Married With Mr. Idiot
Seorang gadis dengan rambut bergelombang sebahu berlari ngos-ngosan menghindari sesuatu, peluh membanjiri keningnya, ia tampak sangat kelelahan.
“Hah, enak saja menyuruh ku mencuci ulang!” runtuk gadis itu dan melihat sekeliling. Tanpa sadar, kakinya mengarahkan dirinya ke taman kota. “Aku tidak bisa seperti ini terus, aku harus keluar dari sana. Huhuhu, mamiii ... Lily capeeek! Mau ikut mami saja,” rengeknya sembari mengusap peluh.
Lilyana gadis yang amat malang, ia sendiri pun mengakui hal tersebut. Sepeninggal ibunya beberapa tahun yang lalu hidupnya berubah drastis sembilan puluh derajat. Tepatnya ketika sang ayah menikah lagi, membawa ibu tiri dan saudara tiri durjana.
Di depan ayahnya ia diperlakukan dengan begitu baiknya, dan di belakang sang ayah dengan terang-terangan mereka menampakkan wujud aslinya. Ia diperlakukan dengan sangat buruk melebihi kehidupan bawang putih di dunia dongeng. Dan akhir-akhir ini kehidupannya semakin kelam, ayahnya pergi selamanya menyusul sang ibu.
Mereka memperlakukannya semakin beringas, harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya diambil alih oleh mereka. Sedangkan dirinya dijadikan babu di rumahnya sendiri. Segala pekerjaan rumah ia yang mengerjakan seorang diri, dan tidak hanya itu, ia juga harus melayani keduanya dua puluh empat jam! Tidak ada toleransi baik itu malam atau tengah malam, baik itu ia sedang makan ataupun membersihkan diri. Jika namanya dipanggil, ia mau tidak mau harus menghadap.
Dan saat ini setelah mengerjakan segala pekerjaan rumah, melayani nyonya-nyonya yang Maha Agung. Lily melarikan diri karena tidak sanggup lagi, Naura saudara tirinya itu memerintahkannya untuk mencuci ulang baju yang telah ia cuci dan setrika sampai licin. Padahal baju tersebut sudah bersin dan rapi, entah ditaruh dimana otak saudara tirinya yang Maha Benar itu.
“Argghhh! Gara-gara mereka aku belum sempat sarapan,” runtuk Lily lagi sembari mengusap perutnya yang mulai mendemo. Ia merogoh saku celana berharap ada sisa uang belanja di sana. “Tiga ribu, ya... lumayan buat beli roti sama air kemasan.” Ucapnya penuh syukur dan mulai berjalan menuju warung tenda dipinggir jalanan.
Lily menengok ke belakang, takut saudara tirinya itu masih mengejarnya. Naura memang sempat mengejar, tetapi berhenti di tengah jalan karena tak sanggup menyamai langkah kaki Lily yang begitu cepat.
Bukan sekali dua kali gadis itu kabur dari rumah akibat tidak betah dengan perlakuan mereka, namun tinggal di jalanan itu sangat sulit apalagi dirinya yang seorang perempuan. Lily akan selalu kembali karena tidak memiliki pilihan dan tiba di rumah tubuhnya akan memar sana sini karena siksaan sang ibu tiri. Gadis itu juga sempat melawan, tetapi tenaganya yang tidak makan berhari-hari tidak bisa dibandingkan dengan tenaga ibu dan saudara tirinya yang mengeroyok.
“Bu, minuman gelas seribu sama roti dua.” Lily menyodorkan uang terakhirnya sisa uang belanja kebutuhan dapur yang diberikan Davina, sang ibu tiri.
“Itu aja, Neng?” tanya sang ibu dan mendapatkan anggukan dari Lily.
Setelah mendapatkan makanannya, Lily memasuki area taman dan duduk dipojokkan sepi melihat manusia yang berlalu-lalang bersama keluarganya dengan wajah berseri-seri.
“Mereka tanpa bahagia,” lirih gadis itu dan mulai memakan rotinya setelah menusuk minuman gelas dengan sedotan.
Lapangan taman begitu ramai hari ini karena hari libur, banyak kepala keluarga yang membawa anggota keluarganya untuk datang berpiknik menghabiskan waktu bersama dengan canda ria. Wajah mereka begitu berseri sangat berbanding terbalik dengan gadis lusuh di pojokkan yang tak lain adalah Lily.
Lily menunduk, menekuri telapak tangannya yang kebas nan kasar. “Aku tidak bisa begini terus, tidak mau menjadi babu sepanjang hidup,” gumam gadis itu yang baru saja memasuki umur dua puluh tahun. “Apa terima saja tawaran nyonya Belle yang seorang mucikari ...?” renungnya akan tawaran dari wanita paruh baya yang berdandan bahenol tempo lalu.
“Aissss, nggak, nggak! Jangan tergoda menjadi seperti itu Lily, ingat nasehat mami! Ingat!” katanya yang kini merutuki dirinya.
Lily mengedarkan pandangan, melihat sekeliling taman dengan pandangan tak minat. Melihat keluarga yang berkumpul dalam satu tikar, melihat pasangan-pasangan yang duduk di bangku taman dengan tangan saling tertaut dan bibir melempar senyum. Sungguh sangat serasi dan romantis.
“Yak!” gadis itu tiba-tiba berdiri dengan penuh semangat. “Kenapa aku tidak mencari suami saja? Ya! Kait pria kaya sekalian.” Gadis itu setuju akan pikirannya sendiri yang begitu cemerlang menurutnya. “Dengan begitu aku akan terbebas dan tidak hidup susah lagi!” ia pun mulai menyisir rambutnya yang awut-awutan serta lepek, melakukan senam wajah agar lebih rileks.
“I’m ready!” Lily mulai mencari mangsa setelah membenah pakaian serta tampilan wajahnya. Memindai satu persatu lelaki yang memenuhi standarnya. Berpenampilan kaya serta tak apa jika wajahnya pas-pasan, yang paling penting masih lajang.
“Jangan yang itu, sudah terlalu tua. Bajunya juga biasa-biasa saja.” Nilainya lalu mulai menggulir pandangan ke arah lain. “Yang itu sepertinya cocok, kaya dan tampan.” Lily membasahi bibirnya agar terlihat memerah, berjalan menghampiri pria itu dengan penuh percaya diri serta tak lupa menebar pesona tak kala mata keduanya bertemu. Lily semakin mendekat, dan pria di sana menautkan alis melihat keanehan gadis itu.
“Sayang,” perempuan semampai mendekati si pria dengan es krim di kedua tangannya. Lily sontak saja memutar arah.
“Jangan yang itu, nanti digrebek warga dikira pelakor.” Ia mengetuk kepalanya agar kembali ke jalan yang lurus. Sorot matanya yang murung kembali berbinar tak kala melihat mangsa yang baru.
“Cocok nih,” kata Lily setelah mengamati situasi dan kondisi, dan tampaknya pria itu memang masih lajang. Duduk seorang diri dengan pakaian mewah melekat di tubuhnya, wajahnya aman tampan yang menjadi bonus untuk Lily.
Lily berjalan mendekat dengan pelan tetapi pasti, gadis itu kini berhasil duduk bersama si pria di bangku taman di bawah pohon yang rindang.
Lily mengedipkan mata, dibalas kedipan mata oleh si pria. Lily mengedip sekali lagi dengan senyum menawan berceceran, dan dibalas oleh pria itu dengan hal yang sama.
“Asiikkk, umpan di makan!” gumam Lily dalam hati, meronta bahagia. Ia pun memberanikan diri bergeser mendekat.
“Hai, Abang. Sendirian aja?”
Klik!
Lily mengedipkan mata, pria di sampingnya cengengesan ria sekarang. Lily menganggap itu sebagai jawaban.
“Kalau sendirian, boleh dong aku temanin?” tawarnya sembari menyisipkan anak rambut ke belakang telinga. Pria itu mengangguk heboh, membuat Lily yakin dapat mengaitnya. “Temenin jadi teman hidup juga, aku mau kok?” katanya malu-malu.
“Teman hidup?” gumam pria itu pelan dengan kernyitan di dahi.
“Iya, biar nggak kesepian. Jadi kita menikah, yuk.” Ajak Lily tanpa buang waktu, kali aja berhasil ‘kan. Namanya juga usaha.
Pria yang Lily ajak bicara tampak diam, tepatnya berusaha memaknai ucapan lawan jenis di depannya. Keningnya mengernyit dalam.
“Menikahhh?” tanyanya sembari menyatukan kedua tangannya yang ia buat mengerucut.
“Aelah, Bang. Pikiran lu langsung ke cipokan aja.” Lily melambaikan tangan dengan wajah bersemu merah.
“Ya, ayo kita menikah ...!” pria berpenampilan Tuan Muda bertepuk tangan dengan riang, menyetujui ajakan si gadis. Tingkahnya yang berlebihan sedikit mencuri perhatian orang-orang.
“Eh, se-serius?” Lily yang kini malah tidak percaya. Pria itu mengangguk antusias.
“Iya, ayo kita menikah. Hihihihi ....” Tawanya girang dan seketika membuat mata Lily membulat. Pria kaya, tampan rupawan ini bertingkah selayaknya bocah.
“O oh, no!” teriaknya tertahan baru menyadari sesuatu, baru saja ingin melarikan diri. Namun, tangannya dengan cepat dicekal oleh si pria.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments