Niat hati mencari suami kaya agar terbebas dari belenggu ibu tiri, membawa seorang Lilyana nekat mengait pria kaya yang ditemuinya di taman. Namun, apa jadinya jika pria itu mengalami keterbelakangan mental alias idiot.
"Ya, ayo menikah ...!" pria berpenampilan tuan muda bertepuk tangan dengan gaya khasnya yang seperti bocah.
"Oh, no!"
Bagaimana kelanjutannya? Yuk, simak ceritanya.
***
Jangan lupa juga baca novel author yang lainnya: (My Son Is My Strength, Sang Antagonis & Membalaskan Dendam Janda)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosoran Lily
Kirana tiba di sebuah rumah yang sama sekali tak terbilang mewah, rumah yang terlihat sederhana, namun begitu rapi dan asri dilihat dari halaman depannya yang tidak terlalu besar. Di sana terdapat sebuah pohon mangga dan bunga berwarna-warni sedikit layu.
Kirana menegakkan badan, mengangkat dagu lalu melangkah dengan angkuh. Tibanya di depan pintu ia mengangkat tangan dan mulai mengetuk.
Ketukan pertama tak memiliki jawaban, ketukan ke dua pun begitu. Kirana merenggut kesal. “Hello, anybody home?” katanya lantang, yang terdengar seperti teriakkan. Lalu ia mengetuk lagi dengan kasar, terlihat sekali tidak sabar.
“Bentarrr!” barulah ada sahutan dari dalam. “Mah, paket datang!” teriak suara itu lagi, Kirana menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa, hanya dirinya.
“Berapa?!” tanya orang itu ketus seraya membuka pintu. Semakin hari uangnya semakin menipis.
Kirana menaikkan salah satu alis, “Hellooo! Saya bukan kurir,” marah Kirana, penampilannya yang kece badai dipenuhi pernak pernik barang branded dikira kurir? Yang benar saja!
“Eh, Anda siapa, ya?” gadis di depannya terlihat bingung, merasa tidak mengenal perempuan di depannya. “Maaf, Tante. Kami tidak menerima tamu.” Kata gadis itu yang bersiap menutup kembali pintu, tidak ingin memasuki orang asing dan menyambutnya membuat stok makanan mereka habis.
“Mana paketnya, Naura?” perempuan seusia Kirana menghampiri gadis itu yang tak lain adalah Davina, ibu tiri dari Lily.
“Hai!” sapa Kirana pada Davina memperlihatkan keberadaannya.
Davina menaikkan salah satu alisnya, “Siapa, ya?” tanya Davina berjalan mendekat, pintu pun kembali terbuka lebar.
Pulang ke rumah, Vian langsung menarik tangan Lily menuju ke kamarnya. Sedangkan Arthur dan asistennya langsung menuju ruang kerja.
“Ih, Bang. Sabar dong, pelan-pelan.” Pinta Lily meringis, bukan akibat kesakitan dari tarikan Vian, tetapi karena ketar-ketir mengingat janjinya yang ia bisikkan pada Vian. Niatnya sih ia hanya ingin membuat pria itu makan dan mendapatkan kesan baik pada sang calon ayah mertua dengan harapan sampai di rumah Vian melupakan janji tersebut. Tapi baru saja sampai di rumah, nyatanya Vian langsung saja menggiringnya ke kamar.
“Mana janji nya?” saat ini keduanya sudah duduk saling berhadapan di salah satu sofa pajang di kamar mewah terser.
“J-janji apa, Bang?” tanya Lily pura-pura tidak tahu seraya menggulir pandangan ke arah lain.
“Sosor itu Lilyyyy, katanya kamu bakalan kasih kalau kita sampai di rumah,” kata Vian dengan mulut moyong-moyong beberapa senti. Lily meneguk susah salivanya melihat tampang pria itu. “Sekarang mana?” kini Vian menengadah tangan untuk menangis janji.
“Mmm ... mm ...,” Lily bingung sendiri, bahkan sampai menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Jangan bilang kamu pikun kaya almarhum opa!” tuding Vian, Lily tentunya tidak terima.
Masih muda begini di bilang pikun, ia tidak memberikan karena dia adalah gadis baik-baik. Tidak ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk menodainya. Haiiisss, ia sudah seperti gadis mesum saja. Lily mengacak rambutnya yang kini harum seperti bunga mawar.
“Gimana, ya, Bang. Lu beneran pengen gue sosor?” tanya Lily menebalkan muka dengan wajah yang sudah seperti kepiting rebus.
“Ugh,” angguk Vian yakin, bahkan lebih dari yakin.
“Tapi, gue nggak tanggung jawab, ya, kalau bibir lo nggak perjaka lagi!” Lily memperingati. Aelah, bibirnya sendiri pun masih perawan. Sok-sok-an mau memperjaka bibir orang lain.
