Berawal dari penghianatan sang sahabat yang ternyata adalah selingkuhan kekasihnya mengantarkan Andini pada malam kelam yang berujung penyesalan.
Andini harus merelakan dirinya bermalam dengan seorang pria yang ternyata adalah sahabat dari kakaknya yang merupakan seorang duda tampan.
"Loe harus nikahin adek gue Ray!"
"Gue akan tanggungjawab, tapi kalo adek loe bersedia!"
"Aku nggak mau!"
Ig: weni 0192
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon weni3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Raihan mondar mandir dengan perasaan cemas, menunggu Andini di dalam kamar mandi yang tak kunjung keluar. Keputusan yang ia tunggu-tunggu setelah hampir satu bulan menjalani bahtera rumah tangga dengan terpaksa. Bukan dia yang terpaksa tapi sang istri yang kekeh ingin pisah.
Kenyataan pahit sudah di depan mata, jika saja Andin memutuskan untuk pulang. Status duda kembali tersemat di dirinya walaupun belum ada yang tau jika dia sudah menikah. Andini yang semula ia anggap hanya sebagai adik tapi kini ia sangat berharap bisa membersamai hingga tua nanti sebagai istri.
Andini pun saat ini sedang di rundung gelisah, dia sudah selesai mandi sejak tadi tapi rasa begitu berat ingin keluar. Dia tau Raihan pasti menunggunya dengan tak sabar saat ini. Berkali-kali menarik nafas dalam untuk menguatkan jika keputusan yang akan di ambilnya adalah yang terbaik untuk mereka berdua. Melangkah menuju pintu dan membukanya dengan perlahan.
ceklek
Suara pintu yang terbuka membuat detak jantung ke duanya semakin berdendang. Raihan menatap andini yang keluar dari kamar mandi lengkap dengan baju tidurnya. Matanya fokus dengan wajah yang saat ini juga sedang menatapnya hingga kedua pasang mata terkunci rapat.
"Bagaimana?" tanya Raihan yang kini sudah duduk di sofa bersebelahan dengan Andini.
Sudah hampir 30 menit mereka saling diam dan belum ada yang membuka suara. Hingga Rai yang merasa tak sabar akhirnya mempertanyakan.
Andini yang sejak tadi menunduk kini mulai mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Raihan. Sedikit senyum untuk mengawali pembicaraan dan menjawab pertanyaan Rai.
"Yang kakak harap?"
"Kamu tetap di sini, berusaha sedikit lagi untuk bersamaku dan membuka hati."
"Jika aku menolak?"
Pertanyaan Andini membuat Rai pesimis, kini ia menundukkan kepala dengan hati yang sudah tak ada harapan.
"Jika kamu menolak.....aku tak tau akan bagaimana nantinya. Yang jelas aku akan menjadi duda lagi."
"Aku pun akan menjadi janda, apa kurang adil?"
"Din...."
"Jika hanya status yang memberatkan kakak untuk melepaskan, dengan tegas aku memilih berpisah."
Mendengar itu Raihan segera menatap Andini, bukan karena status ia bertahan, dia segera menggelengkan kepalanya tidak ingin membuat Andini salah paham.
"Bukan karena status aku ingin kamu bertahan, sudah sejak awal aku bilang ingin belajar menerima. Sampai aku sadar jika cinta itu mulai tumbuh di jiwa." Raihan turun dan bersimpuh di depan Andini, tangannya menggenggam kedua tangan Andin yang kini anteng di atas pahanya.
"Aku mencintaimu, tulus....bukan karena status, aku sayang sama kamu. Mungkin sejak awal aku menyentuhmu rasa tertarik itu sudah ada tapi aku tak sadar. Aku bukan pria nakal yang bisa menerima wanita sembarangan. Bahkan banyak yang dengan suka rela menyodorkan tubuhnya untuk aku jamah dan dengan tegas aku menolak. Tapi denganmu, imanku goyah."
"Sayang, jika ada syarat yang ingin kamu ajukan untukmu tetap bertahan, aku akan penuhi asal tetap disini dan tidak ada kata pisah lagi."
Raihan menundukkan kepala, kini saat nya memberi kesempatan Andini untuk menjawab. Tak ada yang ia inginkan saat ini kecuali bisa kembali memeluk Andini dengan perasaan saling memiliki.
Andini yang sejak tadi menyimak hanya diam tak ingin menyelak, dia tersanjung akhirnya ada pria yang benar tulus mencinta. Walaupun kegagalan kemarin menyisakan luka tapi tak membuat dirinya merasa trauma. Dia sudah lama mengenal Rai, sosok sahabat dari Andika yang paling baik dari teman kakaknya yang pernah datang dan dekat.
