Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 : RUNTUHNYA ISTANA PASIR
Pagi itu, suasana SMA Pelita Bangsa tidak seperti biasanya. Jika kemarin koridor dipenuhi bisik-bisik penghinaan terhadap Luna, hari ini keheningan yang mencekam menyelimuti setiap sudut. Selin, yang biasanya datang dengan langkah angkuh dan suara tawa yang memenuhi lobi, belum menampakkan batang hidungnya.
Luna berjalan menunduk, tangannya mendekap erat brosur "Seraphine Foundation" di dalam tasnya. Ia merasa was-was. Ia tahu Xavier telah melakukan sesuatu, tapi ia tidak menyangka efeknya akan sebesar ini.
"Luna! Kamu sudah dengar?"
Luna tersentak. Maya salah satu tangan kanan Selin menghampirinya dengan wajah pucat dan mata yang sembab. Tidak ada lagi nada menghina dalam suaranya. Yang ada hanyalah ketakutan.
"Dengar apa?" tanya Luna bingung.
"Rumah Selin... butik ibunya... semuanya disita semalam!" Maya bicara dengan suara gemetar. "Katanya ada pelanggaran pajak berat dan penggelapan dana. Ayah Selin ditangkap polisi di depan matanya sendiri. Selin nggak masuk hari ini. Dia... dia bilang dia nggak punya rumah lagi."
Luna terpaku. Jantungnya berdegup kencang. Ia teringat kata-kata Xavier kemarin tentang "istana pasir".
Hanya dalam satu malam? Bagaimana mungkin?
Luna segera mencari sosok Xavier. Ia menemukannya di bangku taman belakang, tempat favorit mereka. Xavier sedang membaca sebuah buku tebal tentang arsitektur kuno, seolah-olah dunia di sekitarnya sedang baik-baik saja.
"Xavier!" Luna berlari menghampirinya. "Apa ini perbuatanmu? Tentang keluarga Selin?"
Xavier menurunkan bukunya perlahan, menatap Luna dari balik kacamata tebalnya. "Aku hanya mengirimkan beberapa dokumen yang memang sudah seharusnya diperiksa oleh pihak berwenang, Luna. Kebenaran tidak pernah menghancurkan siapapun. Kebenaran hanya menunjukkan apa yang sebenarnya ada di sana."
"Tapi... dalam satu malam? Selin kehilangan segalanya, Xavier. Ayahnya ditangkap. Bukankah ini terlalu... mengerikan?"
Xavier berdiri. Ia menutup bukunya dengan suara berdebum yang mantap. "Mengerikan? Apakah lebih mengerikan daripada seorang gadis yang kehilangan harga dirinya karena fotonya disebar di mading? Apakah lebih mengerikan daripada hutang seorang ibu yang sudah meninggal dijadikan bahan tertawaan satu sekolah?"
Xavier melangkah mendekati Luna. Auranya tiba-tiba terasa sangat berat, membuat Luna sulit bernapas. "Dunia ini adil dalam caranya sendiri, Luna. Selin menggunakan uangnya untuk menindas yang lemah. Sekarang, uang itu diambil darinya agar dia tahu rasanya menjadi lemah."
Luna terdiam. Ia merasa ngeri, tapi di sisi lain, ada perasaan lega yang tak bisa ia pungkiri. Untuk pertama kalinya, predator yang memburunya telah tumbang.
Namun, tumbangnya Selin justru memicu reaksi keras dari sisa Geng Reihan. Reihan Dirgantara tidak suka jika "wilayahnya" diusik. Baginya, Selin adalah bagian dari lingkarannya, dan siapapun yang menyentuh lingkarannya berarti sedang menantang dirinya.
Di kantin, Reihan duduk dikelilingi oleh Bima, Kevin, dan Dion. Wajah Reihan tampak sangat gelap.
"Gue nggak percaya si Cupu itu bisa ngelakuin ini sendirian," desis Reihan sambil meremas kaleng sodanya hingga remuk. "Pasti ada orang besar di belakang dia. Nggak mungkin anak pindahan biasa bisa ngeruntuhin bisnis butik terbesar di kota ini cuma dalam semalam."
"Rei, bokap gue bilang semua koneksi kita nggak bisa bantu keluarga Selin," ujar Dion dengan nada takut. "Katanya, ada 'tangan raksasa' yang sengaja nutup semua akses mereka. Siapa pun yang mencoba bantu bakal ikut hancur."
Kevin, yang masih trauma karena ponselnya dihack tempo hari, menatap laptopnya dengan ragu. "Gue coba cari data tentang Xavier di sistem sekolah. Tapi aneh, Rei. Datanya terkunci. Bahkan data alamat rumahnya di sistem itu cuma berupa koordinat yang nggak jelas."
Reihan berdiri, memicu decitan kursi yang keras di lantai kantin. "Gue nggak peduli siapa dia. Dia udah ngerusak mainan gue. Dan kalau dia mau main jadi pahlawan buat Luna, gue bakal pastiin mereka berdua tenggelam bareng-bareng."
"Apa rencana lo, Rei?" tanya Bima.
Reihan menyeringai tipis. "Besok ada acara penggalangan dana tahunan sekolah. Semua donatur besar bakal dateng. Kita bakal bikin pertunjukan yang nggak akan pernah dilupakan Luna. Kalau Xavier emang punya pelindung, kita liat apa pelindungnya berani muncul di depan publik."
