Izinkan Aku Menjadi Orang Ketiga

Pada pukul 09 pagi.

Laura pergi berangkat ke kampus bersama dengan Dimas, namun ketika sebentar lagi akan sampai, tiba-tiba....

Ckitt....

"Heu?" Laura bingung dan menoleh pada Dimas.

"Turun disini!" Ucap Dimas sembari melirik sekitar.

Seketika Laura langsung mendelikkan matanya, dia tidak tahu alasan Dimas menurunkan dia padahal hampir sampai ke kampusnya. "Kenapa aku turun disini? Bukannya 10 menit lagi kita sampai?"

"Begini.." Dimas menghadap ke arah Laura untuk menjelaskan sesuatu. "Posisiku sudah menikah, bahkan aku dosen di kampus ini. Jadi, awalnya kan kita tidak dekat, kalau kita ketahuan berangkat bersama, mereka akan membicarakan kita berdua. Paham sayang?"

Blush.

Pipi Laura tiba-tiba memerah, dia mendengar ucapan kata Sayang dari mulut dosen ini. "Aku paham. Tapi, bagaimana dengan ponselmu?"

"Haish.." Dimas menghela nafasnya sejenak.

"Bukankah sudah kubilang, jangan mengangkat teleponnya tadi. Kamu sih!" Seru Dimas.

Chup.

Bukannya menjawab, Laura malah mengecup sekilas bibir Dimas yang barusan sedang berbicara. "Aku kesal dengan istrimu pak, arogan sekali dia, mentang-mentang orang kaya."

"Oke, dia memang salah kemarin. Maafkan dia ya, aku janji akan memperbaiki sikapnya jika bertemu lagi denganmu." Mengusap surai Laura.

"Oh iya, aku sepertinya tidak bisa tinggal di apartemenmu yang tadi pagi kita bahas." Ucapnya.

Dimas langsung melonggarkan dasinya dan melepaskan kacamatanya. "Why? Apa kau punya kekasih dan takut dia tahu tentang kita?" Tatapan berubah dingin.

Laura langsung mendorong pelan dan mengusap dada bidang Dimas untuk menenangkannya, pasalnya tadi pagi Dimas mengajak Laura untuk tinggal di apartemennya agar Dimas bisa leluasa jika suatu saat merindukan Laura.

"Eh.. Bukan pak, aku tidak punya kekasih. Hanya saja---"

"Ck, terserah. Aku tak akan memaksamu." Berdecak kesal lalu berubah posisi dan merajuk pada Laura.

"Astaga, apa dia marah? Kenapa marah sih, aku kan gak punya kekasih. Mau ku jelasin malah langsung memotong pembicaraan." Memijit pelipisnya.

"Pak, aku turun sekarang saja. Biar nanti ku jelaskan semuanya. Aku tidak ingin berdebat pagi-pagi." Membuka pintu mobil.

Ceklek.

"Laura! Tunggu!!" Pekik Dimas memanggil.

Laura berjalan pergi dan menghiraukan panggilan Dimas. Seperti biasa, Laura berjalan lenggak-lenggok sambil mengibaskan rambut panjangnya yang indah.

Di dalam mobil, Dimas meremat setir mobilnya karena kesal. "Kenapa jadi dia yang marah sih? Harusnya aku kan yang marah. Ck, wanita memang susah di tebak."

"Huft." Dimas menyugarkan rambutnya ke belakang. "Apa-apaan itu, kenapa dia memakai baju ketat sekali, bokongnya jadi kelihatan menonjol." Bernada marah.

Saat itu juga Dimas melajukan kembali mobilnya untuk segera sampai ke kampus. Dia melewati Laura yang sedang berjalan sendiri dan menjadi pusat perhatian.

"Awas kau Laura, aku akan menghukummu di ranjang tanpa henti."

******

Di tempat lain.

"Bu direktur, apa anda sedang tidak enak badan?" Ucap seseorang yang berperan jadi sekretaris.

"Ah, tidak. Aku hanya pusing dengan beberapa berkas ini." Jawabnya.

Tok..Tok.. Tok..

"Masuk!" Seru seseorang.

Ceklek.

"Permisi direktur Vina, kami sudah menyiapkan ruang rapatnya." Ucap seorang karyawan.

Ya, yang mereka sebut direktur tersebut ialah Vina. Vina sedari pagi tidak fokus bekerja karena teringat kejadian yang di telepon tadi.

Vina awalnya menaruh curiga kalau yang mengangkat telepon suaminya tersebut adalah selingkuhan Dimas. Namun dia merasa lega saat mendengar jawaban dari orangnya langsung kalau ponsel Dimas terjatuh dan di temukannya.

Yang membuat dia kesal adalah, kenapa harus wanita itu. Pegawai yang tak becus bekerja dan melakukan kesalahan sehingga mengotori pakaiannya.

"Ck, membuatku kesal saja." Gerutunya pelan.

"Eh, apa anda mengatakan sesuatu bu?" Tanya sang karyawan.

"Tidak. Baiklah, kita mulai meeting sekarang, aku sibuk." Beranjak dari duduknya lalu berjalan keluar ruangan.

Bersambung.