"Kak...."
Raihan mengangkat kepalanya, senyuman Andini menghangatkan hati yang sejak tadi gelisah.
"Hhmm...."
Keduanya saling menatap, mengunci pandang hingga genggaman tangan Andini semakin erat membuat Raihan semakin penasaran.
"Dek..."
"Aku ingin kakak sembuhkan hati aku yang luka, kembalikan lagi walaupun mungkin tak sempurna. Jangan pernah ada niat untuk mematahkannya, karena aku akan pergi jika itu terjadi."
Senyum Raihan semakin mengembang, hal yang ia harapkan akan menjadi nyata. "Serius?"
"Hhmm...." Andini menganggukkan kepalanya dengan senyum tak kalah sumringah.
Dengan cepat Raihan menarik tubuh Andini kedalam pelukan, rasa syukur ia ucapkan. Kini tak ada halangan rasa, dirinya bisa memeluk dengan erat dan memberi kasih sayang. Berulang kali kecupan mendarat di kening Andini membuat hati wanita itu menghangat. Hingga tak terasa air mata menetes begitu saja, merasa sangat di cinta dengan ketulusan. Dan berharap tak ada penghianatan di dalamnya.
"Makasih sayang..."
"Jangan ada orang ketiga ya kak, aku nggak akan maafin kakak jika itu terjadi."
"Aku pastikan hati dan diriku hanya untukmu sayang, percayalah! Tapi aku minta, jika nanti kamu melihat atau mendengar sesuatu yang mengusik hatimu, tanyakan dulu kebenarannya padaku. Dan jangan pergi sebelum kamu tau apa yang terjadi sebenarnya."
"Karena aku tak bisa menjanjikan hubungan kita akan terus berjalan mulus, pasti akan ada rintangan yang datang. Dan aku ingin kamu kuat melawan badai itu bersama."
Andini menganggukkan kepala dalam dekapan Raihan, kini saatnya membuka hati dan memberikan kasih sayang kepada sang suami. Waktu satu bulan sudah cukup memahami sedikit demi sedikit karakter Raihan yang memang sebelumya sudah ia kenal baik.
"Akhirnya jatuh ke pelukan duda."
"Hey, aku sudah bukan duda, aku suamimu sejak sebulan yang lalu."
Andini tertawa dan semakin mengeratkan, di malam ini semua berubah. Ikhlas membuatnya lebih lega. Dan berharap kedepannya semua berjalan semestinya. Belajar menjadi istri walaupun tingkah masih suka ngeselin. Tapi tak masalah jika Rai menerima dengan tulus, anggap saja bumbu dalam rumah tangga yang baru akan di mulai.
"Sayang ..." Raihan merenggangkan pelukannya menatap dalam Andin dengan penuh cinta.
"Hhmm ...."
"Kapan selesainya?" lirih Raihan yang membuat tubuh Andini meremang dan jantungnya semakin berdebar.
"Apanya?" tanya Andini pura-pura tidak tau padahal ia paham dengan arah pembicaraan Rai saat ini.
"Tamu bulanannya?"
Wajah Andini bersemu, dengan semburat merah yang tampak menggemaskan bagi Rai. Memalingkan wajah tetapi dengan cepat Rai menahannya dengan menarik lembut dagu Andin. Perlahan Raihan maju hingga menyentuh kembali bibir ranum yang ia rindukan.
Andini memejamkan mata kala benda kenyal itu singgah, saling menyalurkan kasih sayang hingga suara decapan memenuhi kamar. Pelukan semakin erat saat Rai memperdalam ciumannya, menekan tengkuk Andini dan merapatkan tubuh mereka hingga tak bersekat.
Kali ini rasanya beda, cinta lebih terasa di dalamnya. Dengan hati yang membuncah semakin membuat bahagia. Tak ada yang mereka inginkan selain hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang.
Raihan berusaha tak menyertakan hasrat walaupun di bawah sana sudah mendesak. Dirinya pria dewasa yang pastinya butuh kehangatan ranjang, setelah lama tak merasakan. Tapi kondisi Andini yang belum bisa membuatnya harus lebih kuat lagi menahan.
Cengkraman di kaos Raihan semakin erat, Andini yang membalas dengan kemampuan terbatas justru membuat Raihan gemas. Saling membelit tak ingin mengakhiri, hingga pasokan udara menipis membuat Andini memukul dada Raihan untuk memberi jeda.
Nafas Andini tersengal setelah Raihan melepaskan, menatap pria yang sejak tadi tersenyum dengan menahan gejolak.
"Kakak kenapa?" melihat wajah Rai yang bersemu dengan mata berkabut membuat Andini yang awam akan reaksi itu menjadi penasaran.
