Rojak adalah pemuda culun yang selalu menjadi bulan-bulanan akibat dirinya yang begitu lemah, miskin, dan tidak menarik untuk dipandang. Rojak selalu dipermalukan banyak orang.
Suatu hari, ia menemukan sebuah berlian yang menelan diri ke dalam tubuh Rojak. Karena itu, dirinya menjadi manusia berkepala singa berwarna putih karena sebuah penglihatan di masa lalu. Apa hubungannya dengan Rojak? Saksikan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugito Koganei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16 - Apa yang terjadi padaku?
Vina baru saja pulang dari sekolah. Ia merasa letih setelah seharian penuh belajar dan beraktivitas. Ketika membuka pintu rumahnya, Vina langsung disambut oleh aroma harum masakan yang menggoda. Di ruang makan, Mbok Yani, pembantunya yang setia, sudah menyiapkan hidangan lezat untuknya.
"Selamat datang, Non. Sudah siap makan?" tanya Mbok Yani dengan senyum ramah di wajahnya yang penuh keriput. Meskipun tampangnya seram, Mbok Yani adalah orang yang baik hati dan humble.
Vina tersenyum lemah.
"Terima kasih, Mbok. Aku laper banget."
Mereka berdua duduk di meja makan dan mulai menikmati hidangan yang telah disiapkan. Mbok Yani selalu memiliki cerita menarik untuk diceritakan, dan hari ini pun tidak berbeda. Mereka berbicara tentang berbagai hal, mulai dari kenangan masa kecil hingga cerita-cerita lucu dari kampung halaman Mbok Yani.
Namun, meskipun Vina berusaha tersenyum dan tertawa, Mbok Yani bisa melihat bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran gadis itu. Mbok Yani mengenal Vina seperti anaknya sendiri, dan ia bisa merasakan jika ada sesuatu yang tidak beres.
"Non, kamu terlihat sedih. Ada apa?" tanya Mbok Yani dengan lembut.
"Anggap saja Mbok ini orang tuamu. Ceritakan apa yang sedang mengganggumu."
Vina menghela napas panjang.
"Akhir-akhir ini, aku selalu merasa dihantui oleh makhluk halus. Dan tidak hanya itu, aku juga disantet oleh seorang dukun bernama Mbah Rukmini."
Mendengar nama Mbah Rukmini, wajah Mbok Yani langsung berubah. Ia terkejut dan sejenak terdiam. Vina menatapnya dengan heran.
"Kenapa, Mbok? Apa Mbok kenal dengan Mbah Rukmini?" tanya Vina dengan cemas.
Mbok Yani mengangguk perlahan.
"Ya, Non. Saya mengenalnya. Dia seorang dukun kejam yang pernah tinggal di kampungku. Dulu, dia terlilit hutang dan mempelajari ilmu hitam untuk membalas dendam kepada debt collector yang mengganggunya. Sejak itu, semua orang di kampung takut padanya."
Vina merasa merinding mendengar cerita itu.
"Jadi, dia benar-benar berbahaya, ya?"
Mbok Yani mengangguk.
"Iya, Non. Mbah Rukmini tidak bisa dianggap remeh."
Mbok Yani kemudian bilang.
“Seperti yang kita tahu, itu sama sekali ga bisa dibiarkan begitu saja. saya akan memasangkan jimat pelindung untukmu.”Kata Mbok Yani.
Vina terheran-heran.
“Kenapa harus pakai jimat?”
“Kan sudah saya jelaskan, Mbah Rukmini ga bisa dibiarin. Kalau Non hanya mengandalkan telekinesis, itu ga cukup.”
Mbok Yani terus membujuk Vina. Bahkan dengan mengelus rambutnya agar Vina tenang, bujukan maut dari Pembantu tua itu pun berhasil.
Di tempat lain, di Rumah Rizal, Rizal duduk di kamar gelap dengan jantung berdebar kencang. Di depannya, tergeletak berkilauan perhiasan emas ibunya yang telah dia kumpulkan secara diam-diam. Keringat dingin membasahi pelipisnya saat ia membayangkan reaksi orang tuanya jika mereka mengetahui niatnya.
