Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sialan, Rumahnya Banyak Setan
Tembakan tadi masih bergema di kepala Maya. Asap dari peluru menyebar, dan aroma besi hangus menggantikan bau busuk yang sempat mendominasi rumah itu. Sosok wanita bertrench coat merah itu menurunkan senjatanya dengan santai, seolah baru saja menembak seekor tikus di dapur.
Aditya masih memeluk Maya, sementara mata mereka terpaku pada si tamu misterius.
“Siapa... siapa kamu?” tanya Aditya dengan suara pelan, setengah takut.
Wanita itu mengangkat alis. “Yang jelas bukan sales vacuum cleaner.”
Ia berjalan masuk begitu saja, langkahnya ringan tapi penuh percaya diri. Mata tajamnya menyisir ruangan. Setiap detik terasa seperti adegan dalam film thriller murahan... kalau filmnya digarap oleh orang kerasukan dan nulis naskahnya sambil kesurupan.
“Nama gue Rengganis. Tapi lo boleh panggil gue Larang. Atau... panggil ambulan kalau masih pengen sok nanya-nanya padahal udah hampir disembelih makhluk gaib.”
Aditya dan Maya masih terpaku. Rengganis mengangkat tangan.
“Udah, santai. Gue di sini bukan mau nyulik ginjal lo atau nyari endorse,” katanya dengan gaya seenaknya, lalu melemparkan sesuatu dari sakunya.
Benda itu mendarat di lantai. Sebuah jimat kain berbentuk segitiga dengan aksara kuno di tengahnya.
Seketika, udara di rumah itu berubah. Suara-suara aneh yang mengelilingi lorong meredam perlahan. Detik jam terdengar normal. Aroma darah pun lenyap, digantikan oleh wangi menyan halus.
Maya menelan ludah. “Kamu... dukun?”
Rengganis mendesah panjang. “Astaga, istilah orang awam tuh ya... dukun. Mending gue dibilang montir siluman deh.”
Dia melangkah menuju ruang tengah, menendang tubuh siluman yang tadi hancur menjadi abu. “Ini bukan cuma gangguan. Rumah lo udah kayak halte kereta api dari neraka. Tiap malam ada yang turun. Dan lo berdua diem aja, nunggu sampai ada yang masuk kulkas kali?”
Aditya memaksakan senyum. “Kami kira... ini hanya gangguan biasa... rumah tua, kebetulan dekat hutan, mungkin—”
“Bro, lo tinggal di Lembang. Ini bukan hutan. Ini real estate,” potong Rengganis. “Tapi ya... kadang real estate pun dibangun di atas tanah yang penuh janji.”
Maya mengerutkan alis. “Janji?”
Rengganis menoleh. Matanya menyipit. “Lo gak pernah tanya tanah ini dulu apa? Tanah kosong? Pabrik tua? Kuburan massal? Atau... tempat ritual?”
Aditya menggeleng pelan. “Kami beli dari developer... gak pernah kepikiran.”
“Ya itu masalahnya. Orang-orang zaman sekarang mikir rumah cuma soal sertifikat. Gak pernah mikir energi. Aura. Riwayat darah. Dan sekarang... yang dulu dikubur bangkit minta perhatian.”
Tiba-tiba, dari arah tangga, terdengar langkah kaki kecil.
“Kenan!” seru Maya, reflek berlari ke arah tangga.
Rengganis bergerak lebih cepat, menghadang di tengah jalan. “Tunggu. Lo yakin itu anak lo?”
Maya terdiam. Wajahnya pucat.
“Dengar. Kalau itu beneran Kenan, dia nggak bakal turun pas tahu rumahnya penuh hantu. Tapi kalau itu... tiruannya lagi, lo bakal habis sebelum sempat peluk.”
Rengganis mengangkat tangan dan melempar sebutir batu ke arah tangga.
“Batu apa itu?” tanya Aditya.
“Batu pertanyaan,” jawabnya malas.
Begitu batu itu menyentuh lantai tangga, terdengar suara mendesis—dan sosok anak kecil yang terlihat seperti Kenan muncul dari balik dinding... lalu langsung terbakar menjadi asap hitam. Menyisakan aroma daging gosong.
Maya menjerit lagi.
“Tenang,” gumam Rengganis. “Kalau nyawanya udah hilang duluan, gak usah disuruh tenang juga gak bakal reinkarnasi jadi kucing.”
Dia kembali menatap Aditya. “Gue perlu lihat kamar anak lo. Dan lo—” katanya pada Maya, “—mandi. Lo kena energi mati. Bau bangkai nempel di badan lo kayak parfum murahan.”
Maya masih ingin protes, tapi Rengganis sudah naik tangga tanpa menunggu.
---
Kamar Kenan terlihat normal. Tapi hanya di permukaan. Rengganis melangkah pelan, jarinya menyentuh dinding, menarik garis tak kasatmata di udara.
"Ini bukan cuma gangguan siluman. Ada celah dimensi yang kebuka di sini. Tipis. Tapi cukup buat dilewatin makhluk dari sisi gelap."
Kenan duduk di pojokan, memeluk lutut. Matanya ketakutan.
Rengganis mendekat. “Nama lo Kenan, kan?”
Bocah itu mengangguk cepat.
