Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Nadia tahu bahwa mencoba berhadapan langsung dengan Bramantyo atau Bu Rina adalah hal yang sia-sia. Bramantyo terlalu cerdik, dan Bu Rina terlalu loyal. Kelemahan di sistem ini mungkin adalah Guntur, si penjaga keamanan.
Guntur adalah pria besar, diam, dan selalu berjarak. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di pos keamanan kecil di samping pintu masuk utama, di luar pandangan langsung Bramantyo.
Nadia memulai permainannya dengan taktik yang paling sederhana: observasi dan empati palsu.
Selama sesi 'jalan-jalan' wajibnya di halaman yang berpagar, Nadia selalu melewati pos Guntur. Awalnya, ia hanya menyapa dengan anggukan kaku. Guntur selalu membalas dengan anggukan formal tanpa bicara.
Nadia menyadari satu hal: Guntur tidak pernah tersenyum, dan matanya selalu memancarkan kelelahan. Pria itu selalu minum kopi hitam dalam cangkir usang.
Pada hari ketiga observasi, Nadia berjalan mendekat, membawa segelas teh lemon hangat yang ia minta secara khusus dari Bu Rina.
"Guntur," panggil Nadia pelan, suaranya kini terdengar tenang dan sedikit rapuh, bukan lagi marah.
Guntur menoleh, sedikit terkejut karena Nadia berani memanggil namanya.
"Bu Rina bilang, Anda bekerja sendirian di sini. Udara malam sangat dingin," kata Nadia, meletakkan teh lemon itu di samping posnya, menjaga jarak yang sopan. "Ini teh lemon hangat. Mungkin bisa mengurangi sedikit dinginnya. Saya tidak bermaksud mengganggu."
Guntur menatap teh itu, lalu menatap Nadia, matanya penuh kecurigaan. "Saya baik-baik saja, Nyonya. Saya tidak butuh ini."
"Saya tahu," jawab Nadia, senyumnya tulus kali ini. "Tapi saya sendiri adalah tahanan di sini. Saya mengerti rasanya terjebak. Saya hanya ingin bersikap manusiawi. Saya tidak punya niat lain."
Nadia segera kembali, meninggalkan Guntur dan tehnya. Ia tahu, kesan pertama harus jujur dan tidak memaksa.nadia berencana membangun kepercayaan dengan guntur.
Keesokan harinya, Guntur tidak meminum teh itu, tetapi ia juga tidak membuangnya.
Nadia mengulang aksinya. Kali ini, ia membawa sepiring kecil kue kering buatan Bu Rina.
"Saya dengar Anda sudah tidak bertemu keluarga sejak bertugas di sini. Kue ini enak, mengingatkan saya pada kue Ibu," ujar Nadia.
Guntur tetap diam, tapi kali ini ia mengambil satu kue. Gigitan pertama Guntur adalah kemenangan kecil bagi Nadia.
Setelah beberapa hari, Guntur mulai sedikit terbuka. Ia tidak berbicara, tetapi tatapannya tidak lagi setajam sebelumnya. Nadia selalu menggunakan kehamilan dan kelemahannya sebagai alasan untuk interaksi.
"Bisakah Anda mengambilkan selimut dari dalam, Guntur? Saya tiba-tiba merasa sangat kedinginan," pinta Nadia suatu sore.
Saat Guntur pergi, Nadia melihat kunci. Bukan kunci kamar atau pintu utama, melainkan kunci kotak sekering darurat yang tergantung di dinding pos.
Kotak sekering darurat... untuk mematikan pagar listrik.
Nadia tahu, jika ia bisa mendapatkan kunci itu, ia bisa mematikan pagar listrik selama beberapa menit, cukup waktu untuk menembus hutan sejauh 5 km ke jalan utama.
Malam itu, Bramantyo sedang sibuk dengan panggilan konferensi penting di ruang kerjanya. Nadia tahu ini adalah waktu yang sempurna.
Ia pura-pura merasa sakit perut hebat.
"Aduh! Sakit sekali, Bu Rina! Seperti kram!" rintih Nadia, memegangi perutnya.
Bu Rina langsung panik. Kondisi janin adalah prioritas utama. "Ya Tuhan, Tuan Bramantyo akan membunuh saya! Saya harus menghubungi dokter di Jakarta!"