Tanpa menunggu waktu lama, Rizal memasukkan perhiasan itu ke dalam tas dan bergegas keluar dari kamarnya. Namun, belum sempat ia melangkah keluar pintu, ia mendengar suara langkah berat mendekat. Ayah dan Ibu Rizal muncul di ambang pintu dengan wajah yang tak hanya khawatir, tapi juga dipenuhi kemarahan.
"Apa yang kamu lakukan, Rizal?" suara Ayahnya menggema di ruangan.
“Nak? Kamu kemana saja, Nak? Dan perhiasan Ibu mau kamu apain?”tanya sang Ibu.
Rizal mencoba tetap tenang, tetapi suaranya bergetar saat menjawab.
"Aku ingin menjualnya."
Mendengar itu, kedua orang tuanya kaget.
"Untuk apa?!" Ayahnya menuntut penjelasan.
"Itu urusanku," jawab Rizal dengan tegas.
"Ini sangat penting."
Ayahnya tidak puas dengan jawaban itu.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja. Kau bolos sekolah tanpa kabar, Kepala Sekolah sudah mengancam akan mengeluarkanmu. Apa kau sadar betapa seriusnya ini?"
Dengan santai Rizal menjawab.
"Ayah kan bisa sogok mereka dengan banyak duit. Kita kan ber-adidaya. Apa sih yang enggak dari Pemilik SMA Sinar Pintar?"
“PLAK!”
Tiba-tiba, Ayahnya menampar Rizal, kemarahan terlihat jelas di wajahnya.
"Dengar ya, Rizal. Aku tidak pernah mengajari anakku menjadi pembangkang. Aku tahu kau telah menyuap banyak guru dan Kepala Sekolah agar bisa berbuat sesuka hatimu!"
“Ri-Rizal?”
Tepat saat itu, pintu terbuka dan Angie, pacar Rizal, masuk. Ia mendengar percakapan itu dan wajahnya memucat.
“S-sayang? Kamu kok bisa ada disitu?”
Angie menghampiri Rizal penuh dengan kekecewaan. Tak sampai disitu, gadis cantik itu juga menghujani Rizal dengan ribuan pertanyaan.
“Jadi, ini alasan kamu jarang menghubungiku? Ini alasan kamu bolos sekolah? Dan jangan bilang…foto Rojak yang tergeletak di tumpukan sampah itu ulahmu? Dan apa semua penderitaan Rojak karena kamu, Rizal?" tanyanya penuh kekecewaan.
Dengan enggan, Rizal mengangguk. Angie merasa hancur dan menyesal telah menjalin hubungan dengan seorang pembully.
“Aku nyesel pacaran sama kamu! Aku nyesel pacaran sama seorang penindas yang ga punya hati kayak kamu! Kamu biadab! Kamu brengsek! Lebih bejat daripada setan!”kata Angie penuh kekecewaan sambil menampar anak pemilik Sekolah elit nomor satu itu berulang-ulang kali.
Karena muak dengan kedua orang tuanya dan Angie, Rizal memutuskan untuk mengungkapkan identitas aslinya.
"Aku bukan hanya Rizal. Aku adalah Pendekar harimau berelemen petir, Inazukko!"
Kedua orang tuanya dan Angie terkejut. Rizal menebas lantai dengan pedang petirnya sebagai peringatan.
"Aku akan pergi dari sini," ucapnya dingin, sebelum berbalik dan meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun.
Betapa sedihnya kedua orang tua Rizal serta Angie yang sudah mengetahui kenyataan tersebut.
Pada dini hari yang sunyi, pukul tiga pagi, Mbok Yani dan Vina melakukan ritual yang dimaksud. Ritual untuk melindungi Vina agar terhindar dari santet Mbah Rukmini yang selalu menerornya dengan jin kirimannya entah apa tujuannya.
"Mbok, kalau memang ingin memasukkan jimat ke dalam tubuh, bukankah tidak perlu ritual?" tanya Vina, suaranya terdengar ragu.
Mbok Yani tersenyum lembut, kerutan di wajahnya semakin dalam saat ia menatap gadis itu dengan penuh makna.