Hari-hari menuju acara penggalangan dana terasa seperti ketenangan sebelum badai. Luna semakin rajin belajar, didorong oleh harapan beasiswa dari brosur yang diberikan Xavier. Sementara itu, Xavier tetap menjadi bayangan yang setia. Ia tidak banyak bicara, tapi ia selalu memastikan Luna tidak sendirian di tempat-tempat sepi.
Suatu sore, saat mereka sedang di perpustakaan, Luna memberanikan diri bertanya.
"Xavier, kamu bilang kamu hanya bayangan. Tapi kenapa bayangan ini terasa sangat nyata bagiku?"
Xavier berhenti menulis. Ia menatap Luna dengan pandangan yang sangat lembut, sesuatu yang sangat jarang ia perlihatkan. "Karena terkadang, Luna, bayangan adalah satu-satunya hal yang tidak akan pernah meninggalkanmu, bahkan saat cahaya sekalipun pergi."
"Kamu akan tetap di sini, kan? Maksudku... sampai aku bisa berdiri sendiri?"
Xavier terdiam cukup lama. Ia teringat instruksi Nenek. Ia tahu bahwa perannya akan segera berakhir saat Luna dibawa ke fasilitas Seraphine nanti. Ia tahu ia harus menghilang agar Luna bisa lahir kembali dengan kekuatan penuh.
"Aku akan ada di sana, Luna. Sampai ini selesai," jawabnya ambigu.
Luna tidak menyadari makna di balik kata-kata itu. Ia hanya merasa senang karena setidaknya ia punya satu orang yang bisa ia percaya. Namun, ia tidak tahu bahwa Reihan sedang menyiapkan jebakan yang melibatkan nama baik mendiang ibunya sekali lagi, sebuah rencana keji yang akan menjadi titik balik penderitaannya.
Malam penggalangan dana tiba. Sekolah dihias dengan lampu-lampu mewah. Mobil-mobil mahal berjajar di parkiran. Luna datang mengenakan seragam terbaiknya yang sudah ia setrika dengan sangat rapi, meski tetap terlihat kusam di antara gaun-gaun pesta siswi lain.
Xavier datang dengan penyamaran biasanya, namun kali ini ia mengenakan kacamata yang sedikit berbeda—kacamata yang dilengkapi pemindai termal dan perekam audio tingkat tinggi.
"Ingat," bisik Xavier saat mereka masuk ke aula. "Jangan lepaskan pandanganmu dariku. Apapun yang terjadi di atas panggung nanti, tetaplah tenang."
Luna mengangguk, namun tangannya dingin. Ia melihat Reihan di kejauhan, mengenakan setelan jas yang sangat tampan, sedang menatapnya dengan senyum yang terlihat seperti seringai iblis.
Acara dimulai dengan pidato kepala sekolah, namun di tengah acara, layar besar di atas panggung tiba-tiba menyala. Bukan menampilkan daftar donatur, tapi menampilkan sebuah rekaman suara yang diedit sedemikian rupa.
Suara itu terdengar seperti suara ibu Luna yang sedang memohon-mohon untuk meminjam uang, diiringi dengan tawa ejekan yang dipasang sebagai latar belakang. Lalu muncul tulisan besar "BEASISWA UNTUK ANAK PENIPU? APAKAH SEKOLAH INI MASIH PUNYA HARGA DIRI?"
Seluruh aula hening. Ratusan mata donatur dan orang tua murid tertuju pada Luna yang berdiri mematung di tengah ruangan.
Reihan melangkah ke atas panggung, memegang mikrofon. "Maaf semuanya, tapi kami sebagai murid merasa tidak adil jika uang donasi kalian digunakan untuk membiayai seseorang yang keluarganya memiliki rekam jejak kriminal dalam berhutang. Aluna Seraphine, bukankah seharusnya kamu malu berada di sini?"
Luna merasa bumi yang ia pijak runtuh. Air mata yang sudah ia tahan sekuat tenaga akhirnya jatuh. Ia menoleh ke arah Xavier, mencari perlindungan.
Namun, Xavier tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, menatap Reihan dengan pandangan yang dingin.
"Xavier..." bisik Luna.
Xavier justru melangkah mundur, sengaja menjauh dari Luna. Luna merasa dikhianati. Mengapa Xavier diam saja? Mengapa dia membiarkannya dipermalukan di depan semua donatur?
Luna tidak tahu, bahwa ini adalah bagian dari "tes terakhir" Xavier. Ia ingin melihat apakah Luna akan terus bergantung padanya, atau mulai mengeluarkan taringnya sendiri.
Di saat Luna hampir jatuh pingsan karena malu, sebuah suara berat dari arah pintu masuk aula menginterupsi segalanya.
"Siapa yang berani menyebut nama Seraphine dengan nada menghina di gedung ini?"
Seorang wanita tua dengan tongkat berlapis perak dan aura kekuasaan yang bisa membuat seluruh ruangan bergetar masuk. Di belakangnya, sepuluh pria berjas hitam mengikuti dengan langkah militer.
Itu adalah Madam Celine Seraphine.
Dan untuk pertama kalinya, Xavier memberikan hormat yang sempurna di depan semua orang, namun tetap dilakukan dengan cara yang hanya bisa dilihat oleh Madam Celine.
Babak baru penderitaan Luna akan segera berakhir, dan transformasi yang paling ditunggu-tunggu akan segera dimulai.