Reina, seorang siswi yang meninggal karena menjadi korban buly dari teman temannya.
Di ujung nafasnya dia berdoa, memohon kepada Tuhan untuk memberikan dia kesempatan kedua, agar dia bisa membalas dendam pada orang orang yang telah berbuat jahat padanya.
Siapa sangka ternyata keinginan itu terkabul,
dan pembalasan pun di mulai.
Tetapi ternyata, membalas dendam tidak membuatnya merasa puas.
Tidak membuat hatinya merasa damai.
Lalu apa yang sebenarnya diinginkan oleh hatinya?
Ikuti kisahnya dalam
PEMBALASAN DI KEHIDUPAN KEDUA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Matahari mulai bergeser ke arah barat, panasnya tak lagi terik menyengat punggung.
Jam pelajaran telah selesai beberapa saat yang lalu. Reina, dengan tenang, berjalan menuju mobil jemputan yang akan membawanya pulang.
“Selamat sore, Nona.” Sopir yang telah membuka pintu bagian tengah menunduk memberikan hormat. Reina membalasnya dengan tersenyum dan anggukan kepala.
“Kenapa tidak naik?” Reina mengalihkan pandangan pada Starla yang sepertinya telah berdiri di dekat mobil sejak tadi. “Kau tidak akan pulang bersama kami?" Reina bertanya santai.
Starla menggeleng, senyumnya tampak dibuat-buat. "Tidak, aku sudah mengatakan pada sopir kalau Aku masih ada tugas kelompok sama teman-teman," jawabnya.
Reina tersenyum miring, sebuah senyum yang penuh arti. "Oh, begitu. Baiklah," balas Reina, lalu masuk ke dalam mobil dengan tenang, bersikap seolah dia tidak tahu apa-apa. Ia tahu Starla sengaja membiarkannya pulang sendiri. Tak masalah baginya.
Mobil melaju pelan, melewati jalanan ibukota yang ramai Reina memperhatikan setiap orang yang lewat, kewaspadaan terpatri di matanya. Melirik ke arah spion. Di belakangnya dalam jarak aman, iya bisa melihat sebuah mobil hitam mengikuti. Ia tahu Itu adalah mobil yang ditumpangi oleh kelompok yang tadi dimaksud oleh Baim. Mereka pasti sedang menunggu momen yang tepat untuk melancarkan serangan.
“Kau yang memulai ini, Starla. Tapi aku yang akan mengakhirinya,” ucap Reina dalam hati. Di sudut bibirnya tersungging senyum seringai, matanya berkilat merah seakan siap membakar apapun yang ada di hadapannya.
Tiba di jalan yang sepi, mobil yang membawa Reina dipepet oleh dua motor yang dikendarai oleh dua orang berbadan tegap. Reina menoleh sekilas memperhatikan mereka. Namun, keduanya mengenakan masker membuat Reina tak bisa mengenali wajah mereka. Mereka mencoba menghentikan mobil dengan kasar.
“Akhirnya kalian datang juga.” Reina bergumam sambil tersenyum.
“Nona, kita dihadang!” Sopir panik, berusaha menghindari tabrakan. Namun, mobil hitam yang berada di belakang, dengan sengaja menabrak mobil Reina dari belakang. Mobil itu terhenti dengan keras.
“Biarkan mereka membawa saya.” Dengan tenang, Reina berkata kepada sopir,
“Tapi,,,?” Sopir merasa keberatan. Jika terjadi sesuatu pada Nona pertama, maka ia juga tidak akan selamat dari amukan Tuan Adiguna.
“Percayalah, Saya tidak akan apa-apa.” Reina mencoba meyakinkan Sopir itu. “Cepat pulang, dan katakan pada Papa tentang ini. Minta Papa mencari bantuan."
“Berhati-hatilah, Nona!” Sopir yang ketakutan, hanya mengangguk patuh.
Pintu tengah dibuka secara paksa oleh dua orang preman. Reina pun keluar, berpura-pura takut dan gemetar. Ia menurut ketika para preman itu memaksanya masuk ke dalam mobil. Mengikat tangan kedua tangan di belakang punggung dan menutup matanya dengan kain hitam. Senyum licik terukir di bibirnya. Sebuah rencana telah ia susun dengan cermat.
Mobil yang membawa Reina melaju kencang. Namun, di balik matanya yang tertutup, ia merasakan ada sebuah mobil sedang mengikuti mereka. BAIM. Reina tersenyum manis. Ia tahu Baim akan menjaga nya.
“Ya Tuhan. Tolong lindungi Nona Muda.” melihat Reina yang dipaksa masuk ke dalam mobil hitam, sopir merasa cemas. Secepat kilat ia membawa mobilnya menjauh. Ia hanya bisa berdoa. Selama beberapa bulan mereka berinteraksi, Nona pertama sangat baik pada dia dan keluarganya.
Mobil yang membawa Reina berhenti di depan sebuah gudang tua di pinggiran kota. Reina menurut saja ketika tiga orang preman itu mencekal tangannya yang diikat ke belakang dan membawanya masuk ke dalam gudang yang gelap dan lembap.
Sama sekali tak ada rasa takut yang terpancar dari raut wajahnya. Tubuhnya memang Reina, gadis remaja yang lemah lembut, tetapi jiwanya adalah prajurit Hera yang perkasa, seorang pejuang ulung yang telah melewati medan pertempuran DAN KEMATIAN yang jauh lebih mengerikan.
Di dalam gudang yang pengap, seorang pria berbadan tegap mengenakan topeng hitam telah menunggu dengan duduk bersandar di atas sebuah kursi besar dari kayu tua yang usang. Tiga orang preman yang membawa Reina melemparnya hingga jatuh berlutut di hadapan pria bertopeng itu.
Debu beterbangan, namun Reina tetap tegak, meskipun kedua tangannya terikat. Matanya yang tertutup rapat, menatap tajam dan menantang. Dagunya terangkat tinggi, seolah ia bisa melihat apa yang ada di hadapannya.
Pria bertopeng itu turun dari kursinya, langkahnya berat dan penuh ancaman. Ia mendekati Reina, mencengkeram rahang gadis itu dengan kekuatan yang membuat tulang rahang Reina berderak. Reina tetap diam, matanya tetap tertuju ke depan, tak sedikitpun menunjukkan rasa takut. Pria itu tidak suka melihat wajah Reina yang terlihat tidak gentar.
“Berani sekali kau menatapku seperti itu!” geram pria itu, suaranya berat dan serak, terdistorsi oleh topeng yang menutupi wajahnya. Jari-jarinya menekan rahang Reina lebih kuat
Cuih…
Reina dengan sekali gerak berhasil melepaskan wajahnya dari cengkeraman pria bertopeng.
“KURANG AJAR!!!” Dengan muka merah padam, pria bertopeng membersihkan ludah Reina yang mendarat tepat di hidungnya dengan punggung tangan.
Namun, sesaat kemudian pria itu tertawa, suara tawa yang dingin dan mencekam menggema di gudang yang pengap. Ia kemudian menarik kursi kayu di depannya. Ia duduk, menatap Reina dari atas ke bawah.
"Aku suka keberanianmu, gadis kecil. Sepertinya aku akan mendapatkan sesuatu yang berbeda dari biasanya. Gerakanmu di atas ranjang pasti juga lincah.” Ia menunjuk salah satu premannya. "Lepaskan ikatannya."
Preman itu segera melepaskan ikatan di tangan Reina.
“Kuharap kalian tidak akan menyesal telah melepaskan ikatanku.” Reina menggosok-gosok pergelangan tangannya yang terasa kebas. Membuka sendiri ikatan di matanya, memandang pria bertopeng itu dengan tatapan yang masih tetap tegas.
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Reina, suaranya dingin menusuk.
Pria bertopeng itu tertawa lagi. "Siapa yang menyuruhku tidak penting. Yang penting adalah kita akan bermain sampai puas.”
“Aku justru khawatir kau yang tidak akan mampu untuk memuaskan ku!” Reina menatap sinis, sorot matanya penuh ejekan.
Pria bertopeng mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras, akibat gigi-gigi gerahamnya yang saling beradu. Wajah dibalik topengnya mungkin sudah merah padam. “Setan jalang. Kau terlalu meremehkanku.” Sebelah tangannya memberikan isyarat pada beberapa orang untuk mendekat. “seret rubah kecil ini ke atas ranjang!” perintahnya tegas.
Reina membiarkan saja ketika tiga orang menarik tangannya. Belum saatnya Ia melakukan perlawanan.
“Aku akan memberikannya pada kalian setelah aku kenyang.”
Ucapan pria bertopeng disambut sorak sorai oleh tiga orang yang dan puluhan orang yang berdiri di sekeliling ruangan.
Reina masih tetap diam ketika tubuhnya dilempar ke atas ranjang, hanya matanya yang memindai sekeliling memperhatikan kamera-kamera yang berdiri terpancang dengan tiang penyangga di beberapa sudut.
“Tepat sesuai dugaanku,” gumamnya.
Pria bertopeng menggosok-gosokkan tangannya lalu mendekat. Dengan lututnya ia berjalan mendekati Reina. Kedua matanya menatap lapar ke arah rok Reina yang sedikit tersingkap. Reina bahkan sengaja tak membetulkannya.
“Tampaknya Kau sudah siap, Manis?”
Namun ketika tangannya baru saja hendak terulur untuk menyentuh sesuatu yang membuatnya tergiur….
Dug… dash…
“Aaarghh…!!”
siapa mereka torrr
syarat... /Drowsy//Drowsy//Drowsy/