Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Pagi itu, cahaya Subuh masih samar-samar menembus jendela ruang tamu. Udara dingin menempel lembut di kulit, tetapi tidak mampu menyejukkan hati Yumna yang sudah gelisah sejak malam. Ia duduk bersila di lantai, jemarinya saling menggenggam, berusaha mengumpulkan keberanian yang tersisa.
Suara langkah kaki terdengar dari dapur. Ayah dan ibunya baru selesai salat Subuh. Yumna menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka suara.
“Ayah … Ibu, aku mau pergi merantau,” ucap Yumna perlahan. Suaranya yang biasanya lembut kini terdengar tegas dan bulat.
Pak Yongki berhenti memasukkan sajadah ke lemari. Tatapannya datar, tidak terkejut, tetapi tidak juga antusias.
“Mau pergi ke mana, kamu?” tanyanya tanpa ekspresi, nada suaranya seperti menahan sesuatu yang tidak ingin ia munculkan.
Yumna menegakkan punggungnya. “Maunya ke seberang pulau, Yah. Biar tidak ada yang mengenaliku. Tapi, kalau takdir berkata lain, aku pasrah saja. Allah yang mengatur semuanya. Kita cuma bisa berencana, Allah yang menentukan.”
Kalimat itu adalah kalimat yang sering diucapkan Pak Yongki. Kini ia kembalikan pada pemiliknya.
Bu Yuniar langsung memutar badan ke arah Yumna. Matanya melebar, suaranya naik satu oktaf.
“Apa?! Kamu itu perempuan! Jangan pergi jauh-jauh!”
Yumna menatap ibunya tanpa gentar. Dulu mungkin ia akan mengecil, meringkuk, atau menangis. Tetapi itu dulu, sebelum dunia menamparnya terlalu keras.
“Kalau masih di sekitar kota ini,” balas Yumna, nadanya dingin, “sama saja bohong. Bukannya kalian tidak ingin nama baik keluarga ini tercoreng gara-gara aku?”
Sindirannya mendarat tepat sasaran. Ruangan seketika hening, diselimuti ketegangan yang tebal.
Selama hidupnya, Yumna adalah gadis penurut. Ia selalu mendengarkan nasihat, patuh pada aturan, dan berusaha tidak membuat masalah. Akan tetapi, luka lima hari lalu telah mengubah banyak hal dalam dirinya. Luka itu menyalakan bagian dirinya yang selama ini terpendam, keberanian untuk menentukan hidupnya sendiri.
Zakia dan Yugi hanya menunduk, duduk di sudut ruangan. Keduanya tidak berani bersuara, takut menyulut emosi ayah atau ibu.
Pak Yongki akhirnya duduk di kursi. “Kalau kamu sudah sampai tujuan, hubungi kami.”
Yumna mengangguk kecil. “Insya Allah, Ayah.”
Yumna bangkit dan merapikan tas gandong kecil yang sudah ia letakkan di dekat pintu sejak dini hari. “Aku harus berangkat sekarang sebelum kereta datang.”
Zakia akhirnya angkat suara. “Kamu mau naik kereta? Kenapa tidak naik bus saja?”
Yumna menatap sepupunya itu, tatapannya dingin dan menusuk. “Ya, terserah aku lah mau naik apa. Toh, aku nggak minta uang dari kamu.”
“Yumna! Jangan mulai!” bentak Yugi, kakaknya. “Zakia tanya begitu karena khawatir sama kamu!”
Yumna terkekeh, tetapi senyumannya getir. “Khawatir? Setelah semua yang terjadi?” Ia menggeleng. “Aku sudah besar, Kak. Aku tahu apa yang aku lakukan.”
Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Semua hanya menatap punggungnya yang kini tampak lebih kurus dan tegar daripada sebelumnya.
Perjalanan jauh itu memakan waktu berjam-jam. Kereta melaju melewati sawah, bukit, dan kota-kota kecil yang asing. Yumna menatap ke luar jendela dan untuk pertama kalinya sejak skandal itu mencuat, ia menangis tanpa suara. Air matanya jatuh tanpa ia sadari, tertinggal di kaca yang dingin.
Ketika kereta akhirnya berhenti di stasiun besar ibukota, Yumna menapakkan kaki di tanah dengan tubuh limbung. Hiruk-pikuk ibukota menyambutnya, suara klakson, orang berlarian, pengumuman stasiun yang bergema. Semuanya terasa asing, namun melegakan.
