyolan Fisa ini, bahkan Alena yang terus merekam Fisa mengatakan jika Fisa aneh karena takut pada cermin.
"Rupanya kabar yang beredar itu benar, kamu takut cermin? Baru kali ini aku menemukan orang seaneh dirimu!" ujar Alena di sela tawanya yang tak kunjung usai.
“Pantas saja dia jelek, rupanya alergi cermin!” teriak Zeti.
“Mungkin dia pakai susuk Al sampai-sampai wajah burik begini bisa menggoda Arjuna,” sahut gadis lain yang tak diketahui namanya oleh Fisa.
“Aku akan menyebar video lucu ini, aku pastikan semua orang tahu betapa anehnya dirimu. Jika kamu masih terus mendekati Arjuna.”
Fisa tak menghiraukan ucapan mereka, ia tak peduli orang tahu fakta dirinya takut cermin, yang terpenting saat ini adalah, Fisa bisa melihat tanda kematian di tubuh Hana. Gadis yang kini berdiri tak jauh dari cermin itu tampak takut-takut memandang sekitar, mungkin ia khawatir ada yang mendengar tawa keras ketiga temannya, dan menemukan mereka sedang membully Fisa.
"Sudah ya Alena, lepaskan saja dia," kata Hana.
...