Novel Ketiga
Berdasarkan survei, sedia tisu sebelum membaca😌
--------
Mencintai, lalu melepaskan. Terkadang cinta itu menyakiti, namun membawa kebahagiaan lain di satu sisi. Takdir membawa Diandra Selena melalui semuanya. Merelakan, kemudian meninggalkan.
Namun, senyum menyakitkan selalu berusaha disembunyikan ketika gadis kecil yang menjadi kekuatannya bertahan bertanya," Mama ... apa papa mencintaiku?"
"Tentu saja, tapi papa sudah bahagia."
Diandra terpaksa membawa kedua anaknya demi kebahagiaan lainnya, memisahkan mereka dari sosok papa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka.
Ketika keegoisan dan ego ikut andil di dalamnya, melibatkan kedua makhluk kecil tak berdosa. Mampukah takdir memilih kembali dan menyatukan apa yang telah terpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback : Menderita Sendirian
..."Cinta mungkin akan memberikan luka. Tapi, luka akan membuatmu lebih dewasa."...
...•...
...•...
Dian duduk bersandar pada kepala ranjang dengan tangan memelut lutut. Ia termenung memandang kesunyian malam yang terlihat kelam di luar jendela. Nampaknya alam ikut merasakan suasana keadaan dirinya.
Dian beranjak dari duduknya. Ia merapatkan selimutnya yang membalut dirinya yang telanjang, lalu berjalan menghadap dinding kaca yang menampakkan kegelapan malam. Setitik butiran kristal mengalir dari sudut matanya.
Malam ini terjadi lagi. Untuk kedua kalinya ia kembali memberikan tubuhnya pada lelaki yang masa depannya bukan untuknya. Sudah hampir tiga bulan malam itu terjadi dan sekarang kembali terjadi.
Ia menoleh, menatap pria yang terlelap di atas ranjang. Begitu tenang dalam tidurnya. Wajahnya begitu menggoda kaum wanita, siapa yang bisa menolaknya? Dan ia hanya gadis beruntung yang kebetulan menjadi istrinya.
Meski pernikahan ini tidak diinginkan, kau tetap memperlakukanku dengan baik. Kau menepati janjimu untuk membiarkanku menjadi istrimu sampai kekasihmu kembali. Terima kasih dan aku menghargainya.
Malam ini, Nico kembali dalam keadaan mabuk. Entah apa yang terjadi padanya diluar sana hari ini, namun ia terus menyebut nama Melly dalam racauan nya. Begitu cintanya kah Nico pada wanita itu?
Dian hanya mampu menerima itu. Mereka sudah sepakat dan ia bukan gadis yang akan menjilat ludahnya sendiri. Sakit memang, dimana kau menerima kenyataan bahwa kau sudah mencintai pria itu.
Ia mencoba mengabaikannya, lalu kembali menatap keluar sana. Menatap langit, Dian berdoa pada Tuhan.
Tuhan, biarkan aku terus mencoba tersenyum dalam sebuah kesakitan. Langit tidak selamanya cerah, kadang hujanpun bisa membawa bencana dan perasaan juga sering kali bisa terluka. Aku menerima sebuah takdir yang kau tulis untukku, cukup beri aku kekuatan. Maka, aku akan menerima bahagiaku di kemudian hari.
Kenyataan memang tak selalu beriringan dengan harapan tapi bukan berarti kita harus dilanda keputusasaan.
.......
...--- o0o ---...
.......
Dian tersenyum sedih menatap sebuah gambar kecil yang terpampang jelas dua makhluk kecil seukuran kacang. Ia meraba perutnya yang datar dengan lelehan air mata menyakitkan ikut menyertainya. Sudah dua bulan sejak malam kedua mereka terjadi, Dian akhirnya dinyatakan positif hamil bayi kembar.
Ia tidak menangis karena membenci, tapi bagaimana ia akan menjelaskan pada kedua anaknya kelak jika mereka terlahir tanpa seorang ayah? Dian tak bisa membayangkan saat keduanya lahir dan tumbuh tanpa sosok papa yang menjadi pemimpin.