Sejak awal, ia memang memilih ibukota karena sebelumnya ia mengirim banyak lamaran pekerjaan secara online. Salah satu perusahaan memanggilnya wawancara besok pagi. Hari ini ia harus mencari tempat tinggal.
Peluh membasahi pelipisnya ketika ia menyeret tas ke sebuah gang kecil dekat stasiun. Setelah mencari hampir satu jam, ia menemukan kosan murah yang masih tersisa satu kamar.
“Hah, capek juga,” ucap Yumna sambil mengusap wajahnya. “Untung dapat kosan murah. Semoga saja nggak ada orang rese di sini.”
Yumna merebahkan tubuh di kasur tipis itu. Dalam hitungan menit, ia tertidur karena kelelahan.
Pagi-pagi sekali, Yumna sudah berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan kaca yang memantulkan cahaya matahari. Di puncak gedung itu, terpampang tulisan besar: ADTV. Sebuah stasiun televisi swasta cukup besar.
Di depan ruang wawancara sudah berkumpul banyak orang. Hampir semua berpakaian rapi, sebagian membawa map lamaran. Yumna bisa merasakan aura gugup memenuhi ruangan.
Yang membuatnya tertegun, tempat yang dibuka hanya lima posisi cleaning service. Zaman sekarang, tidak peduli gelar atau pengalaman, yang penting punya pekerjaan.
Yumna menggenggam map lamaran sambil berdoa dalam hati. ”Ya Allah, kalau ini memang jalanku, mudahkanlah.”
Tidak lama, namanya dipanggil masuk. Proses wawancara berlangsung cukup tegang, tetapi wanita paruh baya yang mewawancarainya tersenyum ramah.
Beberapa menit kemudian, wanita itu menutup dokumen Yumna dan berkata, “Yumna Khairunnisa Pratama, selamat. Kamu diterima. Mulai besok sudah bisa bekerja, ya.”
Yumna menutup mulutnya yang hampir terbuka lebar. “Alhamdulillah, terima kasih, Bu,” ucapnya sambil menunduk, menahan air mata haru.
Begitu keluar dari ruang wawancara, langkahnya terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia bisa merasakan kebahagiaan kecil menyentuh hidupnya.
***
Dua tahun berlalu begitu cepat. Yumna menjalani hari-hari barunya sebagai office girl di ADTV. Ia menyukai pekerjaannya, meski sederhana. Rekan-rekan sesama cleaning service adalah orang-orang baik yang tidak peduli dan tidak tahu masa lalunya. Mereka tertawa bersama, makan bersama, dan saling menolong.
Yumna pulang ke kampung hanya saat lebaran. Namun, perlakuan orang-orang di kampung tetap sama, penuh bisik-bisik dan tatapan merendahkan. Karena itulah ia lebih betah di ibukota daripada di kampung halaman sendiri.
Pagi itu, Sartika, teman kerja yang paling dekat dengan Yumna menepuk bahunya. “Yum, hari ini giliran kamu bersihin lantai lima, ya?”
“Iya, siap,” jawab Yumna sambil mengenakan sarung tangan.
Gadis berjilbab putih itu membawa kereta kecil berisi alat pembersih, lalu berjalan di lorong menuju lift. Ketika lift terbuka, seseorang berlari keluar dalam keadaan terburu-buru—
Dan bruk!
Mereka saling menabrak dan jatuh bersamaan.
“Aduh!” seru Yumna sambil meringis.
“Maaf,” ucap Yumna cepat-cepat sambil menunduk.
“Ya, lain kali hati-hati,” ucap pria itu sambil berdiri dan membersihkan celananya.
Kruuukkk—
Suara perut yang lapar terdengar jelas. Yumna yakin itu berasal dari pria yang ada di depannya.
Yumna tertegun. Ia melirik pria di depannya yang memegang perut, wajahnya kesal.
“Ish, mana sempat aku cari makanan,” gumam pria itu.
Yumna teringat roti di sakunya yang dia beli tadi di warung dekat kostannya.
“Mas, ini ada roti,” ujar Yumna sambil mengulurkan. “Makan dulu. Buat ganjal perut.”
Pria itu menatapnya sekilas lalu menerima roti itu. “Terima kasih. Aku terima kebaikan kamu.”
Yumna mengangkat wajahnya. Seketika tubuh dia membeku, mata terbuka lebar, dan napasnya tercekat, ketika melihat wajah pria di hadapannya.
“Kamu?!”
Modus mas Arun moduusss 😂😂😂
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna