Semua itu karena rasa ego. Ego untuk mendapatkan orang yang dicintai, tanpa berfikir apakah orang yang dicintai memiliki perasaan yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Aku melajukan sepeda motorku, baru saja ibu menelponku katanya kak Adam dan orang tuanya sudah berada di rumah. Ibu bilang mereka ingin bertemu langsung denganku, untuk membahas tentang pembatalan pernikahan itu.
Setelah lima belas menit berkendara dengan kecepatan 40 km/jam, akhirnya akupun sampai di halaman rumah, ku parkirkan sepeda motorku tepat di samping mobil kak Adam.
Aku menatap pintu rumah yang terbuka, di sana tepat di depan pintu ada beserta beberapa sendal yang berderet di bibir pintu. Itu pasti milik kak Adam dan keluarganya.
Aku menghela nafas panjang, aku berusaha untuk menenangkan hatiku yang sudah dag Dig Dug. Ada apa lagi mereka datang ke rumah? Apakah mereka ingin mengalahkan ku sebab pernah tetap bersikukuh untuk melanjutkan perjodohan ini meski kak Adam telah jujur bahwa dirinya tidak mencintaiku? Ku harap tidak.
Bismillah...
"Assalamu'alaikum" aku mengucap salam ketika hendak memasuki rumah.
"Wa'alaikumussalam," semua yang ada di dalam rumah menjawab salamku. Ku lihat, di sana telah ada orang tua Adam, kak Adam, dan kiyai Nasir duduk di sofa ruang tamu.
Begitu aku masuk, aku langsung menyalami orang tua Adam, dan kiyai Nasir. Setelah itu, aku meletakkan tasku ke meja yang tak jauh dari ruang tamu, kemudian duduk di samping ibu.
"Kamu sudah makan nak?" tanya ibu, aku mengangguk.
"Sudah Bu, tadi di sekolah. Oh ya ini ada apa Bu?" tanyaku.
Ku lihat ibu menatap bapak, dan bapak menatap kiyai Nasir.
"Jadi begini, mengenai pembatalan pernikahan itu, nak Adam dan keluarganya sudah berembuk, dan Adam sendiri sudah melaksanakan sholat istikharah, dan mereka sepakat untuk tetap melanjutkan pernikahan ini." ujar Pak Kiyai. Aku menoleh ke arah ibu dan bapak yang duduk di sampingku.
Apakah kak Adam benar benar melakukan sholat istikharah yang menjadikan kak Adam yakin untuk menikahi ku, atau kak Adam hanya terpaksa untuk melanjutkan pernikahan ini demi orang tuanya.
"Kalau mengenai itu, saya selaku orang tua Zara menyerahkan seratus persen keputusan kepada putri kami. Biar Zara yang menentukan. Jika Zara ingin lanjut kami setuju, dan jika Zara ingin sampai di sini saja kamipun setuju. " ujar Bapak kepada kiyai Nasir dan orang tua Adam.
Kini semua mata menujuku, aku tidak tahu mau menjawab apa. Hatiku berkata iya, sedangkan otakku tidak. Fikiran dan hatiku tidak sejalan.
"Begini saja, beri Zara waktu untuk berfikir. Siapa tahu dia hendak sholat istikharah dulu, atau menimbang-nimbang terlebih dahulu, sebab hal yang bersifat buru buru itu tidak baik," ujar ibu lemah lembut, berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang tua kak Adam.
Akhirnya, keputusannya adalah aku diberi waktu tiga hari dua malam untuk mengambil keputusan. Dan saat ini mereka telah pulang.
*****
"Assalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh" aku baru saja selesai melaksanakan sholat isya. Aku berdoa agar apapun keputusan yang akan kuambil adalah keputusan yang terbaik.
"Assalamu'alaikum, Zara" itu suara ibu, jadi langsung saja kupersilahkan ia untuk masuk setelah aku menjawab salamnya
"wa'alaikumussalam"
Ibu masuk seraya tersenyum padaku, "baru selesai sholat Zara?" ujar ibu, aku mengangguk.
"Iya Bu" ujarku, seraya merapikan sajadahku, dan ikut duduk di samping ibu.
"Ibu harap kamu pikirkan baik baik mengenai perjodohan dengan Nak Adam itu Zara" ucap ibu, lembut aku mengangguk.
"Menurut ibu Zara harus bagaimana?" tanyaku pada ibu, ibu sudah tahu kalau aku sudah lama mengagumi Adam dalam diam, dan ibu juga sudah tahu kalau di hati Adam ada wanita lain.
"Kamu harus tahu Zara, bahwa laki-laki itu berbeda dengan wanita. Jika wanita lebih cenderung menggunakan perasaan, maka pria lebih cenderung menggunakan pikiran mereka, itulah sebabnya laki-laki ini lebih cenderung egois daripada wanita. Selain itu ego laki-laki jauh lebih tinggi daripada wanita. Jadi, jika wanita akan luluh hanya karena perbuatan baik, maka pria tidak akan semudah itu di luluhkan hatinya dengan kebaikan." Ibu menatap ku dalam dalam, aku mengerti maksud ibu. Ibu ingin memberitahu ku bahwa aku tak akan dapat dengan mudah merebut hati Adam, apalagi masih ada nama wanita lain di hatinya.
"Saran ibu, lebih baik kamu ikhlaskan nak Adam, dan kamu cari laki laki lain, sebab lebih baik tersiksa karena tidak bisa memiliki orang yang kita cintai, daripada merasa tersiksa karena hidup bersama dengan orang yang tidak mencintai kita. Kamu harus tahu, bahwa dicintai jauh lebih baik daripada mencintai. Demi apapun, ibu tidak akan pernah ridho dan ikhlas melihat anak anak ibu tersiksa." Aku menunduk, benarkah yang dikatakan ibu? Tetapi, kak Adam adalah pria yang beriman, aku yakin aku akan bahagia hidup bersamanya.
"Tapi bukankah pria yang beriman tidak akan merendahkan wanita Bu. Aku yakin kak Adam akan mampu bersikap baik kepadaku, jika nantinya aku akan menikah dengannya." Ujarku menatap ibu.
"Jangan berharap banyak Zara, pria yang beriman pun bisa kapan saja menjadi tidak beriman. Manusia itu berubah ubah, jangan mengambil resiko yang berat seperti ini. Hidup dengan orang yang kita cintai juga tidak akan bahagia, jika orang tersebut tidak mencintai kita balik." Ujar ibu, aku mengalihkan pandanganku dari ibu ke arah jendela kamarku yang gordennya belum tertutup.
"Lupakan perasaanmu kepada nak Adam, zara. Ingat, dia tidak mencintaimu, dan kamu berhak bahagia dengan laki laki yang mencintaimu." Ujar ibu yang membuatku semakin bimbang.
"Zara akan sholat istikharah Bu, Zara akan minta petunjuk Allah," ujarku setelah lama terdiam. Satu satunya jalan keluar dari kebimbangan ku saat ini hanyalah sholat istikharah.
"Baiklah kalau kamu masih ragu untuk mengambil keputusan. Kamu sholat istikharah lah, mudah mudahan Allah berikan petunjuk dan ketetapan untukmu agar apapun keputusan yang kamu ambil itu adalah keputusan yang terbaik." ibu mengelus punggungku.
"kalau begitu, ibu pergi dulu, ingat pesan ibu tadi," ujar ibu, aku mengangguk. Ikut mengantarkan ibu sampai pintu kamarku, dan menutup pintu.
Aku memang sering mendengar orang-orang berkata bahwa lebih baik dicintai daripada mencintai. Tetapi, bukankah hidup bersama dengan orang yang tidak kita cintai juga tidak membuat hati bahagia?
Aku menyukai Adam sudah sejak lama. Bahkan sejak aku masih duduk di kelas 1 SMP. Adam itu pria idaman kebanyakan wanita di sekolahku, dan hinggalah saat ini Adam masih populer dikalangan para wanita. Adam itu terkenal dengan kecerdasan, ketampanan, dan juga kekayaannya, siapapun kurasa akan setuju untuk menikah dengan Adam, tak perduli apakah Adam mencintai atau tidak.
Lagipula, aku tidak egois, sebelumnya aku sudah membantu Adam untuk membatalkan pernikahan ini, namun tanpa sebab Adam dan keluarganya kembali lagi untuk melanjutkan pernikahan. Berarti meskipun aku menerimanya, ini bukan salahku. Sebab aku tak pernah memaksa Adam untuk menikahi ku. Dia dan keluarganya lah yang memintaku untuk tetap melanjutkan perjodohan ini. Terlebih kak Adam sudah melaksanakan sholat istikharah, itu artinya Allah sudah memberikan petunjuk kepada kak Adam, bahwa aku layak untuk mendampingi kak Adam.
******
Tiga hari kemudian.
Dua keluarga sudah berkumpul di ruang tamu rumahku, yaitu keluarga kak Adam dan keluargaku. Dan juga kiyai Nasir selaku orang yang menjembatani perjodohan ini.
Semua orang telah menunggu jawabanku, tadi pagi selepas sholat subuh, ibu mengatakan semua keputusan ada di tanganku. Ibu tidak mempermasalahkan apapun itu. Tetapi ibu tetap berpesan, bahwa meraih hati laki laki itu tidak mudah, jadi aku harus mengambil keputusan dengan benar.
"Bagaimana Zara, apa kamu mau menikah denganku?" Kak Adam buka suara, aku menatap matanya. Kali ini sorot matanya berbeda, di sana tidak ada kebencian atau penolakan, melainkan pengharapan. Tampaknya Kak Adam berharap aku bisa menerimanya. Benarkah demikian, atau ini hanya perasaanku saja?
