Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya ia menunjukkan siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29 : Lantai Yang Belum Diketahui
Di tengah kegelapan yang membutakan, gema teriakan Erica menjadi satu-satunya panduan bagi Ferisu. Dengan insting tajam dan gerakan terlatih, ia menendang dinding, mempercepat laju jatuhnya ke arah sumber suara. Telinganya terus fokus, mencari lokasi persis Erica.
"Sial!" gumam Ferisu, memacu dirinya lebih cepat.
Akhirnya, di tengah kegelapan yang pekat, tangannya berhasil meraih tangan Erica.
"Ah! Siapa...?" Erica terkejut merasakan genggaman di tangannya.
"Tenang saja, aku di sini," ujar Ferisu singkat, suaranya tenang namun tegas.
Tiba-tiba, secercah cahaya muncul dari bawah, menandakan akhir dari lubang kegelapan itu. Ferisu menyipitkan matanya untuk memperhitungkan jarak, tetapi ia menyadari mereka masih melayang di udara dan akan jatuh dengan kecepatan tinggi.
"Fe-Ferisu!?" seru Erica panik saat melihat wajah pria yang memegang tangannya.
Ferisu tidak merespon. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik Erica ke dalam pelukannya, melindungi tubuhnya dengan tubuhnya sendiri. Dengan tangan satunya, ia menghunus pedang dari pinggangnya, matanya penuh fokus.
Saat beberapa meter lagi dari lantai, Ferisu mengayunkan pedangnya dengan kekuatan besar. Sebuah dorongan angin tercipta dari tebasannya, memperlambat kecepatan jatuh mereka dan memungkinkan mereka mendarat dengan aman.
Saat kaki Ferisu menjejak tanah dengan stabil, ia menurunkan Erica dengan hati-hati. "Kau tak apa?" tanyanya singkat, suaranya penuh perhatian meskipun wajahnya tetap datar.
Erica menatapnya, matanya melebar, wajahnya memerah. Ini pertama kalinya ia begitu dekat dengan seorang pria, terlebih lagi sampai berada dalam pelukannya. Jantungnya berdegup kencang, seakan hendak meledak.
"A-a..." suara Erica bergetar, kata-katanya tidak keluar dengan jelas.
"Hmm?" Ferisu memiringkan kepalanya, bingung melihat Erica yang tampak aneh.
"Le-lepaskan aku!" Erica akhirnya berseru keras, mendorong Ferisu agar menjauh darinya.
Ferisu mundur selangkah, membiarkannya pergi tanpa protes. Ia tetap menatap Erica dengan ekspresi datar, sementara gadis itu terlihat mencoba menenangkan dirinya. Nafas Erica tidak teratur, wajahnya masih merah seperti tomat.
"Dasar, apa-apaan ini!" gumam Erica pelan sambil memalingkan wajah, merasa malu luar biasa.
Ferisu hanya menghela napas, lalu memandang ke sekeliling. "Kita harus keluar dari sini," katanya tenang, mengabaikan kecanggungan yang terjadi.
Setelah mendengar kata-kata Ferisu, Erica mulai memerhatikan sekelilingnya dengan lebih serius. Ruangan tempat mereka berada terasa berbeda dari lantai-lantai sebelumnya. Jika sebelumnya labirin dengan dinding batu kasar menjadi pemandangan biasa, kini mereka berdiri di atas lantai merah luas yang memancarkan cahaya samar. Tidak ada dinding pembatas, dan langit-langitnya menjulang tinggi seperti tidak berujung.
"Dimana ini...?" gumam Erica dengan nada penuh kebingungan. Meskipun ia berbicara pelan, Ferisu tetap bisa mendengar dengan jelas.
"Kemungkinan ini lantai sebelas," jawab Ferisu dengan nada tenang, matanya mengamati ruangan itu dengan cermat.
Erica menatap Ferisu dengan kaget. Perubahan sikapnya begitu mencolok. Ferisu, yang biasanya terlihat malas dan acuh, kini berdiri dengan tatapan tajam dan ekspresi serius.
"Kenapa dia...?" pikir Erica dalam hati, tak bisa menyembunyikan rasa bingungnya.
Saat itu, Ferisu tiba-tiba menoleh ke arahnya, dan kedua mata mereka bertemu. "Ada apa?" tanyanya dengan nada datar, seolah tidak menyadari kegelisahan Erica.
"Eh...? Ah, tidak..." Erica buru-buru memalingkan wajahnya, merasa canggung.
Ferisu menghela napas ringan, lalu melihat ke arah ruangan yang luas itu. "Sebaiknya kita bergerak dan mencari jalan keluar," ujarnya, nada suaranya tetap tenang namun penuh keyakinan.
Erica mendengus kecil, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Aku juga tahu!" balasnya dengan suara sedikit lebih keras dari yang diinginkannya.
Ferisu tidak menanggapi lebih jauh, hanya mulai berjalan maju sambil tetap waspada. Erica mengikutinya dengan langkah hati-hati, rasa ingin tahu dan sedikit kekhawatiran menghiasi pikirannya. "Kenapa dia bisa berubah seperti ini?" tanyanya pada dirinya sendiri, namun tidak berani mengutarakannya.
Saat mereka terus berjalan di lantai yang luas itu, Erica sesekali melirik ke arah Ferisu. Rasa penasaran yang menumpuk akhirnya membuatnya memberanikan diri untuk bertanya.
