Pria Dingin & Angsa

Kitty langsung menarik tisu mengelap bibirnya setelah menyembur air ke wajah Calvin. Tatapannya penuh keheranan.

"Menjadi pacarmu? Apa aku tidak salah dengar?" tanya Kitty, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Kamu tidak salah dengar. Aku ingin kamu menjadi pacarku," jawab Calvin sambil mengelap wajahnya dengan sapu tangan, wajahnya tetap tenang meski sedikit basah.

"Kenapa jadi pacarmu? Sebenarnya apa yang kamu inginkan?" tanya Kitty, nadanya penuh kecurigaan.

"Sangat mudah! Usiaku 35 tahun, dan sudah seharusnya memiliki seorang pacar, menikah, dan menjalani hidup yang bahagia," jawab Calvin dengan nada serius, matanya memancarkan keyakinan.

"Lalu, kenapa memilihku menjadi pacarmu? Kita tidak kenal akrab dan hanya sebatas kenal begitu saja," tanya Kitty, alisnya terangkat tinggi.

"Tidak ada alasan. Kita bisa coba menjalaninya," jawab Calvin, mencoba untuk terlihat santai.

"Bagaimana menjalaninya kalau kita sama-sama tidak memiliki perasaan? Kamu sungguh aneh sekali," gerutu Kitty, merasa semakin bingung.

"Kenapa kita tidak mencobanya saja?" tanya Calvin, seolah mengabaikan keraguan Kitty.

"Untuk apa? Aku sudah punya pacar. Aku tidak mau berkencan dengan seorang pria yang begitu kaku. Berjalan denganmu seperti berjalan dengan patung," jawab Kitty ceplas-ceplos, matanya menyipit penuh sindiran.

"Tinggalkan saja pacarmu, dan ganti aku sebagai pacarmu. Bukankah sangat mudah?" tanya Calvin, tanpa ragu.

"Tuan, apakah kamu mengira pacaran itu bisa diganti begitu saja?" tanya Kitty, hampir tertawa dengan absurditas situasi ini.

"Memiliki pacar yang sering tidak berada di sisimu, apa gunanya? Dia lebih banyak meluangkan waktu kepada wanita lain daripada padamu. Apakah kamu masih menunggunya?" tanya Calvin, suaranya lebih serius, menunjukkan bahwa dia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya.

"Kamu menyelidikinya? Kenapa melakukan itu?" tanya Kitty penasaran sambil meneguk air putih.

"Karena aku harus tahu semua tentang calon istriku," jawab Calvin dengan terus terang, matanya menatap lurus ke arah Kitty.

Mendengar jawaban pria itu, Kitty lagi-lagi menyembur air ke wajah Calvin. Kali ini, Calvin hanya bisa menahan diri untuk tidak marah.

"Uhuk... uhuk...!" suara batuk gadis itu keselek minuman, membuat situasi semakin canggung.

Calvin hanya bisa menahan emosi dan mengelap wajahnya dengan tenang, dalam hati ia merasa sedikit geram.

"Siapa yang sudi menjadi calon istrimu? Jangan asal bicara!" ujar Kitty, menatap Calvin dengan tajam.

"Kamu menolak?" tanya Calvin, tetap tenang meski mendapat penolakan.

"Iya," jawab Kitty tegas.

"Kamu akan menyesalinya," ujar Calvin dengan percaya diri, tatapannya tidak goyah.

"Tidak akan!" jawab Kitty sambil melirik tajam pada pria itu.

"Aku akan membuatmu berpaling dari pacarmu itu," kata Calvin dengan santai dan yakin.

"Apa yang ingin kamu lakukan padanya?" tanya Kitty dengan alis terangkat, penasaran.

"Aku tidak berminat dengan brengsek itu. Sasaranku hanya kamu. Suatu saat kamu akan menjadi istriku," jawab Calvin sambil tersenyum lebar.

"Istri kepalamu! Aku belum menyetujuinya," jawab Kitty dengan nada tegas.

"Lihat saja nanti, setelah waktunya tiba," ucap Calvin dengan yakin, sambil menatap serius wajah gadis itu.

"Kamu mencintaiku?" tanya Kitty, menatap Calvin dengan tatapan penuh teka-teki.

"Apa gunanya bertanya seperti itu," jawab Calvin dengan dingin, seolah pertanyaan itu tidak relevan.

"Dasar pria sombong! Caramu mengejar seorang gadis tidak berbeda seperti seorang penagih hutang," jawab Kitty sambil mendengus, lalu beranjak dari tempat duduknya dengan ekspresi kesal.

Calvin hanya diam, meneguk minumannya dengan tenang seolah tidak terganggu oleh kata-kata Kitty. Dia memutar-mutar gelas di tangannya, menatap cairan di dalamnya dengan pandangan kosong.

"Tuan, Nona sudah pergi," ucap Rom, asisten Calvin, yang sedari tadi mengamati dengan cermat.

