"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LIMA Flashback
AKU memandangnya pedih. Tangis kini kutahan dan berefek pada tenggorokan ini, rasanya benar-benar sakit seperti terasa tercekat dan kering. Terasa menelan dengan susah payah. Rasa sakit dan kesedihan yang kutahan sedari tadi itu, saat ini menyatu di tenggorokan. Mataku memutar, agar buliran bodoh ini tidak keluar dan menetes di pipi. "Jadi, kamu tidak bisa menemaniku menjaga... "
Suaraku tetiba menghilang saat seketika aku menunduk memandang dan menyentuh perutku yang masih datar, seperti tak sanggup meneruskan asumsi kesimpulan bodoh itu. Airmata tak bisa di tahan lagi. Ia mendesah, lalu berbalik memandang yang sedari tadi memunggiku.
"Nesya, bukan seperti itu! Sudah kukatakan, kan tadi, meski orangtuaku begitu menyayangimu dan merestui hubungan kita, tapi bukan berarti itu bisa terjadi. Aku tidak bisa karena kamu tahu betul, ayah belum bisa mengizinkan aku menikah saat kuliah kita belum selesai,"
"Tapi, Daniel—"
"Tapi apa lagi? Aku juga tidak tahu tentang janin yang tengah kamu kandung itu! Setelah mereka menodai kehormatanmu di hadapanku dan membiarkan benih itu berada dalam perutmu, lalu dengan mudahnya kamu memintaku untuk menjaga—"
"Oh, aku mengerti," simpulku pahit menyela ucapan lelaki di hadapanku ini yang tengah gusar sembari menunduk yang lagi-lagi menahan tangis dan perih.
Ya, aku tahu arah pembicaraan ini. Dia tak mau menjaga anak yang bukan dari darahnya sendiri. Mungkin, rasa sakit ia rasakan saat melihat kandunganku ini.
"Nesya?" dia memandang frustasi dan sedih. Tatapan menyesal dan bersalah Daniel kini menatapku.
"Aku bisa menjaganya sendiri, Daniel, aku bisa! Tapi, aku tidak tahu, apa hatiku ini bisa tanpamu," lirihku perih memandang Daniel saat ia cemas dan gusar.
"Nesya, kita bisa melanjutkan hubungan kita bila kamu—"
"Sedikit pun, hati dan pikiranku tidak sekotor itu untuk membunuhnya," timpalku memotong ucapannya yang seketika membuat amarah ini membuncah.
Aku lalu berlalu meninggalkan wajah sedih, bimbang, dan frustasi yang berkali-kali memanggil namaku. Yeah, aku pergi. Bukan kerana aku membencinya, dan juga bukan sudah tidak mencintainya, tetapi aku pergi, untuk menjaga titipan tak berdosa ini. Rasa perih dan sakit yang semakin bergemuruh di benakku, telah menemani sepanjang langkah, bersamaan dengan bayang-bayang kelam, saat pemabuk pinggiran jalan merenggut kehormatan yang kujaga saat ini. Dalam ketidak berdayaanku, dalam ketidak berdayaan Daniel yang terkapar tidak sadarkan diri saat mereka memukulinya beberapa pekan lalu.
Aku mendesah panjang. Airmata telah menetes berulang kali, dan kali ini mengusapnya. Rasa perih menjalar di tubuhku, saat aku mengingat kejadian terakhir itu. Benar, Daniel kekasihku. Namun, kerana ia tak ingin membesarkan anak yang ada dalam kandunganku dan lebih memilih melenyapkan janin yang tak berdosa itu, hubungan kita harus berakhir. Aku hamil atas perlakuan dari pemabuk yang tengah berada nongkrong di pinggir jalan saat aku pulang dari kampus, saat kami telah selesai kuliah malam. Saat itu, Daniel yang seperti biasa mengantarku pulang, ironisnya kami dihadang oleh pemabuk itu yang membuat aku dan dirinya benar-benar tak berdaya dan hancur seketika dalam semalam.