Saat mendengar pintu kamar terbuka, Dian dengan cepat menghapus air matanya. Ia kembali mencoba tersenyum, seolah semua baik-baik saja.
"Dian ..." Nico tidak melihat keberadaan istrinya tersebut. Entah mengapa ia ingin melihat gadis itu untuk menghilangkan suasana hatinya yang buruk.
Hari ini, ia mendapat kabar jika kekasihnya telah kembali. Wanita yang dicintainya selama bertahun-tahun itu akhirnya kembali ke Indonesia setelah membatalkan pertunangan secara sepihak dengan alasan karier.
Namun, bukan itu yang ia rasakan. Mengapa ia tidak sebahagia dulu ketika mendengarnya? Ia mulai ragu dengan keputusannya. Rasanya begitu cepat, ia seolah belum ingin Dian pergi. Apa ia mulai mencintai gadis itu?
"Maaf membuatmu menunggu." Lamunan Nico buyar ketika Dian muncul dari balik kamar mandi. Ia tersenyum, memberi ruang pada Dian agar duduk disebelahnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Dian khawatir. Ia bisa melihat wajah Nico yang berbeda.
Pertanyaan itu membuat Nico kembali tersenyum. Gadis ini selalu tahu perubahan dirinya, tidak seperti Melly yang terkadang sibuk dengan urusannya sendiri. See? Ia bahkan mulai membanding-bandingkan keduanya.
"Aku baik-baik saja." Nico merengkuh wajah Dian dan mengelusnya lembut. Jujur wajah ini selalu membuatnya tenang. Rambut pendek ala anak remaja memang membuat Dian seperti anak SMA.
Ia memang gadis 18 tahun! batin Nico mengingatkan.
"Bohong!" Menurunkan tangan Nico. "Ayo jujur padaku. Ada apa?" desak Dian, membuat pria itu terkekeh.
"Tidak ada, aku hanya merindukan wajah menyebalkanmu ini." Nico mencubit pipi chubby Dian gemas, membuat gadis itu memekik.
"Kau yang menyebalkan. Lepaskan, sakit tahu!" Dian mengelus-elus pipinya yang memerah. Nico tertawa, ah bahagianya.
Tapi tunggu! Ada yang aneh dengan gadis ini. "Kau habis menangis?" Nico hendak menyentuh mata Dian yang terlihat sedikit membengkak. "Tidak! Untuk apa menangis," kilah Dian gugup, menepis tangan Nico.
"Sungguh?" tanya Nico curiga. "Tentu," jawabnya meyakinkan.
Nico menghela nafas pelan. "Katakan saja apa yang mengganggumu. Aku akan mencoba membantu sebisaku," kata Nico lembut, membuat dada Dian berdesir.
Bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu jika kau terus memperlakukan ku seperti ini. Memperlakukan seolah kita takkan berpisah.
"Nic ...."
"Hm?"
"Bagaimana jika aku hamil?" tanya Dian ragu-ragu. Ia terus memperhatikan wajah Nico.
"Tidak akan, itu kecelakaan. Hanya sekali tak mungkin membuatmu hamil." Mengelus kepala Dian. Ia berpikir Dian khawatir dengan masa depannya nanti.
"Seandainya iya?" Dian mencoba agar terlihat biasa saja, padahal ia sangat ingin menangis. Mengatakan pada Nico jika ia hamil anak pria itu!
Nico bahkan tidak mengingat malam kedua mereka!
"Aku akan merawatnya dengan baik bersama Melly."
Hancur. Hilang sudah harapan kecilnya. Bagaimana mungkin Nico begitu mudahnya mengatakan itu. Bahkan jika ia masih remaja, ia adalah gadis yang akan menjadi ibu mereka. Dian takkan rela menyerahkan anak-anaknya untuk wanita lain, namun ia juga tak ingin egois.
Meski ia meninggalkan anak-anaknya bersama keluarga Abraham, apa kehadiran mereka tetap diterima? Apa mereka akan diperlakukan dengan baik disini saat ia pergi? Tidak! Lebih baik menjauh daripada memiliki keluarga lengkap namun tidak dihargai kehadirannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...