Dia berlutut, menatap lurus ke arah anak itu. “Denger, kamu bakal baik-baik aja. Tapi jawab satu pertanyaan. Kamu pernah diajak ngobrol sama... ‘seseorang yang nggak kelihatan’? Mungkin dia bilang teman, atau ngajak main?”
Kenan ragu-ragu, lalu mengangguk pelan.
“Apa yang dia minta?”
Kenan bergumam lirih. “Dia bilang... aku cuma harus buka jendela. Setiap malam.”
“Dan kamu buka?”
“Iya... karena dia janji bisa balikin Ayah dan Ibu ke waktu dulu... sebelum mereka sering marah.”
Rengganis terdiam sejenak. Pandangannya menjadi dingin.
“Siluman ini licik,” gumamnya. “Pake trauma anak buat buka portal.”
Dia berdiri, membuka tas pinggangnya, mengeluarkan lilin hitam, cermin kecil, dan sebuah keris kecil.
“Sekarang kita tutup gerbangnya.”
---
Ritual berlangsung cepat. Gerakan tangan Rengganis begitu terlatih, bacaan doanya meluncur dari bibir seperti desahan angin malam di gunung. Di ujung ritual, api lilin membiru, dan cermin di tangan Rengganis bergetar hebat.
Lalu—pecah.
“Celah udah tertutup. Tapi... ini bukan akhir. Ini awal.”
Dia bangkit, menatap keluar jendela. “Gue mau lihat halaman belakang.”
---
Halaman belakang rumah itu rapi. Terlalu rapi. Pohon palem simetris. Rumput halus. Tapi di salah satu sudut—ada tanah yang terlihat baru digali.
Rengganis mendekat.
“Pernah ada sumur di sini?” tanyanya.
Aditya yang mengikuti dari belakang mengangguk. “Iya... tapi kata developer, sumur lama. Ditutup karena udah kering.”
Rengganis menarik napas panjang. “Itu bukan sumur. Itu portal. Tempat ini... pernah dijadiin titik pemanggilan. Ritual besar. Dan mereka... gagal nutupnya.”
Ia membuka mantelnya, mengeluarkan benda seperti botol kaca berisi cairan hitam pekat.
Tanpa peringatan, dia tuangkan ke tanah.
Begitu cairan menyentuh tanah, terdengar suara—bukan dari dunia ini. Jeritan. Rintihan. Suara seperti bayi, wanita, dan binatang liar bercampur jadi satu.
“Lo pikir ini rumah biasa, bro?” katanya pelan ke Aditya. “Lo tinggal di bekas altar darah. Dan lo buka pintunya tiap malam.”
Aditya terduduk. “Kami gak tahu... kami cuma pengen hidup tenang.”
Rengganis menatapnya. Matanya melembut... sedikit.
“Tenang itu hak semua orang. Tapi kalau lo hidup di tanah yang belum diberesin utangnya, ya siap-siap diganggu penagih dari dunia sebelah.”
Dia berdiri. “Besok, gue panggil tim. Kita bersih total rumah ini. Tapi sekarang—”
Suara derit pintu tiba-tiba terdengar dari dalam rumah.
Rengganis reflek mengangkat senjatanya.
“Siap-siap. Kita belum selesai.”
---
Saat mereka masuk kembali, seluruh lampu rumah kembali menyala—dengan cahaya merah.
Dari langit-langit, darah mulai menetes.
Di dinding, bayangan-bayangan bergerak sendiri.
Dan dari tangga... muncul sosok tubuh-tubuh kecil.
Anak-anak.
Puluhan.
Berpakaian seperti dari era 70-an. Seragam sekolah. Baju tidur. Kaos sobek.
Wajah mereka... tidak manusiawi.
Mata hitam kosong. Mulut sobek. Beberapa tanpa rahang. Beberapa tanpa kulit.
Dan mereka semua tertawa.
“Ternyata ulang tahun beneran,” gumam Rengganis, memasang peluru ke senjatanya. “Dan gue nggak bawa kado. Tapi gue bawa ledakan.”
Aditya dan Maya mundur, menutup Kenan di belakang mereka.
Rengganis berdiri paling depan.
“Lo semua,” katanya sambil menatap makhluk-makhluk kecil itu, “harusnya udah tidur. Sekarang... gue kasih dongeng penutup.”
Dia menembak.
Satu... dua... tiga makhluk meledak jadi abu.
Sisanya menerjang, merangkak di dinding, melompat dari langit-langit.
Rengganis menyarungkan senapan, menghunus keris.
Begitu keris keluar dari sarungnya, cahaya merah menyala, dan simbol kuno di udara muncul. Makhluk yang mendekat langsung terbakar.
Tapi jumlah mereka terlalu banyak.
Rengganis tersenyum tipis. “Oke. Kalian maksa.”
Dari kantung sabuknya, ia mengeluarkan jimat terakhir—kertas kuning beraksara Arab kuno, lalu menempelkannya ke lantai.
“Al-‘Aduwwu yashraqu bi an-nur,” bisiknya.
Lantai rumah bergetar.
Dan dari bawah tanah... suara gaib menjawab.
Dalam satu ledakan cahaya, semua makhluk meledak menjadi abu—seluruh ruangan jadi hening.
Napas Maya tercekat. Aditya terduduk. Kenan menggigil dalam pelukan ibunya.
Dan Rengganis berdiri di tengah abu.
Penuh luka. Tapi berdiri.
“Gue udah bilang,” katanya datar. “Pestanya dibubarin.”