Bu Rina bergegas ke ruang komunikasi internal yang berada jauh dari pos keamanan Guntur.
Saat itu, Nadia bergegas ke pos Guntur. Guntur sigap berdiri, matanya waspada.
"Guntur! Aku benar-benar sakit! Aku butuh obat penenang yang disimpan Bu Rina! Tapi kamarnya terkunci! Tolong! Aku harus mengambil kunci kamar Bu Rina yang ada di meja utama! Aku mohon!" Nadia berkata dengan napas terengah-engah, menampilkan akting terbaiknya sebagai wanita hamil yang ketakutan.
Guntur ragu. Ia dilarang meninggalkan posnya tanpa izin, tetapi ancaman terhadap janin Bramantyo adalah perintah tertinggi.
"Saya akan ke sana. Tunggu di sini, Nyonya," kata Guntur, lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Itu dia. Pos Guntur kini kosong, dan kunci sekering darurat tergantung di dindingnya.
Nadia bergerak cepat. Ia mencabut kunci sekering itu, menyembunyikannya di dalam saku piyamanya. Ia tidak punya waktu untuk mematikan pagar sekarang; ia harus kembali ke kamar dan melanjutkan aktingnya.
Satu menit kemudian, Guntur kembali, membawa Bu Rina yang panik. Mereka mendapati Nadia terbaring lemas di lantai.
"Dia baik-baik saja," kata Bu Rina setelah memeriksa denyut nadi Nadia. "Ini hanya kecemasan dan kram ringan. Syukurlah."
Nadia diam-diam tersenyum dalam hati. Ia berhasil. Guntur dan Bu Rina tidak menyadari kehilangan kunci sekering itu, yang tergantung di antara lusinan kunci lain yang tampak serupa.
Malam itu, Nadia tidur dengan gelisah, tetapi dengan rasa percaya diri yang baru. Di dalam sakunya, kunci baja dingin itu terasa seperti harapan kebebasan.
Nadia menunggu tiga hari setelah mencuri kunci sekering darurat. Ia memilih malam bulan baru—paling gelap—dan waktu tepat pukul 03.00 dini hari, saat Bu Rina dan Guntur kemungkinan besar berada dalam fase tidur terdalam.
Sebelum bertindak, Nadia meninggalkan sepucuk surat kecil di bantalnya, ditujukan kepada Bramantyo, meskipun ia tahu surat itu akan dibaca setelah ia jauh.
> Aku bukan simpananmu. Aku juga bukan tahananmu. Anak ini berhak lahir bebas. Aku tidak akan pernah melupakan apa yang kau lakukan.
>
Ia mengenakan pakaian gelap dan berlapis, membawa botol air dan sedikit makanan ringan yang ia sembunyikan selama seminggu terakhir. Ia juga membawa ponsel curian Bramantyo sebagai kompas dan penerang darurat.
Dengan langkah kaki seringan mungkin, Nadia menyelinap keluar dari kamar yang tidak terkunci (Bramantyo mulai melonggarkan penguncian setelah Nadia menunjukkan kepatuhan).
Ia berhasil mencapai pintu utama tanpa membangunkan Bu Rina. Ia melewati pos keamanan Guntur yang terlihat sunyi. Guntur sedang tidur pulas di kursinya, dengan selimut tebal yang Nadia yakini ia ambil karena kebaikan hatinya beberapa hari lalu.
Nadia bergerak cepat ke sisi pagar, tempat kotak sekering darurat berada. Tangan dinginnya memasukkan kunci curian itu. Kunci itu cocok.
KLIK.
Nadia memutar kunci itu. Lampu indikator di atas pagar yang biasanya berkedip merah terang kini padam. Ia hanya memiliki beberapa menit sebelum sistem darurat mendeteksi gangguan dan alarm berbunyi.
Ia berhasil membuka panel kecil di pagar. Tubuhnya yang sedang hamil muda terasa berat, tetapi tekadnya lebih kuat. Ia merangkak keluar dari celah itu, napasnya tercekat oleh lumpur dan udara hutan yang dingin.
Nadia mulai berlari secepat yang ia bisa, mengandalkan foto peta yang tersimpan di ponsel Bramantyo. Ia harus mencapai jalan aspal dalam waktu kurang dari satu jam.
