NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: laras noviyanti

Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.

Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.

Lalu untuk apa Arman menikahinya ..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 8

Arman duduk di kursi malas di teras depan rumahnya, menatap halaman kosong di seberang jalan. Pikirannya terus melayang pada Candra. Sudah beberapa bulan sejak perceraian itu, tetapi rasanya seperti baru kemarin perdebatan mereka berakhir dengan keputusan pahit. Suara handphone-nya bergetar, memecah keheningan.

“Hey, Arman! Dengar berita terbaru?” tanya Tono, sahabatnya, sambil tertawa.

“Berita apa?” jawab Arman, mengangkat alis.

“Ternyata Candra dan Dira buka cafe sekarang!” Tono memakai nada gugup, memastikan Arman menangkap setiap kata.

“Candra? Cafe?” Arman menahan kerutan di keningnya. “Maksudmu Candra yang dulu?”

“Iya, Candra isterimu yang sudah tak lagi jadi isterimu,” Tono membalas, suara penuh ledekan. “Cafe itu katanya di pusat kota. Dulu kita selalu bilang dia harus melakukan sesuatu. Sekarang dia benar-benar melakukannya!”

Perasaan aneh mendorong Arman bangkit dari tempat duduknya. Tak tahu apakah itu rasa bangga atau marah, tapi jantungnya berdebar lebih cepat. Kakinya melangkah dengan cepat menuju dapur.

“Kenapa kau tertarik? Sudah berakhir di antara kalian,” Tono melanjutkan, tetapi Arman menutup telinganya.

Dia meraih segelas air, menghirupnya seolah itu akan menenggelamkan emosinya. Candra sudah beranjak, bangkit dari bayangan yang selalu menghantuinya. Dia bahkan tidak memberitahunya. Arman teringat betapa Candra sering menggoda ingin membuka usaha sendiri, tetapi setiap kali, harapan itu sirna saat ia tak menghiraukannya.

“Arman!” Tono memanggil, mencoba menarik perhatian Arman yang tampak melamun.

“What?” suara Arman terdengar lebih tajam daripada yang dimaksudkan.

“Dengar, kita harus lihat itu. Mungkin kau bisa memberi kejutan,” Tono menyarankan, nada bersemangat.

Arman menggeleng. “Kecewa dan kejutan tidak ada dalam kamusku untuknya.”

Tono mendengus. “Dia sedang membangun hidup baru, bro. Kau tidak merasa sedikit pun ingin tahu? Atau... ingin membuktikan bahwa kau bisa mengabaikannya?”

Sebuah dorongan menyelusup ke dalam Arman. “Buka cafe? Kenapa? Dia pasti tidak akan mampu,” gumamnya, lebih pada diri sendiri.

“Salah! Dia bisa lebih baik daripada yang kau kira. Kau menganggapnya remeh,” Tono menegaskan. “Mungkin ada sesuatu yang hilang dalam dirimu.”

Arman terdiam, teringat saat-saat saat Candra bercerita tentang mimpinya. Sejak awal, dia hanya terjebak dalam rutinitas dan ketidakpedulian. Suaranya bergetar saat ia menjawab, “Aku tidak mau mendengar tentang itu.”

“Dengarlah, sahabat. Terkadang kita harus melihat lebih dekat untuk mengerti. Yang kau sebut hidupmu, itu tidak menghalangi dia.” Tono menambahkan, menatap Arman dengan tajam.

Lima detik berlalu. Arman merasakan panas di pipinya. Ia tahu ada hal yang salah dengan cara dia menanggapi ini. Akhirnya, tanpa sepatah kata pun, ia berpaling, melepaskan emosi yang tidak terucap.

“Kalau begitu, aku ingin pergi. Aku harus melihatnya,” Arman menggumam seiring langkahnya beranjak menuju mobil.

***

Cafe kecil itu sudah penuh dengan pelanggan yang menikmati aroma kopi segar dan kue kering yang baru dipanggang. Senyum Candra menyebar ke seluruh ruangan saat dia berinteraksi dengan pelanggan. Dira berada di sampingnya, menggoda Candra untuk tidak terlalu serius.

“Candra, kau harus lebih mempromosikan kue ini! Rasanya enak sekali!” Dira menegur sambil menyendok potongan kue ke mulutnya.

“Rasa ini seperti di rumah. Kita tidak perlu berpura-pura mencampurkan bahan-bahan mahal,” balas Candra, meringis bahagia. “Aku hanya ingin mereka merasa nyaman di sini.”

Dira mengedipkan mata. “Ayo, sedikit glamor tidak ada salahnya. Lihat, pelanggan saja betah lama-lama di sini.”

Candra tersenyum. “Caramu berbicara, seolah-olah mereka datang untukmu.”

“Salah besar! Mereka pasti datang untuk kue dan kopi,” Dira membalas, membuat Candra tertawa.

Kemudian, suara pintu terbuka mengejutkan mereka. Arman melangkah masuk, sinar matahari membuatnya terlihat lebih tegas. Candra terhenti, jantungnya berdebar. Kenapa dia datang?

“Arman?” suaranya unik, tidak percaya.

Berdua saling berpandangan, Dira bisa merasakan ketegangan di udara.

“Hey, aku... mendengar ini. Cafe baru yang kalian buka. Ini... berbeda,” Arman berkata, mencoba meredakan ketegangan dengan nada santai.

Candra mengangkat alis. “Maksudmu, kau ingin mencicipi kopi kita?”

“Jika itu semua berkaitan dengan sepotong kue enak,” jawab Arman sambil melirik ke arah vitrine kue.

Dira memanfaatkan peluang itu. “Jadi, Arman. Mau coba? Red Velvet ini paling laku.”

Arman bertanya, “Semua ini hasil kerja keras kalian?”

Candra mengangguk, tertegun. “Dan kami bersenang-senang. Kami sangat menikmatinya."

Mata Arman meluncur cepat ke Dira. “Sepertinya kau sangat berpengaruh dalam ide ini.”

“Candra punya bakat! Semua ini adalah idenya,” Dira menjelaskan, bangga.

Arman merasakan aliran cemburu. “Bagus sekali. Menyenangkan melihatnya.”

“Jadi, apa yang membawamu ke sini, Arman?” Candra bersikap netral, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman yang menggelembung.

Dia menarik napas beberapa kali sebelum menjawab. “Mungkin aku ingin melihat bagaimana hidupmu setelah berpisah.”

Candra menyipitkan mata, tersenyum sinis. “Menarik.”

“Cukup mengejutkan masuk ke tempat ini dan melihatmu bahagia,” Arman melanjutkan, berusaha terlihat santai.

Dira menggeleng, berusaha menyesuaikan suasana. “Kami semua di sini saling mendukung, Arman. Itu yang terpenting.”

Arman menunduk, meresapi katanya lebih dari yang disadarinya. Pikiran itu mencengkeram ruang kosong di dadanya. "Aku... tidak ingin mengganggu."

“Jadi, jika kau tidak mengganggu, silakan duduk dan nikmati apa pun yang kau inginkan,” kata Candra, berusaha membangun jembatan baru di antara kesibukan yang berubah.

Arman menggeleng. “Mungkin lain kali,” ujarnya, melangkah mundur perlahan.

“Arman!” Candra berseru, suaranya lembut. “Kau bisa kembali kapan saja”

Dia menatapnya, menggambarkan sepotong dari masa lalu yang hilang, sebelum dirinya berbalik dan keluar.

Dira menggenggam tangan Candra. “Kau sangat kuat, kau tahu itu?”

“Harus bisa. Setiap detik adalah pilihan baru,” balas Candra, berusaha tidak mengizinkan harapan mengguncangnya.

Melihat Arman pergi, bagi Candra terasa seperti sebuah tanda. Dia bisa melangkah maju.

Candra menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup. Hatinya bergetar, tetapi dia tahu waktu tidak akan kembali.

Dira, menyadari kediaman Candra, berusaha mengalihkan suasana. “Ayo, kita fokus pada cafe ini. Banyak pelanggan menunggu. Kita tidak boleh memudarkan hari baik ini.”

Candra mengangguk, tersenyum tipis. “Kau benar. Mari kita buat hari ini lebih baik.”

Di balik counter, Dira mulai menuangkan kopi. “Kau kuat, Candra. Tidak semua orang bisa berhadapan dengan mantan seperti itu dan tetap teguh. Dia jelas tidak siap melihatmu maju.”

...----------------...

1
murni l.toruan
Rumah tangga itu saling komunikasi dua arah, agar tidak ada kesalah pahaman. Kalau hanya nyaman berdiam diri, itu mah patung bergerak alias robot
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!