"Mulai besok, kirim mereka mendatanginya. Kemana pun dia pergi, tetap ikuti sampai dia kembali ke rumah!" perintah Calvin dengan suara tegas.

"Iya," jawab Rom dengan anggukan, meski dalam hatinya dia meragukan metode Calvin.

"Cara tuan sangat aneh. Mengejar seorang gadis seperti itu sama saja menakutinya. Tuan memang tidak bisa melakukan hal romantis," batin Rom, merasa bingung dengan cara Calvin yang keras.

"Tuan, bagaimana kalau kita beli bunga untuk Nona Angsa? Anak gadis sangat suka dengan bunga," tanya Rom dengan hati-hati, mencoba memberikan saran yang lebih lembut.

"Membeli bunga hanya cara yang kuno," jawab Calvin, menolak ide tersebut tanpa ragu.

"Bagaimana kalau beli tas untuknya atau sesuatu yang dia suka?" tanya Rom lagi, mencoba mencari alternatif.

"Tas dan baju atau lainnya hanya cocok untuk wanita serakah," jawab Calvin dengan nada dingin.

"Bagaimana kalau beli sepeda saja? Sepertinya Nona Angsa suka bersepeda," tanya Rom dengan harapan ide ini akan diterima.

"Dia sudah memiliki sepeda. Untuk apa beli lagi?" jawab Calvin singkat.

"Bagaimana kalau perhiasan saja? Mungkin Nona akan tertarik," tanya Rom, semakin putus asa mencari cara yang lebih efektif.

"Seorang gadis yang tertarik pada perhiasan, maka aku tidak akan memilihnya," jawab Calvin dengan tegas, seolah menutup semua kemungkinan.

"Bukankah semua gadis sama, suka perhiasan? Tuan sangat sulit mengerti apa yang seorang gadis inginkan. Sudah tidak romantis, juga bersikap dingin. Mana mungkin Nona Angsa bisa tertarik padanya," batin Rom, merasa semakin frustasi dengan sikap Calvin yang keras kepala.

Rom menatap Calvin yang masih asyik dengan minumannya. Dia tahu bahwa tugas ini akan sangat menantang, terutama dengan tuan yang memiliki pandangan yang begitu kaku dan tidak fleksibel. Namun, Rom juga menyadari bahwa di balik sikap dingin Calvin, ia memiliki sifat yang tidak suka berfoya-foya.

Kitty yang sedang berjalan pulang ke rumahnya dihentikan oleh sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Pintu mobil terbuka, dan Samuel turun dengan langkah cepat, menghampiri gadis itu.

"Kitty," seru Samuel, suaranya terdengar mendesak.

"Aneh sekali bisa melihatmu di sini," kata Kitty, matanya menyipit sedikit dengan rasa heran.

"Kenapa kamu tidak menjawab panggilanku?" tanya Samuel, ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

"Aku sedang sibuk, tidak bisa pegang handphone terus. Ada apa mencariku?" tanya Kitty, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya sedikit kesal.

"Aku hanya ingin meminta maaf padamu. Apakah besok kamu ada waktu?" tanya Samuel, harapannya terpancar jelas di matanya.

"Aku memiliki banyak waktu, tapi kamu yang tidak ada waktu karena selalu merawat anak manja," jawab Kitty dengan nada menyindir, mengingatkan Samuel tentang kebiasaannya yang selalu sibuk dengan mantannya.

"Aku tahu kalau kamu marah. Bagaimana kalau besok kita menemui orang tuaku? Sudah lama kamu tidak datang ke rumahku," tanya Samuel, suaranya lembut namun memohon.

"Bukan aku tidak sudi, tapi orang tuamu yang tidak menerimaku. Di mata mereka, aku hanya penjual angsa dan tidak memiliki apapun yang bisa menjamin masa depanmu," jawab Kitty, matanya menatap Samuel dengan serius, mencerminkan rasa sakit yang pernah ia rasakan.

"Aku tahu kedua orang tuaku sedikit berlebihan. Tapi kita cukup sabar saja. Aku yakin mereka pasti akan menerimamu," ujar Samuel, mencoba meyakinkan Kitty, meski dalam hatinya ia juga ragu.

Kitty terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Samuel. Ia ingat betapa dinginnya sambutan orang tua Samuel padanya. Namun, melihat kesungguhan di wajah Samuel, Kitty merasa ada harapan kecil yang bisa diperjuangkan.

"Aku sudah lelah berharap, Samuel. Mereka tidak akan pernah melihatku sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar penjual angsa," kata Kitty, suaranya melemah sedikit.

Samuel menghela napas panjang, menyadari betapa sulitnya situasi ini bagi Kitty. "Aku tidak akan berhenti mencoba, Kitty. Aku ingin kita bisa bersama, apa pun yang terjadi."

"Samuel, Apakah kamu bisa memberitahu aku, kenapa kamu ingin bersamaku?" tanya Kitty.