Vian menggaruk kepalanya tidak mengerti, tampangnya begitu polos.
“Jadi gimana? Beneran mau gue sosor?” tanya Lily sekali lagi untuk memastikan.
“Emang sosor itu apa?” akhirnya otak Vian yang dilindungi oleh tengkorak besarnya pun berfungsi.
Lily berdecak, “Masa lu nggak tahu, Bang. Polos benar, ya, lu.” Gadis itu mengamati Vian yang tampang memang polos. Mata mengerja penasaran dengan kening berkerut sedikit.
Mau tidak mau, Lily pun menjelaskannya. “Sosor itu ya ciuman, Bang. Ituloh yang cipokan-cipokan,” Lily memperagakan dengan jari tangan yang menegerucut lalu saling bertubrukan, seperti yang dilakukan Vian tempo lalo di taman.
Bluss! Wajah Vian langsung merona dengan telinga memerah. Sepertinya ia mengerti akan penjelasan ini.
“Gimana?” tanya Lily menaik turunkan alisnya.
Sejenak Vian tampak berpikir, lalu sesaat kemudian ia mengangguk antusias dengan wajah merah malunya.
Rahang Lily ternganga, hampir saja jatuh. Ia kira Vian berubah pikiran, dan tidak menagih janjinya lagi.
“Ayo ... ayo ... aku mau Lily,” ajak Vian semangat, seperti mengajak teman bermain saja. Lily jadi meneguk salivanya susah, apalagi kini Vian mulai memonyongkan bibirnya siap menerima sosoran dari Lily.
Jantung Lily kembang kempis ingin menangis, kepala Vian semakin mendekat. Ia tentu gadis polos, alim dan baik hati. Ini sungguh di luar dugaan dan prediksi BMKG. Orang idiot ternyata juga demen cipokan!
“Tutup mata, Bang. Gue malu!” pinta Lily dan Vian menurut saja. Tapi, rupanya ia matanya mengedip-ngedip mengintip.
“Hais,” Lily pun menutup mata Vian dengan salah satu telapak tangannya. Lalu ia mendekatkan diri pada Vian dan langsung mengarahkan dan membenturkan kulit kenyal Vian dan kulitnya.
Vian terhenyak kaget merasakan benda asing di bibirnya, sedangkan Lily menahan napas dengan tawa yang ingin menyembur.
Tentu saja Vian tidak berciuman dengan bibirnya, melainkan dengan punggung tangannya yang satunya lagi.
‘Hahahh,’ Lily terkekeh dalam hati. ‘Rasain nih sosoran punggung tangan gue,’ Lily menekan maju punggung tangannya mengimpit bibir seksi Vian.
“Mmmmm,” gumam Vian merasa aneh dan tersiksa dengan sosoran ini. Sesaat kemudian Lily pun melepaskan, begitu pula dengan telapak tangannya yang menutup mata Vian.
“Pftt!!! Gimana, Bang?” tanya Lily dengan menahan tawa.
“Mmm ... nggak enak! Kerasss!” todong Vian dengan pekikan mengusap bibir yang bukannya enak malah sakit. Tentu saja akibat tubrukan itu.
Tawa Lily tak terbendung lagi, tawanya pun pecah memenuhi setiap sudut kamar sang pria. “Hahahahhhh,”
Tetapi bukannya marah, Vian malah memandang lekat wajah Lily. Gadis itu sibuk dengan tawanya, dan kini tangannya sampai memeluk perut saking ia merasa lucu, tidak menyadari Vian yang perlahan semakin mendekat.
Hap! Vian mengungkungnya seketika membuat gadis itu membeku. “Kamu bo’ong, ya ... tadi itu bukan sosoran!” walaupun ia idiot, kecerdasan tentu tidak bisa diragukan.
“Itu sosoran, Bang,” tapi sama punggung tangan, lanjut Lily dalam hati. “Sekarang lepas,” pintanya berusaha meloloskan diri, namun tenaga Vian begitu kuat membuat sang gadis tidak bisa berkutik. Lengan besar Vian mengimpit tubuh kecilnya membuatnya tak bisa beranjak.
“Aku nggak percaya!” sela Vian menurunkan wajahnya mendekat wajah Lily. Gadis itu sudah pucat pasi akibat degupan jantung juga kegugupan.
Wajah keduanya semakin mendekat, dengan mata Vian berkilat mengunci mata Lily. Kening keduanya bertubrukan dan bibir ...
Tok! Tok!
Lily menghempaskan tubuh Vian yang fokusnya sedang terganggu, lalu segera membuka pintu tersebut dengan gaya kikuk.
‘Huh, hampir saja!’ Lily memegang dadanya yang jantungnya sedang berdisko ria.
***