"Dengan mengucapakan bimisllahirrahmanirrahim, saya bersedia untuk menikah dengan kak Adam," sahutku, ibu yang duduk di sampingku langsung meremas tanganku. Dapat kurasakan kekhawatiran pada ibu.
"Alhamdulillah," ucap semua orang yang ada di ruangan itu.
Ku tatap Adam, dia hanya menunduk. Tak kutemukan raut wajah bahagia di sana.
Orang tua Adam meminta agar tanggal pernikahannya di majukan. Mengenai semua berkas berkas, biar mereka yang mengurusnya. Mereka hanya memintai Kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan ijazah terakhir ku. Dan aku memberikannya dengan cepat.
Setelah keluarga Adam pergi, aku pamit kepada ibu, bapak, kak Farah, dan bang Reza langsung kembali ke kamarku sebab ada RPP sekolah yang harus aku kerjakan. Mereka mengangguk. Keluarga ku itu sedang membahas mengenai undangan, dll, yang berhubungan dengan pernikahanku.
Sedangkan aku memilih untuk pergi ke kamarku, ada lembaran ujian siswa yang harus aku periksa. Dan besok lembaran itu akan aku berikan kembali kepada siswa-siswi ku.
Tetapi fikiranku tetap tidak fokus, aku masih belum menyangka kalau aku dan kak Adam akan beneran menikah. Dan kenapa juga kak Adam setuju untuk melanjutkan pernikahan ini, bukannya sebelumnya dia yang meminta agar pernikahan ini di batalkan saja. Hatiku tidak tenang, aku penasaran kenapa kak Adam memutuskan untuk melanjutkan pernikahan ini kembali dan menjilat air ludahnya sendiri.
[Assalamu'alaikum kak Adam? Zara boleh bertanya sesuatu?] ~ Zara Amani
Aku memberanikan diri untuk mengechat kak Adam. Aku ingin tahu apa alasan di balik semua ini.
[Wa'alaikumussalam, ya tanya saja] ~ Kak Adam
setelah 5 menit chatku hanya centang dua abu-abu, akhirnya kak Adam membalas juga.
[Maaf sebelumnya kak, boleh saya bertanya bukankah sebelumnya kak Adam sangat bersikeras untuk membatalkan perjodohan kita. Lalu kenapa dengan tiba tiba kak Adam ingin melanjutkan pernikahan ini. Apakah Kaka Adam nantinya tidak ada menyesal dengan keputusan kak Adam saat ini?] ~ Zara Amani.
Tanganku sedikit gemetar mengetik chat ini, tetapi bagaimana pun aku harus tahu apa alasan kak Adam sehingga dia tetap melanjutkan perjodohan ini hingga ke tahap pernikahan.
Akku melihat chatku hanya centang dua abu abu, barang kali dia sibuk, atau chatku hanya dibacanya lewat notifikasi saja.
15 menit kemudian...
[Itu permintaan orang tuaku, lagipula kamu sudah menerimanya kan? Jadi, saya rasa pertanyaan seperti ini tak perlu di tanyakan lagi.] ~ Kak Adam
[Yang menikah aku dan kak Adam, bukan orang tua kita kak. Kakak tak perlu berkoban seperti ini.] Balasku. Aku sedikit prihatin jika kak Adam menikahi ku karena terpaksa.
[Bukannya awalnya kamu bersikukuh untuk melanjutkan perjodohan ini hingga ke jenjang pernikahan, lalu kenapa tiba tiba kamu melarangku untuk melanjutkan perjodohan ini. Dan bukankah sebelumnya kamu yang mengatakan bahwa kita perlu sedikit berkorban untuk membalas jasa baik orang tua, lalu kenapa sekarang kamu melarangku berkorban untuk orang tuaku?] ~ Kak Adam
Aku tertegun membalas chat dari kak Adam. Kak Adam benar, tetapi itu dulu, manusia cepat berubah ubah. Kemarin kemarin aku memang sangat egois ingin memiliki kak Adam, meski apapun cranya. Tapi sekarang, aku tak ingin memiliki kak Adam jika hal itu malah membuat kak Adam tak bahagia.
[Kejar bahagiamu kak, lupakan apa yang pernah saya katakan. Seperti yang kakak katakan sebelumnya, bahwa sebelum ijab kabul maka pernikahan ini masih bisa kita batalkan] balasku.
Chatku langsung centang dua berwarna biru. Aku deg deg kan, tetapi aku harus memberi kebebasan bagi kak Adam.
[Kamu pernah mengatakan jika kita tidak bisa selayaknya suami istri, maka kita bisa berteman. Dan aku setuju untuk itu] ~ kak Adam.
Balasan pesan wa dari kak Adam hanya ku baca saja. Setidaknya perasaanku bisa lebih tenang saat ini, sebab buka aku yang memaksa kak Adam untuk menikahi ku, tetapi dialah yang dengan ikhlas menikah dengan ku.