Setelah pertemuan terakhir kami, aku bertemu dengan Firhan. Ia sahabat lama yang begitu peka dan memaksa untuk menceritakan semuanya. Yang membuatku terkejut tak menyangka, bahkan menangis adalah, di saat semua bahkan orang yang kucintai tak mau menemani menghadapi hari-hari kehancuran—menjalani hidup baru yang begitu kelam, ia dengan penuh kasihnya tanpa ragu memapah dan merengkuh diri dan hidupku untuk masuk ke dalam bagian dari hidupnya, bahkan jiwanya. Benar, Firhan bersedia menikahiku. Kau tahu rasanya seperti apa? Rasanya seperti mendekap ribuan mawar yang durinya menusuk. Mengapa? Kerana, dunia ini, diri ini akan terselamatkan dan tentunya ia berusaha membuat diri ini berbahagia. Namun di sisi lain, itu sama saja menghancurkan sahabatku sendiri. Sama halnya ketika aku memegangnya erat, lalu terjun ke dasar yang penuh dengan lautan api dan pecahan kaca, memaksanya mengikutiku. Mirisnya lagi, secara bersamaan, aku merasakan ia ibarat malaikat yang tengah menjadi tali untukku, di saat tengah terjatuh di jurang yang sangat dalam. Meski, aku baru belajar mencintainya dan ia tahu itu, tapi entah mengapa, hati ini jadi tenang dan bahagia ketika ia bersamaku, berada di dekatnya. Terlebih, saat shalat dan mengaji bersama. Aku telah berjanji pada diri ini. Akan kulakukan untuknya, untuk membuat ia bahagia.
Embusan lembut menerpa telingaku yang seketika menggeliat dan tersentak dari lamunan. Langit tampak gelap, sangat kelam.
Tapi angin dari mana? Celah kamarku tidak—
Lagi-lagi membuatku menggeliat saat embusan di telinga yang satu lagi kurasakan dan membuatku berbalik ke belakang dengan penasaran. Terkejut.
Sejak kapan ia ada di sini? Batinku sembari menatapnya tajam, namun senyuman ini lagi-lagi tak bisa kutahan, saat melihat wajah berantakannya. Ia terkekeh.
"Assalamu'alaikum, Sayang. " Lirih Firhan menatap lalu mengaitkan kedua tangan di leherku. Senyuman kini berhasil dibuatnya merekah.
Dasar Cowok manja! Umpatku berseri.
"Wa'alaikum salaam. Malam."
Senyumnya melebar. "Malam juga." Ringannya lalu mengecup cepat pipiku yang membuat aku terkejut, tapi masih tersenyum.
Selalu saja, membuat terpesona! Kejutan kecil, namun membuat diri ini meleleh. Tapi, tunggu, Sepertinya …. Apa itu? Airmatakah? Apa dia sudah menangis? Tapi apa? Apa yang membuatnya?
Seketika, rasa sedih menjalar di seluruh syaraf dan benakku. "Ada apa?" tanyanya menyela pikiranku.
Tuhan, masih saja dia sok tegar di hadapanku.
"Sayang? " erangnya manja dan frustasi yang kini berbalik. Tangannya kini menyusup di sela-sela rambut dan meremas rambutnya.
"Apa yang membuatmu sedih?" tanyaku tanpa bisa mnahan lagi rasa penasaran sekaligus perih ini.
Ia seperti terkejut dan tak menyangka dengan pertanyaanku ini. Kedua tangan putih panjang yang tengah terulur mengait sedari tadi di leherku, kini terlepas dan berubah memunggungi saat ini.
Ada apa dengan dia?
Aku mendesah perlahan. Ada sesuatu tak beres sepertinya!
"Apa, Sayang?" aku mencoba lagi sembari mendesak penuh selidik, setelah berpindah di hadapan Firhan dan menggenggam wajahnya memaksa untuk memandangku.
"Tidak ada. "
Lagi-lagi aku mendesah. Aku tahu, ia berbohong dan menyembunyikan sesuatu. Ia tak pernah berubah. Firhan yang kukenal sudah lama, ia masih sahabat yang menjaga perasaan seseorang. Bahkan, tidak ingin membuat aku ikut terseret dari masalah yang sekarang ia hadapi atau pun membuat sedih.
