🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Aku Tidak Mau Menyentuhmu
Seminggu telah berlalu sejak hari itu. Tibalah saatnya keberangkatan bulan madu Hafsa dan Gus Sahil. Dengan diantar Mabrur dan Abah Baharuddin ke bandara, mereka berdua berangkat ke Bali dengan menggunakan pesawat.
"Aku nggak tahu kenapa kamu mau bulan madu ke tempat yang jauh begini," Gus Sahil menggerutu sepanjang perjalanan di dalam pesawat. "Kan waktunya jadi lebih efisien kalau pergi ke tempat yang dekat-dekat saja, biayanya juga jauh lebih murah,"
Hafsa menghela napas panjang. Dia sudah menduga kalau sang suami akan protes dengan pilihannya. Destinasi bulan madu mereka memang Hafsa yang memilih, karena dahulu ia kira Gus Sahil juga mencintainya, maka ia ingin perjalanan berdua mereka dilakukan sebaik mungkin. Namun sekarang ia tahu kalau apa yang ia impikan itu sia-sia saja.
Mau bagaimana lagi, tiket sudah dipesan jauh-jauh hari, sayang kalau dibatalkan begitu saja. Mau tidak mau, meskipun dengan muka masam yang tidak mengenakkan untuk dilihat, Gus Sahil menurut saja mengikuti keinginan Hafsa.
Lama mengomel, Gus Sahil akhirnya merasa capek sendiri. Laki-laki itu kemudian memilih membaca buku yang ia bawa dari rumah, sembari telinganya dipakaikan headset.
Hafsa sendiri juga asyik dengan bacaannya, buku panduan perjalanan honeymoon di Bali. Mulai merancang akan pergi kemana dan makan apa. Berusaha sekeras mungkin mengabaikan perkataan ketus Gus Sahil demi mempertahankan kewarasannya sendiri. Mumpung liburan, dia tidak ingin perasaannya dikacaukan oleh siapapun.
Tapi harapan memang tinggal harapan. Setelah sampai di tujuan dan usai memasukkan barang-barang bawaan ke dalam kamar hotel, tiba-tiba saja Gus Sahil sudah menghilang. Hafsa sampai bertanya ke resepsionis hotel kemana suaminya pergi, tapi tentu saja sang resepsionis tidak tahu.
Hafsa merasa kesal bukan kepalang. Pada akhirnya ia hanya makan di restoran hotel dan tidur seharian. Rusak sudah semua rencana liburannya.
Saat magrib, setelah Hafsa selesai melaksanakan sholat, barulah Gus Sahil muncul dengan kaus pendek khas Bali. Kemejanya sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik, basah semua.
"Njenengan darimana to Gus?" Hafsa tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. "Saya sudah cari kemana-mana njenengan tidak ada,"
"Oh, aku dari pantai. Mau cari tempat selancar, tadi sekalian berenang sambil lihat matahari terbenam,"
"Terus kenapa tidak mengajak saya?"
"Loh, memang kamu mau main selancar juga?"
Hafsa menghela napas jengkel. "Yasudah terserah njenengan lah Gus,"
"Yasudah, kalau gitu tak aku mandi dulu," Gus Sahil sama sekali tidak merasakan kekesalan Hafsa, malah cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Kantong plastiknya ditaruh begitu saja di atas kasur.
Hafsa meskipun masih merasa kesal, tetap membereskan barang suaminya. Menggantung pakaian basah itu agar tidak bau.
Sebenarnya, ada rencana lain yang ingin Hafsa lakukan malam ini. Apalagi kalau bukan untuk melaksanakan perintah Umi Zahra. Saat suaminya itu masih mandi, diam-diam Hafsa mengganti pakaiannya dengan lingerie merah pemberian mertuanya.
"Parfum.." Hafsa bergumam, mencari-cari parfum berbau menyengat yang ia beli sebelum pergi. Menyemprotkannya ke pergelangan tangan, leher dan bajunya. Tidak lupa, ia juga mengeluarkan racikan jamu dari Umi. Cepat-cepat diminum sebelum ketahuan.
Setelahnya, Hafsa tinggal menunggu. Ia duduk manis di pinggir ranjang dengan jantung berdegup cepat.
...----------------...
Gus Sahil keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Handuk kimono hotel membalut tubuh gagahnya. Ia lupa, biasanya masuk kamar mandi sudah membawa pakaian ganti. Namun karena tadi buru-buru, ia tidak sempat mengambilnya.
Bau parfum yang menyengat segera menyapa hidung Gus Sahil saat keluar dari pintu kamar mandi.
"Kamu pakai parfum apa to Sa? Kok baunya menyengat banget," Gus Sahil berseru protes. Ia kemudian mencari-cari darimana asal bau tersebut.
Mata Gus Sahil seketika berhenti berkedip saat melihat pemandangan di depannya. Hafsa terlihat sangat cantik dengan rambut panjang terurai, wajahnya yang memang sudah cantik terlihat alami dengan polesan yang begitu natural. Namun, Gus Sahil terkejut melihat baju yang dipakai Hafsa sangat terbuka. Kulit putih Hafsa terlihat di mana-mana, termasuk bagian-bagian yang sangat sensitif.
"Hafsa!" Gus Sahil buru-buru berbalik badan. "Cepat tutupi badanmu itu!"
"Ada apa Gus? Apa saya tidak pantas memakai baju ini?"
"Bukan begitu! Aku nggak bisa melihat kamu pakai baju seperti itu! Cepat tutup sekarang!"
"Tidak bisa Gus, saya harus melakukan ini demi menjalankan amanah Umi,"
"Amanah apa?!" Gus Sahil berbalik, dengan cepat meraih selimut, melemparkannya pada Hafsa. "Mana ada amanah Umi yang menyuruh kamu pakai baju kurang bahan begitu?!"
"Memang begitu Gus," Hafsa kali ini menutup badannya dengan selimut. "Umi bilang beliau ingin menimang cucu,"
"Ya Allah Hafsa.." Gus Sahil menepuk-nepuk keningnya sendiri. Dia masih shock dengan apa yang barusan ia lihat. "Kita itu kan tidak saling mencintai, bagaimana bisa kita memberi cucu?"
"Tapi kan Gus sendiri yang bilang pada saya kalau njenengan bisa melaksanakan kewajiban sebagai suami. Memangnya yang seperti ini tidak bisa?"
"Ya ndak bisa lah!" Gus Sahil menjawab setengah berteriak. "Aku tidak mau menyentuh orang yang tidak aku cintai!"
"Apa njenengan tidak mau mencoba mencintai saya Gus?"
"Maaf Hafsa," Gus Sahil mendesah berat. "Cintaku sudah habis untuk orang lain,"
"Siapa orang itu Gus?" Hafsa berdiri dari duduknya, bertanya dengan nada menuntut.
"Kamu ndak perlu tahu,"
"Mbak Roha?"
Gus Sahil yang sedang mengacak-acak koper demi mencari pakaian ganti segera menghentikan aktivitasnya. Ia tidak menyangka nama gadis itu disebut oleh Hafsa.
Dengan tatapan dingin, Gus Sahil melemparkan baju pada istrinya, "Pakai bajumu Hafsa, anggap kita tidak pernah membahas ini sebelumnya,"
Gus Sahil kemudian masuk lagi ke kamar mandi, berganti pakaian.
Keluar dari kamar mandi, sudah tidak ada Hafsa di sana. Gus Sahil menghembuskan napas panjang. Dia tahu kalau suatu saat Hafsa pasti akan mengetahuinya. Tapi ia tidak menyangka akan secepat ini.
"Maafkan aku Sa," Gus Sahil menatap ke arah ranjang seolah ada Hafsa di sana, "Kamu memang tidak pantas untuk bersama laki-laki pengecut seperti aku,"
...----------------...
Hafsa berjalan sendirian menyusuri pasir pantai dengan kaki telanjang. Sandalnya ditenteng di kedua tangan. Cuacanya jelas amat dingin, tapi ia tidak peduli.
Hafsa memandang jauh ke arah laut. Langit sudah mulai gelap. Meski begitu, suasana si sekitar pantai masih terlihat ramai, lantaran banyak pasangan muda mudi yang sedang asyik bermesraan di sana.
Hafsa dulu juga pernah mendambakan momen itu. Bergandengan mesra dengan Gus Sahil sambil bercerita banyak hal. Berjalan sepanjang garis pantai tanpa tujuan yang jelas, hanya ingin berduaan saja.
Tapi semua itu hanya mimpi. Kali ini ia pergi sendirian, mengharap sendirian.
Hafsa memilih duduk di atas pasir, membiarkan gamis putihnya kotor. Menghirup napas dalam-dalam. Membiarkan angin malam menerpa wajahnya.
Ya Allah, sampai kapan ia harus bertahan dalam pernikahan yang menyakitkan ini? Apakah cerai adalah satu-satunya solusi, meskipun perbuatan itu sangat dibenci oleh-Mu?
"Astaghfirullah," Hafsa buru-buru mengenyahkan pikiran jeleknya.
Jangan terlalu cepat mengambilnya keputusan Hafsa, Hafsa menenangkan dirinya sendiri. Percayalah kalau Allah tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya.
"Aku harus berjuang. Perjalananku masih panjang," Hafsa mengusap air matanya. Mengepalkan tangan kuat-kuat.