NovelToon NovelToon
Antara Air Dan Api

Antara Air Dan Api

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Fantasi / Kultivasi Modern / Evolusi dan Mutasi / Cinta Beda Dunia / Pusaka Ajaib
Popularitas:200
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Syihab

novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak Terakhir di Antara Dua Dunia

Angin sore menyapu reruntuhan bangunan setengah tenggelam yang pernah menjadi pusat penelitian rahasia itu. Cahaya jingga merayap turun, menyorot garis-garis pecah pada kaca yang tertinggal, membuatnya tampak seperti mata-mata yang mengawasi dari balik dunia yang mulai goyah. Keheningan terasa begitu pekat sampai suara napas pun seakan memantul kembali dari dinding-dinding yang tak lagi utuh.

Arel berdiri mematung di depan pintu baja besar yang tertekuk seperti kertas. Di balik pintu itu, dunia yang selama ini ia kenal mulai runtuh bersamaan dengan rahasia yang akhirnya mencuat ke permukaan. Punggungnya terasa berat oleh semua keputusan yang ia buat sejak beberapa waktu lalu keputusan yang memaksanya berjalan terlalu dekat dengan batas antara dunia manusia dan dimensi gelap yang membayangi mereka.

“Arel,” panggil Liora dengan suara serak, mendekat sambil menahan luka di bahunya yang belum sepenuhnya pulih. “Kita tidak punya banyak waktu. Energi dari retakan dimensi itu semakin kuat.”

Arel mengangguk pelan, meski hatinya berdenyut tak nyaman. Tatapannya turun pada lantai yang kini retak membentuk garis bercahaya samar, seperti tubuh bumi sedang menahan amarahnya. Cahaya itu memancar dari bawah, seolah ada sesuatu yang hidup di kedalaman sana sesuatu yang menunggu.

“Retakannya sudah melebar tiga kali lipat,” gumam Kael yang memeriksa alat ukur di tangannya. “Kalau kita tidak menutupnya sekarang, seluruh wilayah ini bisa tersedot ke dalamnya.”

Arel melangkah maju, melewati puing, mendekati pusat ruang yang kini menjadi lingkaran berkilau. Getaran halus dari tanah membuat tubuhnya merinding, seperti ada banyak tangan tak terlihat yang merayap di bawah permukaan. Ia menelan ludah dengan susah payah.

Ini bukan pertama kali ia menghadapi bahaya seperti ini, tetapi kali ini berbeda. Ada sesuatu di balik retakan itu yang memanggilnya bukan dengan suara, tetapi dengan ingatan. Fragmen-fragmen dari masa kecilnya, penelitian ayahnya, dan penderitaan ibunya setelah eksperimen itu gagal. Semua bercampur menjadi simpul yang membuat dadanya terasa sesak setiap kali ia memikirkannya.

“Kau siap?” tanya Liora.

Ia tak bisa menjawab untuk beberapa detik. “Aku harus siap.”

Kael memberikan batu inti penstabil aura birunya berdenyut perlahan. “Ini satu-satunya alat yang bisa menutup retakan secara permanen. Tapi… begitu kau mengaktifkannya dari dalam, kau tidak bisa kembali lewat jalur biasa.”

Arel tahu itu sejak awal. Ia menatap batu itu lama sebelum akhirnya menggenggamnya. Rasanya dingin, tapi ada getaran halus yang terasa seperti detak jantung. Benda itu tampak kecil, tetapi kekuatannya mampu mengubah nasib dua dunia.

Liora menatapnya dengan mata coklat kehijauan yang dipenuhi kekhawatiran. “Kalau kau masuk terlalu jauh, entitas yang menjaga gerbang itu bisa menangkapmu. Jangan biarkan mereka mendekat kekuatan mental mereka bisa membuatmu…”

“Lupa siapa diriku,” sambung Arel.

Liora mengangguk, wajahnya menegang.

“Sudah cukup.” Arel mengambil napas panjang. “Aku tahu risikonya.”

---

Retakan itu berdenyut seperti respirasi makhluk hidup saat Arel mendekatinya. Seolah-olah dimensi gelap menyadari kehadirannya. Arel bisa merasakan hawa dingin menyembur keluar dingin yang tidak berasal dari suhu, tetapi dari kefanaan. Tempat yang menelan makna, cahaya, bahkan pemikiran.

Langkahnya melambat saat tubuhnya mulai diterpa desiran suara tak berwujud.

Arel…

Arel…

Kembali…

Ia memejamkan mata. “Bukan suara mereka. Hanya bayangan pikiran,” gumamnya.

Namun ia tahu itu setengah bohong. Ada sesuatu di dalam dimensi itu yang mengenal dirinya. Atau mungkin mengenal darahnya—jejak penelitian ayahnya yang pernah membuka jalur ke tempat ini.

Begitu ia menyentuh batas retakan, dunia di sekelilingnya berubah drastis.

Gelap.

Gelap yang bukan sekadar tanpa cahaya, melainkan seperti zat yang menyerap cahaya. Namun di tengah kegelapan itu, ada garis-garis putih seperti saraf raksasa yang berdenyut pelan, memandunya masuk lebih dalam. Arel melangkah, berharap tanah yang ia injak masih nyata.

“Sejauh ini stabil…” katanya pada dirinya sendiri.

Tapi ia salah.

Dari jauh, sosok-sosok bayangan mulai bergerak. Siluet tubuh tinggi dengan akar-akar hitam yang menggantung dari tubuh mereka seperti rambut. Mata mereka… bukan benar-benar mata, melainkan titik-titik merah kecil yang terbentuk dari cahaya sisa pikiran manusia yang pernah tersesat ke sini.

Arel mundur selangkah, menggenggam batu inti lebih erat.