Kuangkat tanganku dan menyeka sisa airmata yang ada di sudut matanya. Rasanya sedih menatap mata kelam itu.
"Lalu?" tuntutku mendesak dan selidik saat memperlihatkan bukti tetesan airmata di ujung jari telunjuk.
Aku menatapnya penuh harap dan cemas saat ia masih terdiam, seperti tengah memikirkan sesuatu, lalu mendesah.
"Itu hanya … hanya … Tunggu, Mengapa tak menyambut tadi saat aku tiba?" Kikuknya berdalih.
Hei, mengapa tiba-tiba di alihkan seperti ini?
Tanpa sengaja dengusan kesal terdengar.
Oke, mungkin bukan sekarang, Batinku bergulat dengan pikiran yang tak setuju, namun berusaha tekan keras.
Aku mendesah. Lalu, menyentuh wajahnya, menggenggam dan memperbaiki sebentar helai rambut yang jatuh di sekitar keningnya. Kubiarkan senyum nampak dan membuat hati ini seketika berubah menghangat.
"Meski aku tak tahu itu apa, tapi setidaknya, aku tahu kesedihan dan luka itu, Firhan. Apa pun itu, kuharap tak membuatmu berlama-lama dalam lukamu dan secepatnya selesai." Desahku lirih yang masih menatap lelaki ini begitu dalam.
Mata kelamnya berubah menjadi hangat. Hati kini tersenyum senang, terlebih melihat senyum lebarnya itu.
Oh, indah sekali, Tuhan!
"Terima kasih. " Bisik Firhan dengan raut wajah yang begitu berseri.
Yang membuatku terkejut senang adalah, ia tiba-tiba menarikku dalam pelukannya. "Omong-omong, maaf, aku tak menyambutmu tadi," timpalku menyela saat mengingat protesnya tadi setelah melepas dekapan.
"Tidak apa-apa." Ringannya lalu mengecup kepala dan menarik diri ini lagi untuk memeluk.
Yaa Allah, rasanya pipiku memanas.
"Fir, baumu seperti asam!" alihku sembari mendorong pelan lelaki di hadapanku ini yang raut wajahnya seketika berubah dengan kening berkerut dan menatap tajam, namun hanya kekehan yang terdengar dari mulutku hingga membuatnya tak bisa menyembunyikan senyuman manis lebar itu dan raut wajah begitu berseri.
"Baiklah, Nyonya, Fir, siapkan aku makanan, sementara aku ingin mandi dulu."
"Oke." Ringanku antusias sembari mengerling padanya dan senyuman hangat itu tampak, namun kedua mata itu terlihat melebar terkejut. Tidak, lebih tepatnya, seperti terpesona. Diam-diam kukulum senyumku.
Dengan cepat, mnegecup pipi putihnya lalu berlari sembari terkekeh bak kanak-kanak meninggalkan yang tengah berdiri mematung dengan tampang takjub. Entahlah, senyuman dan suaranya menular dan mampu menghilangkan kesedihan yang kadang menderaku. Dengan penuh senyuman dan perasaan bahagia, entah mengapa tiba-tiba saja mengalir di setiap syaraf dan darah. Aku lalu menyiapkan makanan untuk makan malam kami dengan begitu bersemangat.
Entah apa yang Tuhan rencanakan, tapi sangat bersyukur mendapatkan lelaki seperti Firhan. Sahabat, sekaligus kekasih yang benar-benar membuatku merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini. Konyol dan bodohnya, bahkan tak menyadari cinta lebih untukku yang ada dalam hati lelaki penyayang dan lembut itu selama kami bersahabat. Memang, ia tak pernah mengatakan sesungguhnya, namun hatiku merasa yakin, jauh sebelum ini yang bahkan empat tahun sebelum aku pacaran pada Daniel, ia memang mencintaiku.
Lagi-lagi membuatku terkekeh, menertawakan diriku yang konyol ini yang penuh rasa percaya diri yang berlebihan.
...* * * *...