Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.
Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.
Dan di sinilah kisah mereka dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemani Ariana Cek Up di Malam Hari
Malam itu, Dewa duduk di ruang tunggu rumah sakit sambil melirik jam tangannya. Sudah hampir satu jam sejak Ariana masuk ke ruang pemeriksaan untuk cek up rutin pasca kepulangannya dari rumah sakit. Di sebelahnya, Bang Ardan duduk dengan tangan bersedekap, wajahnya terlihat serius seperti biasa.
“Kamu nggak perlu nunggu kalau capek, Dewa,” kata Bang Ardan tanpa menoleh.
Dewa tersenyum tipis. “Aku nggak bisa tenang kalau nggak nungguin Ariana. Lagi pula, ini nggak seberapa dibanding apa yang dia lalui.”
Bang Ardan meliriknya sekilas, lalu menghela napas. “Kamu beneran sayang sama adikku, ya?”
Dewa menoleh dan menatapnya serius. “Bang Ardan, aku nggak cuma sayang sama Ariana. Aku mau selalu ada buat dia, nggak peduli seberat apa pun keadaannya.”
Bang Ardan diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Bagus kalau gitu. Tapi ingat, Dewa, jangan hanya janji di mulut. Tunjukkan dengan tindakan.”
Dewa menatapnya dengan penuh keyakinan. “Aku nggak akan pergi, Bang.”
Sebelum Bang Ardan bisa membalas, pintu ruang pemeriksaan terbuka. Ariana keluar dengan langkah pelan, diikuti dokter yang mendampinginya. Dewa segera berdiri dan menghampiri.
“Gimana hasilnya?” tanyanya lembut.
Ariana tersenyum kecil. “Kondisiku stabil, tapi dokter bilang aku masih harus banyak istirahat dan nggak boleh terlalu lelah.”
Dokter yang berdiri di belakangnya menambahkan, “Benar. Kondisi Ariana membaik, tapi butuh waktu untuk benar-benar pulih. Jangan terlalu dipaksakan.”
Dewa mengangguk. “Baik, Dok. Aku akan pastikan dia nggak terlalu capek.”
Bang Ardan ikut menimpali, “Terima kasih, Dok. Kami akan jaga dia baik-baik.”
Setelah berpamitan dengan dokter, mereka bertiga keluar dari rumah sakit. Udara malam terasa sejuk, langit bertabur bintang. Ariana menarik napas dalam-dalam, menikmati angin malam yang menyentuh wajahnya.
Dewa menoleh ke arahnya. “Kamu baik-baik aja?”
Ariana mengangguk sambil tersenyum. “Aku baik-baik aja. Terima kasih sudah nemenin aku, Dewa.”
Dewa tersenyum. “Selalu.”
Bang Ardan yang berjalan di belakang mereka hanya menggelengkan kepala melihat keduanya. Malam itu, meski masih banyak tantangan yang harus dihadapi, ada ketenangan yang terasa. Dewa tahu, selama Ariana ada di sisinya, ia akan terus berjuang.
...****************...
Makan di Pinggir Jalan Setelah Cek Up
Setelah keluar dari rumah sakit, Dewa, Ariana, dan Bang Ardan berjalan menuju mobil. Namun, sebelum mereka masuk, Ariana menarik lengan Dewa pelan.
“Dewa, aku lapar,” katanya dengan nada manja.
Dewa menatapnya dengan heran. “Kita bisa makan di rumah, Ana.”
Ariana menggeleng cepat. “Aku mau makan di luar. Udah lama banget aku nggak makan di pinggir jalan.”
Bang Ardan yang sedang membuka pintu mobil mendengus pelan. “Makan di pinggir jalan? Udah malem gini?”
Ariana menatap kakaknya dengan wajah memohon. “Bang, sekali aja, ya? Aku kangen makan yang simpel, kayak dulu.”
Dewa tersenyum kecil melihat ekspresi Ariana. “Baiklah, kita cari tempat makan deket sini.”
---
Mereka akhirnya berhenti di sebuah warung tenda sederhana di pinggir jalan. Meja-meja plastik berjejer rapi, dan aroma sedap dari berbagai masakan menyeruak di udara. Ariana terlihat bersemangat, matanya berbinar saat melihat daftar menu.
“Aku mau nasi goreng,” katanya antusias.
Dewa tersenyum. “Aku ikut nasi goreng juga. Bang Ardan?”
Bang Ardan, yang awalnya terlihat enggan, akhirnya menghela napas dan berkata, “Bakso aja.”
Mereka duduk di meja kayu yang sedikit goyah, menunggu pesanan datang. Udara malam yang sejuk bercampur dengan hiruk-pikuk kota memberi suasana nyaman.
“Nostalgia, ya?” tanya Dewa sambil menatap Ariana.
Ariana mengangguk penuh semangat. “Banget. Dulu waktu masih sekolah, aku sering makan di tempat kayak gini sama teman-teman.”
Bang Ardan tersenyum tipis. “Dan dulu aku yang selalu jemput kamu pulang kalau kamu kelamaan nongkrong.”
Ariana tertawa kecil. “Iya, aku ingat. Bang Ardan selalu ngomel.”
Dewa ikut tertawa. “Kayaknya sampai sekarang Bang Ardan masih sering ngomel.”
Bang Ardan hanya mendelik tajam, membuat Ariana dan Dewa semakin tertawa.
Tak lama, pesanan mereka datang. Aroma nasi goreng yang masih mengepul membuat Ariana tersenyum lebar. Ia segera mengambil sendok dan mulai makan dengan lahap.
Dewa memperhatikan Ariana dengan tatapan lembut. Melihatnya menikmati makanan dengan senyuman seperti ini membuat semua kelelahan hari ini terasa ringan.
“Gimana rasanya?” tanya Dewa.
Ariana mengangkat jempol. “Enak banget! Ini lebih dari cukup buat bikin aku bahagia malam ini.”
Dewa tersenyum. “Kalau gitu, lain kali kita bisa sering makan di sini.”
Ariana menatapnya penuh harap. “Janji?”
Dewa mengangguk. “Janji.”
Malam itu, di warung tenda sederhana, mereka menikmati kebersamaan tanpa beban. Sejenak, mereka melupakan semua masalah dan hanya fokus pada satu hal—kebahagiaan kecil yang begitu berharga.