"Nggak apa-apa sayang," jawabnya dengan suara berat.
"Kok beda?"
"Nggak sayang," Raihan memeluk kembali karena tak ingin Andini semakin menanyakan hal yang semakin membuat Raihan sulit menjawabnya.
Tapi saat tubuh itu kembali rapat, Andini merasa ada yang menghadang. Pandangan matanya mencari kebenaran dan ya, dia paham sekarang. Melihat kembali wajah Rai yang justru bersembunyi di sela lehernya.
"Kak..."
"Biarkan seperti ini dulu sayang, aku tau kamu mengerti. Mungkin hari ini aku bisa menahannya tapi jika sudah selesai, jangan harap aku lepaskan."
"Kakak ikh, kenapa begitu mencekam mendengarnya, aku saja masih takut kak. Itu menyakitkan..."
"Tapi kamu menyukainya sayang..."
"Kata siapa?" tanya Andin tak terima.
"Kamu menikmatinya waktu itu..."
"Kakak!"
Kini keduanya siap untuk makan malam, Raihan begitu posesif apa lagi melihat Andini yang sudah memakai baju tidur pendek begitu. Dia tak membiarkan andini turun walaupun hanya ada simbok di bawah. Raihan tak ingin ada yang melihat keindahan yang kini menjadi hak paten miliknya. Dirinya saja setiap malam harus di buat pusing menahan, walaupun makin kesini semakin terbiasa dengan Andin yang memang begitu setiap malamnya.
"Sayang nggak usah keluar," cegah Raihan.
"Loh kan mau makan kak, aku laper loh kak. Tadi siang bekalnya cuma aku makan dikit."
"Kamu tunggu sini biar aku ambilkan, nggak akan lama. 5 menit aku kembali, oke!"
"Tapi kak....." Belum selesai Andini berucap Raihan sudah turun duluan. "Kak Rai kenapa sich, padahal kan sakitnya udah nggak kayak tadi. Udah bisa makan ke bawah juga. Apa karena..... ya ampun kak Rai, disini kan nggak ada siapa-siapa kecuali simbok."
5 menit Rai sudah kembali, membawa nampan yang berisi 1 piring nasi lengkap dengan sayur dan lauk dengan porsi jumbo.
"Banyak banget kak?" tanya Andini yang sedikit bergeser karena Rai ingin duduk di sampingnya.
"Makan berdua sayang.."
"Sepiring berdua?"
"Iya, tapi aku yang suapin kamu!" Raihan tersenyum dan mulai menyendokkan nasinya. "Ayo sayang!"
"Tapi aku bisa makan sendiri kak," cegah Andini.
"Sayang, ayo aku ingin memanjakanmu."
Wajah Andini bersemu merah, dia benar-benar merasakan perhatian yang lebih dari Rai. Makan berdua dengan piring yang sama dan dimanjakan oleh suami.
"Udah kenyang kak, Alhamdulillah..."
Raihan mengusap bibir Andini dengan jemarinya, hal kecil yang membuat jantung Andini kembali tak aman. Apa lagi Rai meninggalkan kecupan di bibirnya.
"Kak, kotor nanti tangan kakak. Kan ada tisu," protes Andini.
"Lebih suka begini dari pada pakai perantara." Raihan tersenyum gemas melihat Andini yang nampak malu-malu. "Besok berangkat bareng ya."
"No, aku belum siap. Belum ada yang tau kalo kita sudah menikah, aku nggak mau di kira menggoda bos mereka. Mereka kan taunya aku hanya anak magang dan mungkin ada yang tau juga kalo aku adiknya Pak Andika tapi kan nggak banyak."
Raihan membuang nafas kasar, rasanya dia tak ingin jauh dari Andini walaupun tujuannya sama. "Kapan kita rayakan pernikahan kita?"
"Nanti mungkin setelah aku menyelesaikan skripsi. Biar ada waktu senggang untuk menyiapkan."
"Masih lama," ucap Raihan lesu.
"Yang penting kan kita sudah sah kak."
"Pengen dekat kamu terus."
"Ini udah deket."
"Pengen semua dunia tau, kalo Andini milik Muhammad Raihan putra Baratajaya."
Andini tersenyum melihat sikap manja Raihan, "tanpa mereka perlu tau, aku tetap milik kakak."
"Tapi taunya kamu masih single dan itu cukup membuatku resah, apa lagi tampilanmu di kantor cukup menggoda. Banyak mata jelalatan yang singgah dan aku nggak suka."
"Sekalian aja karungin aku biar semua nggak bisa liat!"
"Kalo itu maumu kenapa nggak!"
"Kak Rai!"
mkasih bnyak thorr🫰