Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. Delapan
Setelah kejadian ciuman tadi di ruang tamu, Enzio menutup rapat pintu kamarnya.
Ia buru-buru menuju laci kecil di samping tempat tidur. Tangannya gemetar saat membuka laci itu, dan ketika pandangannya tertuju pada foto tua yang terlipat rapi di dalamnya, jantungnya berdebar hebat.
Di foto itu seorang gadis kecil yang sedang memeluk kucing kesayangannya dengan senyum polos yang kini terasa menyakitkan untuk dikenang.
Enzio menatapnya lama, ingatannya kembali ke masa ketika ia pernah merobek foto itu dengan penuh amarah.
Namun tak lama, ia menempelkan kembali setiap sobekannya, seolah mencoba memperbaiki sesuatu yang sudah hancur.
“Ini tidak mungkin!” gumam Enzio. Tubuhnya ambruk ke sisi ranjang, foto itu masih erat digenggam. Ia mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih.
“Anna... kamu bersikap seolah-olah tidak mengenalku?”
Enzio menghela nafas panjang, senyum sinis muncul di wajahnya.
“Baiklah, kalau ini permainanmu, aku akan mengikutinya,” gumamnya sambil meremas kuat foto tersebut.
**
***
Keesokan paginya.
Di dapur, Anna sibuk membantu Hana mempersiapkan sarapan. Tapi pikirannya tidak benar-benar fokus.
Setiap gerakannya terasa kaku, seperti seseorang yang tengah dihantui oleh sesuatu.
“Bagaimana semalam? Apa tuan Enzio marah?” tanya Hana sambil melirik Anna dari sudut matanya.
Anna menggeleng, mencoba untuk tetap tersenyum. “Tidak, dia tidak marah,” jawabnya singkat.
“Baguslah,” balas Hana sambil melanjutkan pekerjaannya.
Namun, pikiran Anna kembali melayang ke kejadian semalam.
Anna mengingat ciuman mereka, sentuhan lembut bibir Enzio yang mendominasi dan membuatnya hampir terlena.
Anna menggelengkan kepala keras-keras, mencoba mengusir bayangan itu.
“Astaga! Apa yang aku pikirkan?” batinnya.
“Anna? Kamu kenapa?” tanya Hana sambil menepuk pundaknya.
“Tidak apa-apa, Mbak,” jawab Anna cepat, meskipun wajahnya masih terlihat gelisah.
“Kalau begitu, cepat bawa makanan ini ke meja makan. Sebentar lagi tuan Adrian, nyonya Kania, dan kedua putra mereka akan turun untuk sarapan,” kata Hana.
Anna berhenti sejenak. “Kedua putra mereka?” tanyanya bingung.
Hana mengangguk sambil tersenyum. “Selain tuan Muda Enzio, ada tuan Muda Theo.”
“Hah?” Anna melongo, lalu tersadar.
Sifat menyebalkan Theo ternyata diwarisi dari kakaknya, Enzio.
“Cepat, Anna!” desak Hana.
“Iya, iya,” jawab Anna sambil membawa nampan ke ruang makan.
**
***
Di ruang makan, nyonya Kania dan tuan Adrian sudah duduk dengan tenang.
Ketika Anna meletakkan makanan di meja, Kania memanggilnya.
“Anna, kemarilah,” kata Kania dengan lembut.
Anna mendekat, dan tanpa diduga, Kania memeluknya erat. “Mama rindu kamu, Nak,” bisiknya pelan.
Anna terdiam, lalu menjawab, “Nyonya ingat kan perjanjian kita? Kita harus pura-pura tidak saling mengenal.”
Kania melepaskan pelukan itu dengan berat hati.
Adrian, yang duduk di sampingnya, menatap Anna dengan tatapan hangat. Ia ingin melakukan hal yang sama, tapi menahan diri demi menghormati keinginan Anna.
Tak lama kemudian, Anna berkata lagi, “Nyonya, Tuan, bolehkah saya meminta gaji saya di muka? Maaf kalau saya lancang, tapi ibu saya butuh uang untuk berobat.”
Mendengar itu, Kania langsung mengangguk. “Tentu saja, Anna. Apa pun yang kamu butuhkan, kami akan memberikannya. Iya, kan, Pa?”
Adrian mengangguk. “Iya, Sayang.”
