Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Menyesal pun tiada artinya.
Suasana rumah besar keluarga Galih sore itu mendadak penuh gejolak. Suara bentakan Galih terdengar sampai ke ruang tengah. Ia mondar-mandir di ruang kerja, wajahnya memerah karena amarah bercampur frustrasi.
“Bu! Ini gila! Mereka minta tebusan satu miliar rupiah hanya untuk membebaskan Lilis dari ruang keamanan mall! Satu miliar, Bu!” Galih menepuk meja kerjanya keras, membuat beberapa dokumen berserakan.
Miranti yang duduk di kursi panjang dengan tenang menyesap tehnya. Tatapannya dingin, berbeda sekali dengan putranya yang terbakar emosi. “Kalau memang seperti itu, bayar saja. Kamu kan suaminya ... urus sendiri.”
“Bu! Apa Ibu tidak dengar apa yang aku bilang?!” Galih hampir berteriak. “Kalau aku keluarkan satu miliar, perusahaan bisa goyah! Kita lagi seret modal, semua transaksi bisnis lagi macet. Aku nggak punya cadangan segitu untuk mainan bodoh kayak begini!”
Miranti mendengus sinis, menatap anaknya dengan pandangan penuh penilaian. “Itu salahmu sendiri, Galih. Dari awal aku sudah bilang, jangan campuri hidup perempuan itu. Hanum perempuan baik, tapi kamu pilih selingkuh dengan Lilis. Sekarang tanggung jawabmu ya Lilis, bukan aku.”
Galih menahan napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya, tapi sia-sia. “Jadi Ibu sama sekali tidak mau membantu anak sendiri?!”
Miranti meletakkan cangkir tehnya perlahan di meja, lalu menatap putranya lurus. “Aku sudah terlalu sering menolongmu, Galih. Dan lihat hasilnya? Kamu makin hancur, makin tidak bisa mengendalikan hidupmu sendiri. Untuk kali ini, aku tidak akan ikut campur. Kamu yang memulai masalah, kamu yang harus menyelesaikannya.”
Perkataan itu seperti tamparan telak bagi Galih. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal begitu kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Namun ia tahu percuma melawan ibunya. Akhirnya, dengan berat hati, Galih meraih ponselnya dan mulai menghubungi beberapa kenalan bisnis. Suaranya terdengar memelas, sesuatu yang jarang sekali ia lakukan.
“Aku butuh pinjaman cepat. Satu miliar! Besok aku balikin, sumpah.”
Telepon demi telepon ia lakukan, sampai akhirnya salah satu kerabat jauh setuju memberikan pinjaman dengan jaminan cek kosong. Galih tak peduli, yang penting malam itu Lilis bisa bebas.
Sore itu, Galih melangkah cepat ke ruang keamanan mall dengan wajah penuh kesal. Begitu sampai, ia melihat Lilis duduk di kursi panjang, wajahnya penuh riasan yang luntur karena tangis, tetapi mata itu masih menyimpan api kemarahan.
“Kamu lama sekali! Aku hampir gila di sini! Malu aku ditahan sama satpam!” bentak Lilis begitu melihat Galih.
Galih mengabaikan ucapan istrinya. Ia langsung menyerahkan cek senilai satu miliar pada pihak keamanan. Setelah tanda tangan beberapa berkas, Lilis akhirnya dilepas. Namun, bukannya berterima kasih, Lilis justru melanjutkan amarahnya.
“Kalau kamu datang lebih cepat, aku nggak akan dipermalukan kayak gini, Galih! Semua orang lihat aku ditahan, diperlakukan kayak pencuri! Ini semua salah kamu!”
Galih berhenti mendadak, lalu menoleh ke arah Lilis dengan tatapan tajam. “Salah aku?! Kamu yang bikin masalah, Lilis! Kamu yang mulai dengan menjebak Hanum! Kalau kamu nggak bikin ulah, nggak mungkin kita ada di sini sekarang!”
“Jangan bawa-bawa nama Hanum lagi!” Lilis membalas dengan suara meninggi. “Aku melakukan ini karena aku muak lihat kamu masih peduli sama dia! Aku istrimu, Galih, bukan dia!”
“Diam kamu, Lilis!” Galih akhirnya tak mampu menahan diri. Tangannya terayun, menampar pipi Lilis cukup keras hingga kepala perempuan itu terhempas ke samping. Beberapa orang di sekitar yang masih ada di area parkir menoleh, namun Galih tidak peduli.
“Semua ini salahmu!” Galih berteriak, nadanya penuh amarah bercampur penyesalan. “Kamu yang bikin nama kita makin hancur! Kamu yang bikin aku harus keluarin satu miliar cuma buat nutupin aibmu! Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan jatuh sedalam ini!”
Air mata Lilis jatuh lagi, tapi kali ini bukan hanya karena sakit, melainkan karena perasaan dipermalukan oleh suaminya sendiri.
Di dalam mobil, ketegangan masih belum mereda. Lilis duduk di kursi penumpang dengan wajah sembab, sementara Galih mengemudi dengan kasar, setiap kali mengganti gigi seolah melampiaskan amarahnya.
“Kamu nyesel nikah sama aku, ya?” Lilis bertanya dengan suara serak.
Galih tidak langsung menjawab. Rahangnya masih mengeras, pandangannya lurus ke depan. “Aku nyesel bukan karena nikah sama kamu, Lilis ... tapi karena aku ninggalin orang yang seharusnya aku jaga.”
Kalimat itu menusuk dada Lilis. Tangisnya pecah lagi. Namun, bukannya merasa bersalah, ia semakin membenci nama Hanum yang selalu menjadi perbandingan. Mobil melaju kencang, meninggalkan mall dengan hawa panas yang tak kalah menyengat dari suasana di dalam mobil.
'Hanum aku tidak akan buat hidup kamu tenang,' bisik Lilis dalam hati.
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