"Hei... kenapa kau meloncat turun dan menolongku? Maksudku, kau selalu mengabaikan aku dan Licia, dan aku tahu kau tak suka dengan pertunangan ini, kan?" Erica menatap Ferisu dengan ragu, mencoba membaca ekspresi wajahnya.
Ferisu melirik ke arahnya sekilas, lalu berhenti sejenak untuk menjawab. "Itu kar—"
Wush!
Ferisu tiba-tiba menghentikan kata-katanya, matanya tajam menatap sesuatu yang bergerak cepat. Dalam sekejap, ia menarik Erica ke sisinya dengan kuat.
Boom!
Sebuah bola api besar menghantam tanah tepat di tempat Erica berdiri sebelumnya, meninggalkan bekas hangus yang menghitam.
"Siapa sangka akan ada Minotaur di sini?" gumam Ferisu dengan nada datar, matanya tertuju pada sosok besar yang perlahan muncul dari kegelapan.
Erica, yang masih berada dalam pelukan Ferisu, mencoba menenangkan dirinya dan mengikuti arah pandangannya. Di sana, ia melihat monster berbentuk banteng yang berdiri seperti manusia, tetapi berbeda dari Minotaur biasa yang pernah ia baca.
Monster itu memiliki empat lengan, tubuhnya ditutupi kulit biru gelap yang berkilauan seperti baja. Matanya merah menyala seperti bara api, dan sebuah kristal ungu besar bersinar terang di dadanya.
"A-apa itu... benar-benar Minotaur...?" tanya Erica dengan suara bergetar, tubuhnya gemetar di bawah tekanan aura monster itu.
Ferisu mengangguk ringan. "Ya, itu Minotaur. Tapi bukan yang biasa. Ini mutasi—versi yang jauh lebih kuat dan bisa menggunakan sihir api. Kemungkinan berada di rank C atau bahkan B."
Erica semakin tegang mendengar penjelasan itu. "Rank C atau B...? Kita tidak akan bisa menang melawan itu!"
Ferisu tetap tenang, pandangannya tetap fokus pada Minotaur yang perlahan mendekat. "Kita tidak punya pilihan lain. Bertahan di sini hanya akan membuat kita jadi target empuk. Kau bisa berdiri sendiri sekarang?"
Erica perlahan mengangguk meski wajahnya masih pucat. Ia berusaha menguatkan dirinya, melepaskan pelukan Ferisu dan mengambil posisi bertahan di belakangnya.
Ferisu menarik pedangnya, menatap tajam Minotaur yang kini hanya beberapa meter dari mereka. "Baiklah. Tetap di belakangku, Erica. Aku akan menghadapinya."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sisi lain, Viana dan anggota tim yang tersisa segera keluar dari dungeon dengan langkah cepat, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran. Mereka langsung melapor kepada instruktur pengawas tentang Erica yang terjatuh ke dalam lubang misterius dan Ferisu yang meloncat menyusulnya.
Instruktur yang mendengar laporan itu langsung bersikap sigap. "Baik, tetap di sini dan jangan masuk ke dungeon lagi. Saya akan memeriksa lokasi yang kalian maksud!" tegasnya sambil segera memanggil beberapa asisten untuk berjaga di pintu masuk dungeon.
Dengan cepat, instruktur tersebut masuk kembali ke dalam dungeon bersama beberapa penjaga. Mereka bergerak dengan efisiensi tinggi menuju lantai sepuluh, lokasi terakhir yang dilaporkan oleh tim Viana.
Namun, saat mereka tiba di sana, sesuatu yang aneh terjadi. Rock Golem, bos yang sebelumnya dikalahkan oleh tim Viana, berdiri kembali seolah tak pernah kalah.
"Apa ini... Rock Golem hidup kembali?" gumam instruktur, ekspresi wajahnya berubah serius.
"Golem dungeon seharusnya tidak bisa beregenerasi kecuali ada pengaruh eksternal," tambah salah satu penjaga, tampak kebingungan.
Instruktur tak punya waktu untuk menganalisis situasi. "Semua bersiap! Kita kalahkan ini terlebih dahulu!"
Pertarungan sengit kembali terjadi. Rock Golem yang bangkit kembali menunjukkan kekuatan yang sama ganasnya seperti sebelumnya. Meski dengan pengalaman dan keahlian mereka, pertarungan tetap memakan waktu dan energi.
Setelah akhirnya mengalahkan Rock Golem untuk kedua kalinya, instruktur segera memeriksa lokasi lubang yang dilaporkan oleh Viana dan tim. Namun, alih-alih menemukan lubang besar yang dalam, mereka hanya melihat lantai dungeon yang mulus dan utuh, seolah tidak pernah ada apa-apa.
"Ini tidak masuk akal..." gumam instruktur sambil menyentuh lantai yang terlihat normal.
Salah satu penjaga mendekat. "Apa mungkin lubang itu sudah menutup sendiri? Tapi bagaimana? Bahkan dungeon di akademi seharusnya tidak memiliki mekanisme seperti ini."
Instruktur menghela napas berat, mencoba mencerna situasi. "Sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekadar dungeon biasa di sini. Kita harus segera melaporkan ini ke pihak akademi."
Meski merasa ada yang tidak beres, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke permukaan dan membawa laporan detail mengenai kejadian tersebut. Namun, pertanyaan tetap menggantung: kemana perginya Erica dan Ferisu, dan apa sebenarnya yang mereka hadapi di lantai tersembunyi itu?