“Aku bukan musuh,” bisiknya. “Aku hanya ingin menutup portal ini.”

Sosok-sosok itu berhenti. Lalu satu di antara mereka bergerak maju, dan suara seperti dentingan logam beradu terdengar dari arah mereka bahasa yang tak seharusnya manusia dengar.

Mereka berkomunikasi. Tentang dirinya.

Arel merasa sesuatu menggores pikirannya sentuhan samar yang mencoba masuk. Ia mengepalkan rahang, menolak sekuat tenaga. Aura biru batu inti mulai terbakar semakin terang, melindunginya untuk sementara.

“Aku tidak datang untuk bertarung,” katanya lagi. “Aku datang untuk mengakhiri ini.”

Namun makhluk itu merespons dengan geraman rendah yang terdengar seperti gema di dalam tengkorak. Dua makhluk lain mulai bergerak lebih dekat. Kegelapan di sekitar mereka berubah menjadi pusaran tipis, memadat seolah ingin menelan apa pun yang mereka dekati.

“Apa kalian ingin dunia ini hancur?” teriak Arel, entah apakah mereka mengerti atau tidak. “Retakan ini menyedot energi dari dua dimensi. Jika tidak ditutup, kalian semua juga.”

Makhluk yang paling dekat mengangkat tangan. Dari ujung jarinya, muncul garis tipis cahaya merah yang berdenyut seperti sumbu.

Arel langsung bergerak. Ia melesat ke samping, menghindar dari serangan yang mencabik ruang di belakangnya dan membuat garis runcing hitam membelah udara.

Ia tahu tak ada waktu. Makhluk-makhluk itu tidak akan membiarkan manusia mengubah aturan wilayah mereka.

“Baik,” gumamnya, “kalau begitu…”

Ia berlari menuju inti retakan.

Makhluk-makhluk itu mengeluarkan jeritan mental keras yang membuat tulang Arel bergetar. Beberapa mengejar. Ruang di sekelilingnya berubah-ubah, lantai memanjang dan memendek, dinding tiba-tiba muncul lalu menghilang seolah dimensi itu mencoba menjebaknya sendiri.

Arel melompat melewati garis cahaya putih yang membelah ruang seperti saraf hidup, lalu menancapkan batu inti ke pusat cahaya yang berkumpul di depan.

Begitu batu inti menyentuh pusat struktur itu, cahaya biru meledak.

Dimensi gelap berguncang. Makhluk-makhluk itu terhempas, mengeluarkan suara serak seperti ribuan nama yang diucapkan sekaligus.

Arel terseret mundur oleh gelombang energi. Tubuhnya menabrak permukaan keras atau sesuatu yang menyerupai permukaan. Ia mencoba bangkit, tapi penglihatan mulai kabur.

“Arel!!!”

Suara itu bukan dari dimensi gelap.

Suara itu berasal dari luar dunia asalnya.

Liora.

Arel menggertakkan gigi. “Tunggu aku… Aku belum…”

Ia meraih batu inti yang kini berdenyut sangat cepat pertanda proses penutupan sudah mencapai puncaknya. Jika ia tidak kembali sekarang, ia akan terjebak selamanya.

Saat ia berdiri dan bersiap kembali ke arah retakan, sebuah tangan hitam menjulur dan mencengkeram lengannya.

“Tidak…” Arel berbalik, berusaha melepaskan diri. Makhluk itu berusaha menariknya ke dalam lebih dalam, ke pusat kegelapan yang berkedip seperti lubang tak berdasar.

“Lepas!” teriak Arel.

Ia menghantam lengan itu dengan energi dari batu inti yang tersisa. Ledakan cahaya kecil cukup membuat makhluk itu memekik dan melepaskannya.

Tanpa pikir panjang, Arel berlari menuju celah cahaya yang mulai menutup. Ruang itu bergetar keras, seolah seluruh dunia sedang merapatkan kembali dirinya.

“Arel! Cepat!” suara Liora semakin jelas.

Ia melompat.

---

Udara dingin malam menyambutnya begitu ia keluar dari retakan. Tubuhnya terguling di atas tanah keras, napas terengah-engah. Cahaya biru dari batu inti melonjak ke langit, lalu… padam.

Retakan dimensi itu menutup dalam sekejap.

Hening.

Liora langsung berlari mendekat, wajahnya memucat. “Arel! Kau kembali! Kau…” Ia terhenti saat melihat darah menetes dari sudut mata Arel. “Kau terluka! Dimensi itu mempengaruhi otakmu!”

Arel hanya bisa tersenyum lemah. “Masih hidup. Itu cukup.”

Kael menghampiri dengan alat medis darurat. “Kau beruntung. Kalau terlambat satu detik saja.”

Arel mengangkat tangan, menghentikannya. “Retakannya sudah tertutup?”

Kael mengangguk. “Sepenuhnya.”

Arel menatap langit yang kini tampak normal kembali. Tidak ada lagi kilatan aneh atau bayangan yang bergerak di balik awan. Dunia tampak damai, setidaknya untuk saat ini.

Tapi dadanya terasa berat.

Sebelum retakan tertutup, ia sempat mendengar sesuatu suara samar, jauh lebih nyata dari bayangan pikiran sebelumnya.

Arel… ini belum berakhir.

Dan ia tahu suara itu bukan berasal dari makhluk di dimensi gelap.

Itu suara yang ia kenal.

Suara ayahnya.

---

“Arel,” Liora memegang tangannya. “Kita bisa beristirahat sekarang.”

Arel mengangguk, tetapi matanya tetap menatap langit, seakan berharap menemukan jawaban di sana.

Dimensi gelap mungkin sudah tertutup.

Namun rahasia di baliknya… baru saja terbuka.

Dan Arel tahu, perjalanan mereka belum berakhir.

Belum sama sekali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!