"Anak manis, bukan sembarang jimat yang akan kau terima. Santet Mbah Rukmini bukan santet biasa. Kita butuh perlindungan yang lebih kuat, lebih sakral. Ritual ini akan memastikan jimat itu menyatu dengan dirimu, bukan hanya benda mati yang kau bawa."
Vina mengangguk pelan. Ia tahu bahwa Mbah Rukmini bukanlah orang sembarangan. Santetnya telah merenggut nyawa banyak orang, dan Vina sadar ia bisa menjadi korban berikutnya.
Mbok Yani mulai membaca mantra, suaranya dalam dan bergetar, seakan meresonansi dengan kekuatan yang tak terlihat. Ia mengayunkan dupa di sekitar tubuh Vina, mengelilinginya dengan kepulan asap putih. Aroma khas bercampur dengan hawa dingin yang tiba-tiba menyusup ke dalam ruangan, membuat bulu kuduk Vina meremang.
"Tutup matamu, tarik napas dalam." perintah Mbok Yani.
Vina mengikuti instruksi itu, merasakan getaran halus yang merambat di kulitnya. Setelah beberapa saat, Mbok Yani mengeluarkan sebuah batu delima kecil berwarna merah darah dari dalam kain putih yang telah disiapkannya.
"Telan batu ini, Non," ucap Mbok Yani tegas.
Vina menatap batu itu dengan ragu.
"Apa tidak berbahaya, Mbok?"
"Tidak, jika kau percaya. Ini adalah kunci perlindunganmu," jawab Mbok Yani.
Dengan sedikit ragu, Vina mengambil batu itu, menelannya dengan susah payah. Rasa dingin segera menyebar dari tenggorokannya ke seluruh tubuh, membuatnya menggigil sejenak.
Mbok Yani lalu menggenggam kedua tangan Vina erat.
"Sekarang, ikuti mantraku." katanya, suaranya bergetar dengan kekuatan yang lebih besar.
Vina mendengarkan dengan saksama saat Mbok Yani mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang asing di telinganya. Dengan penuh kepatuhan, Vina mengulanginya, meskipun setiap suku kata terasa berat di lidahnya. Setelah Vina mengucapkan, kini Mbok Yani mengucapkan mantra untuk Vina.
“Wahai penguasa dunia lain, kuasailah gadis malang ini, KUASAI DIA! KUASAI DIA! KUASAI DIA!”
Saat mantra terakhir selesai diucapkan, angin dingin bertiup kencang menerobos gubuk, membuat lampu minyak berkedip-kedip seakan hendak padam. Lalu, keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara napas mereka berdua yang terdengar.
Mbok Yani tersenyum, melepaskan genggaman tangannya dari Vina.
"Sekarang, Non aman. Aku jamin, seratus persen, santet Mbah Rukmini takkan bisa menyentuhmu."
Keesokan harinya, pada sore hari, Rojak menghela napas lega saat bel terakhir berbunyi, menandakan berakhirnya pelajaran di Sekolah. Hari ini, ia telah merencanakan kerja kelompok dengan teman-temannya, Vina, Siti, Adit, dan Budi, untuk mengerjakan tugas sosiologi. Vina, yang biasanya tenang dan penuh perhatian, bertanya.
"Jadi, kita mau kerja kelompok di rumah siapa kali ini?"
Adit, dengan cepat mengangkat tangannya.
"Gimana kalau di rumah Vina saja? Gw dengar rumahnya nyaman dan sepi, cocok untuk belajar."
Setelah mempertimbangkan sejenak, Vina mengangguk setuju.
"Oke deh. Kalau begitu, ayo. Makin cepat, makin baik, makin relax."
Perjalanan mereka ke rumah Vina dipenuhi dengan canda tawa dan cerita-cerita lucu. Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Vina yang terletak di sebuah lingkungan yang tenang. Vina membuka pintu dan mempersilakan teman-temannya masuk.
"Ini rumah gue. Lu pada, jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri." kata Vina sambil tersenyum.
Mereka menuju ruang tamu yang nyaman dan mulai mengeluarkan buku-buku serta catatan mereka.
"Mbok Yani, punten, bisa tolong buatkan cemilan dan minuman untuk teman-teman saya?" pinta Vina kepada pembantu rumah tangganya yang setia.
Tak lama kemudian, Mbok Yani datang dengan membawa nampan berisi berbagai cemilan dan minuman.
"Silakan dinikmati, Nak. Kalau butuh apa-apa lagi, panggil saja Mbok ya."
Mereka mulai fokus mengerjakan tugas kelompok mereka. Vina dan Rojak berdiskusi serius tentang topik yang mereka pilih, sementara Siti, Adit, dan Budi sibuk menulis dan mencari referensi.
Setengah jam kemudian, tiba-tiba muncul dua orang yang berjalan menuju rumah Vina. Namun, sebelum mereka bisa mengetuk pintu, sebuah portal misterius muncul tepat di depan rumah. Mereka terheran-heran dan saling memandang dengan wajah kebingungan.
Di dalam rumah, Rojak merasakan sesuatu yang tidak enak. Ia tiba-tiba merasa gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi.
"Ada yang aneh. Kita harus berjaga-jaga." bisiknya kepada teman-temannya.
“Hah? Jaga-jaga kenapa?”
Vina, yang tidak merasakan apapun, hanya mengangkat bahu.
"Lu ngomong apa sih, Jak? Ga ada apa-apa disini sumpah."
Tiba-tiba, pintu depan terbuka lebar, dan dua makhluk mengerikan muncul di ambang pintu. Wajah mereka menyeramkan dengan mata merah menyala dan taring tajam. Rojak merasa darahnya berhenti mengalir saat melihat kedua iblis tersebut.
Mengetahui ada dua iblis yang mengancam mereka, Rojak dengan cepat berubah menjadi Regulus dengan kalimat saktinya.
"Wusna sangkalus ing wisa!"
Dalam sekejap, wujudnya berubah menjadi sosok pemberani dengan kekuatan yang luar biasa. Tanpa basa basi, Regulus menyuruh tiga temannya, Siti, Adit, dan Budi untuk lari menyelamatkan diri. Sementara itu, Vina yang memiliki kekuatan telekinesis berusaha untuk membantu Regulus melawan iblis-iblis tersebut.
Vina mencoba menyerang dengan kekuatan telekinesisnya, namun keanehan terjadi. Kekuatan telekinesisnya mendadak tidak berfungsi sama sekali. Regulus melihat ke arah Vina dengan wajah khawatir.
"Ada apa, Vina?"
"Ga tahu gw." jawab Vina, panik.
"Ilmu telekinesis gue tiba-tiba ga bekerja."
Tanpa bantuan telekinesis, Regulus menjadi bulan-bulanan oleh kedua iblis itu. Namun, Vina tidak menyerah. Dengan keberanian yang luar biasa, ia mengambil sebuah panci dari dapur dan mencoba menyerang iblis-iblis tersebut. Dalam pertempuran yang sengit, mereka akhirnya berhasil mengalahkan kedua iblis tersebut.
Namun, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Regulus tiba-tiba berubah menjadi sosok yang berbeda dan menyerang Vina. Dengan tangan yang kuat, ia mencekik Vina
“AKKHHH! K-KENAPA LO CEKIK GUE?”tanya Vina.
Tak lama kemudian, Regulus menikamnya dengan pedang miliknya.
“AAARGGGHHH!”teriak Vina.
Vina berusaha melawan dan melarikan diri dari kejaran Regulus.
Vina berlari dengan panik, mencari bantuan dari Siti, Adit, dan Budi. Namun, saat ia bertemu mereka, yang terjadi malah sebaliknya. Mereka juga berusaha membunuhnya. Padahal sebenarnya, Regulus, Siti, Adit, dan Budi sedang mencoba menolongnya.
“Vina? Vina lo kenapa Vina?”
Vina yang panik setengah mati pun lari dari sana sambil melempar sembarang benda di sekitarnya. Regulus menyadari bahwa Vina saat ini sedang dalam pengaruh halusinasi.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa Vina tiba-tiba kehilangan ilmu telekinesisnya?
Bersambung