"Ayah bukanlah ayah kandungmu, Shakila," ucap Zayyan sendu dan mata berkaca-kaca.
Bagai petir di siang bolong, Shakila tidak percaya dengan yang diucapkan oleh laki-laki yang membesarkan dan mendidiknya selama ini.
"Ibumu di talak di malam pertama setelah ayahmu menidurinya," lanjut Zayyan yang kini tidak bisa menahan air matanya. Dia ingat bagaimana hancurnya Almahira sampai berniat bunuh diri.
Karena membutuhkan ayah kandungnya untuk menjadi wali nikah, Shakila pun mencari Arya Wirawardana. Namun, bagaimana jika posisi dirinya sudah ditempati oleh orang lain yang mengaku sebagai putri kandung satu-satunya dari keluarga Wirawardana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Bertemu Lagi
Miranda mencari keberadaan Shakila. Dia tahu kalau gadis itu berada di kota ini. Terlebih lagi tempat yang diperkirakan tidak jauh dari gedung perkantoran perusahaan AW GRUP. Meski Mario sudah menyuruh orang untuk mencari keberadaan Shakila, dia juga ikut mencari. Karena lebih banyak orang yang mencari itu lebih baik.
Mobil yang dikendarai oleh Miranda melaju pelan. Pandangan wanita paruh baya itu terus mengedar ke sisi kiri dan kanan. Terlalu fokus dalam melakukan pencarian Shakila, dia sampai tidak sadar sedang dibuntuti oleh seorang pengendara motor yang berpenampilan seperti tukang ojek.
"Sepertinya pihak Silvia belum menyadari keberadaan Shakila," batin Miranda.
Hal ini dikarenakan Silvia masih terlihat santai keluar masuk kantor perusahaan. Tidak terlihat sedikit pun ada rasa gugup atau ketakutan. Perempuan itu masih terlihat sombong seperti biasanya.
Mobil Miranda terjebak macet karena ada sebuah kecelakaan, sebuah truk yang memuat kayu terguling dan muatannya berjatuhan di jalan raya. Wanita paruh baya itu terlihat marah-marah karena waktunya terbuang percuma.
Ketika Miranda memerhatikan jalan, tanpa sengaja matanya menangkap sosok perempuan yang mirip Almahira yang naik ojek melintas berlawanan arah. Dia hendak turun, tetapi baru saja membuka pintu mobil seorang polisi menyuruhnya untuk segera maju karena jalanan sudah bisa dilalui walau harus pelan-pelan.
"Pergi ke mana dia?" Miranda mencari jalan agar bisa putar balik. Sayangnya jalan yang dia lalui adalah jalan satu arah.
Sementara Shakila sedang pergi menuju ke rumah pelanggan yang akan memesan kain batik. Orang itu memintanya untuk datang ke rumah karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan melakukan perjalanan.
Begitu datang ke tempat tujuan Shakila terkejut karena rumah itu adalah bekas kediaman keluarga Arya. Rumah yang dahulu dia datangi bersama Zayyan.
Satpam yang berjaga juga masih mengenali Shakila. Gadis itu rupanya sudah ditunggu oleh pemilik rumah. Seorang kakek-kakek duduk di sebuah kursi roda melambaikan tangan menyuruhnya untuk mendekat.
"Kamu Shakila, pemilik toko batik ZASA?" tanya laki-laki tua itu dengan ramah. "Saya, Kakek Rama yang menelepon tadi.
"Oh, iya, Kek. Kenalkan saya Shakila," jawab Shakila tersenyum manis. "Saya bawa semua jenis kain dan corak batik yang ingin diminta oleh Kakek, tadi."
"Sebaiknya kita bicara di gazebo belakang rumah. Di sana tempatnya sejuk," ajak Kakek Rama.
Gazebo itu berada di atas kolam ikan yang terhubung oleh jembatan kecil yang bentuknya melengkung. Di pinggir-pinggir kolam banyak di tumbuhi pohon-pohon. Udara di sana sangat sejuk dan membuat betah untuk duduk di sana menikmati waktu luang.
Kakek Rama diam-diam memerhatikan wajah Shakila. Tentu saja gadis itu menyadarinya, tetapi tidak mempermasalahkan.
Sambil memilih-milih corak yang dirasa cocok untuk acara pernikahan salah seorang pejabat negara yang masih keturunan bangsawan, Kakek Rama banyak bercerita kepada Shakila akan masa mudanya, dahulu.
"Kakek hanya punya anak satu dan cucu juga satu. Selagi masih hidup inginnya bisa melihat pernikahan cucu kakek itu. Tapi, dia itu selalu saja menolak jika dijodohkan. Entah perempuan yang seperti apa yang dia cari," kata Kakek Rama.
Shakila merasa kasihan kepada Kakek Rama yang terlihat kesepian karena anak dan cucunya sibuk bekerja. Keadaan rumah juga sangat sepi, walau ada satpam dan dua orang pengurus rumah.
"Aku doakan semoga cucu Kakek segera mendapatkan jodoh dan Kakek bisa melihat langsung penikahannya," ucap Shakila tersenyum tipis.
"Kamu mau enggak menikah sama cucu kakek?"
Shakila tersedak udara. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya seketika menghilang.
"Wajah kamu mengingatkan kakek kepada seseorang," lanjut Kakek Rama sambil menengadah melihat langit-langit yang terbuat dari kayu.
Shakila terdiam, semakin tidak ingin menjadi cucu menantu Kakek Rama. Setidaknya dia ingin menikah dengan laki-laki pilihannya sendiri. Dia sudah punya kriteria orang yang ingin dijadikan suami.
"Maaf, Kek. Tapi, untuk urusan pernikahan kita tidak boleh sembarangan. Karena pernikahan bukanlah hal yang bisa dijadikan permainan. Ada tanggung jawab besar dalam menjalin hubungan yang diikat oleh janji dengan Allah," balas Shakila dengan nada pelan. Dia takut menyinggung perasaan laki-laki tua itu.
Kakek Rama malah tersenyum. Semakin besar keinginan dia menjadikan Shakila sebagai cucu menantunya. Namun, dia tidak bisa memaksa gadis itu.
Kain batik yang dipilih oleh Kakek Rama bercorak Sidomukti. Dia memesan kain batik sebanyak sepuluh meter dan memintanya dikirim ke butik salah seorang desainer kenalannya.
"Terima kasih Kakek. Aku akan kirim kain batiknya ke butik langganan Kakek, hari ini juga," kata Shakila dengan ramah.
"Kakek!" Terdengar suara teriakan seseorang dari arah teras belakang.
Shakila membantu mendorong kursi roda Kakek Rama. Begitu sudah dekat, dia terkejut melihat ada Lingga dan Kenzo.
"Kamu!" Lingga dan Shakila terkejut. Keduanya beradu pandang.
Kenzo dan Kakek Rama saling main mata tanda diketahui oleh Shakila dan Lingga. Rupanya laki-laki tua itu sengaja mengundang sang gadis ke rumahnya dengan alasan ingin membeli kain batik. Karena misi sebenarnya ingin melihat perempuan yang pernah dicium oleh sang cucu atas laporan orang kepercayaannya.
"Wah, bener, kan! Kayaknya kalian ini memang berjodoh. Bisa-bisanya sekarang bertemu di rumah," ucap Kenzo dengan nada jahil.
"Memangnya mereka sudah saling kenal?" tanya Kakek Rama pura-pura tidak tahu.
Terlihat Lingga akan membuka mulut untuk berbicara, Kenzo buru-buru berkata, "Iya, Kek! Mereka sudah sering bertemu walau tanpa disengaja. Ini sudah seperti takdir mereka berdua, kan, Kek?"
"Iya, betul! Itulah jodoh. Kalau tidak ada campur tangan takdir dari Tuhan, pastinya tidak akan pernah bertemu," balas Kakek Rama tertawa terkekeh, begitu juga dengan Kenzo.
"Kalian ini bicara apa, sih! Jodoh, takdir, Tuhan." Lingga menggerutu.
"Memangnya kamu tidak merasa tertarik kepada Shakila yang cantik dan pintar ini?" Kakek Rama tidak hentinya menggoda sang cucu.
Muka Shakila merah merona karena dipuji oleh Kakek Rama. Namun, dia tidak suka kepada Lingga yang menurutnya laki-laki breng*sek.
"Sudahlah! Aku pulang ke rumah karena Kakek," ucap Lingga. "Kenapa Kakek menyuruh aku pulang?"
"Oh, yang ingin kakek kasih tahu itu tentang Arya Wirawardana," balas Kakek Rama.
Mendengar nama papanya disebut, tentu saja Shakila menjadi penasaran. Terlebih lagi pencarian Arya Wirawardana mengalami kebuntuan.
"Ada informasi apa tentang Om Arya?" tanya Lingga.
"Orang-orang kita menemukan mobil milik Arya dalam keadaan hangus, bekas terbakar. Letak mobil itu berada di jurang yang ada di bawah jalan tikungan maut yang menuju puncak," jawab Kakek Rama.
"Apa? Jurang!" pekik Lingga dan Shakila bersamaan.
"Fiks, kalian memang berjodoh!" Kakek Rama terkekeh.
"Kakek, aku sedang tidak ingin bercanda. Apa benar itu mobil milik Om Arya?" tanya Lingga yang penasaran.
***