Anna tersenyum kecil, lalu membungkuk. “Terima kasih, Nyonya, Tuan.”
Hati Kania mencelos mendengar Anna memanggilnya seperti itu. Rasanya Kania ingin berteriak dan mengatakan kalau Kania tetap menganggap Anna putrinya.
“Pa…”
“Sabar, ini keputusan Anna. Kita harus menghormatinya,” ucap Adrian, mengusap lengan Kania dan berusaha menenangkannya.
Anna berbalik, sebelum ia sempat kembali ke dapur, langkah kaki berat terdengar.
Theo dan Enzio menuruni anak tangga, masuk ke ruang makan bersamaan. Anna langsung menunduk, berharap tidak menarik perhatian.
Enzio berjalan melewatinya dengan tatapan dingin, tanpa sepatah kata pun. Ia hanya melirik sekilas sebelum duduk di kursinya.
Berbeda dengan Theo, yang langsung menyapanya dengan nada menggoda seperti biasa.
“Pagi, Anna. Kamu terlihat cantik seperti biasa,” ucap Theo menoel pelan dagu Anna.
“Yang sopan Theo!” teriak Adrian.
Theo memutar bola mata dengan malas. Senyum jahilnya luntur ketika mendapat tatapan tajam dari ayahnya itu.
Anna tersenyum kaku, tidak tahu bagaimana harus merespon.
Di sisi lain, Enzio memperhatikan interaksi itu dengan mata menyipit. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Anna tanpa berkedip.
“Enzio sayang, kenapa bibirmu bengkak begitu?” tanya Kania.
Enzio menyentuh bibirnya dan tersenyum tipis. “Digigit kecoa,” jawab Enzio datar sambil melirik Anna dengan tatapan menyindir.
Theo terkekeh. “Lucu sekali, sepertinya kecoa itu cukup ganas sampai bibirmu bengkak begitu.”
“Bukan kecoak biasa,” ucap Enzio, kali ini dengan nada yang lebih menusuk. “Dia kecil, bau dan berasal dari tempat kumuh, tapi gigitannya menyakitkan.”
Anna mengepalkan tangannya erat, berusaha menahan amarah. Bisa-bisanya Enzio menyamakannya dengan kecoa? Binatang yang paling Anna benci!
Adrian dan Kania melongo, tak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan putranya itu.
Sementara Theo, yang mulai curiga, mengalihkan pandangannya dari Enzio ke Anna, seolah sedang membaca situasi.
Anna tidak ingin memperpanjang situasi canggung itu. Ia membungkuk dengan sopan. “Permisi, saya akan kembali ke dapur,” ucapnya.
Ketika Anna pergi, Enzio masih menatap punggungnya dengan tatapan dingin yang penuh teka-teki, sementara Theo mulai merasa curiga
“Apa sebenarnya yang terjadi antara mereka berdua?” ucap Theo namun hanya dalam hati.
**
***
Setelah membereskan meja makan, Anna menyiram tanaman seperti yang diminta oleh Nyonya Kania.
Mawar-mawar merah merekah indah, dan Anna merawatnya dengan hati-hati karena ia tahu betapa Kania sangat menyukai bunga itu.
Di sela-sela pekerjaannya, matanya menangkap sosok tinggi yang sedang melangkah keluar dari rumah menuju mobil. Enzio, dengan setelan jas rapi, terlihat begitu tampan dan sempurna seperti biasanya.
Anna terdiam sejenak, memperhatikan bagaimana pria itu memancarkan aura dingin tapi karismatik.
Tanpa sadar, pandangan Anna tertuju pada bibir Enzio yang sedikit bengkak akibat ulahnya semalam. Wajahnya memanas, dan ia cepat-cepat menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran yang tidak seharusnya muncul.
“Fokus Anna, fokus!” Ia kembali fokus pada pekerjaannya, mencoba mengabaikan keberadaan pria itu.
Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di halaman rumah.
Seorang gadis cantik turun dengan langkah penuh percaya diri. Anna berhenti sejenak, memperhatikan dari kejauhan saat gadis itu berjalan ke arah Enzio dan tanpa ragu memeluknya erat-erat.
“Pagi, sayang,” sapa gadis itu dengan suara lembut nan ceria.
yg atu lagi up ya Thor
kasih vote buat babang Zio biar dia semangat ngejar cinta Anna 😍🥰❤️