Pohon-pohon tinggi dan semak belukar menghalangi jalannya. Ia tersandung akar dan dahan, tetapi ia terus maju, didorong oleh rasa takut dan harapan.
Setelah sekitar sepuluh menit berlari, jantung Nadia berdebar bukan hanya karena kelelahan, tetapi karena ia mendengar suara. Bukan suara alarm, melainkan suara langkah kaki yang teratur.
Nadia berhenti mendadak. Ia bersembunyi di balik semak besar dan mematikan senter ponselnya.
Di depannya, lima sosok berpakaian hitam muncul dari kegelapan hutan. Mereka membawa senter taktis dan bergerak tanpa suara. Mereka bukan patroli acak; mereka sedang menyisir.
"Area C sudah disisir. Target masih belum terlihat," lapor salah satu pria itu melalui earpiece kecil.
Mereka sudah menunggunya.
Nadia menyadari kebenaran yang mengerikan: Bramantyo tidak pernah lengah. Kepatuhan Nadia, kue kering yang ia berikan pada Guntur, bahkan surat di bantalnya, semuanya adalah bagian dari skenario yang telah diprediksi oleh Bramantyo.
Ia mencoba berbalik dan berlari ke arah yang berlawanan, tetapi terlambat. Senter yang terang benderang tiba-tiba menyinari wajahnya.
"Target tertangkap di Area D. Tidak ada perlawanan,"
Nadia dibawa kembali ke pos keamanan. Di sana, Bramantyo sudah menunggunya. Ia berdiri di samping Guntur, yang kini terlihat terjaga sepenuhnya, menatap Nadia dengan pandangan penuh penyesalan. Bu Rina berdiri di ambang pintu, wajahnya sedih.
"Kau kecewa, Nadia?" tanya Bramantyo, suaranya sedingin malam itu sendiri. Ia memegang surat kecil yang ditinggalkan Nadia di bantal.
"Kau tidak pernah secerdik itu. Guntur memberitahuku tentang teh lemon dan kue keringmu. Itu taktik basi." Bramantyo mengedikkan kepalanya ke arah Guntur. "Guntur loyal kepadaku, bukan kepada kebaikan hati murahanmu. Dia hanya mengikuti perintahku untuk berpura-pura lelah dan membiarkanmu mencuri kunci itu."
Nadia menatap Guntur, merasa dikhianati dan bodoh. Guntur menunduk, tidak berani menatap matanya.
"Aku tahu kau menyimpan dendam, Nadia. Itulah kenapa aku menunggumu melakukan ini," lanjut Bramantyo, melempar surat Nadia ke tanah. "Aku bahkan sengaja meninggalkan ponsel di kamarku—ponsel yang sudah dimodifikasi untuk mengirim sinyal GPS palsu ke luar, tetapi mengirimkan sinyal tracking ke tim keamananku saat kau menyalakannya di hutan."
Nadia ambruk di kursi kayu pos jaga, seluruh tenaganya terkuras. Ia menyadari betapa jauh di bawah level Bramantyo ia bermain. Ia adalah penguasa, dan Nadia adalah bidak yang baru saja diizinkan bergerak untuk menunjukkan betapa terbatasnya kebebasannya.
Bramantyo berjongkok di hadapan Nadia, tatapannya menyala dengan campuran kekecewaan dan superioritas.
"Kau sekarang adalah istriku. Istri yang sah, Nadia. Kegagalanmu malam ini membuktikan satu hal: kau tidak akan pernah bisa melarikan diri dariku. Anak ini adalah milikku, dan kau adalah wadah yang kusimpan untuknya. Kau tidak punya pilihan selain mematuhi aturanku."
Ia kemudian memerintahkan Bu Rina dan Guntur untuk membawa Nadia kembali ke kamar, mengunci pintu, dan menggandakan pengamanan.
"Mulai sekarang," Bramantyo berbisik di telinga Nadia saat ia diangkat, "Tidak akan ada lagi kebebasan. Kau sudah memaksaku untuk bermain keras."
Pelarian telah gagal. Kini, penjara Nadia menjadi lebih ketat, dan ia benar-benar terjebak dalam jaring laba-laba Bramantyo.
💪❤️🔥