Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Septian yang baru saja melihat Riana keluar dari kamar Liliana langsung melangkah cepat ke arahnya. Tatapannya tajam, tapi di balik itu terselip kecemasan yang berusaha ia tutupi dengan sikap dingin dan arogan. Ia ingin memastikan semuanya baik-baik saja, ingin mendengar sendiri bahwa Riana tidak akan pergi. Dalam pikirannya, Liliana pasti sudah berhasil membujuk adiknya agar kembali menjadi istri yang penurut seperti dulu.
Dengan tubuh tegak dan tangan terlipat di dada, ia berdiri menghadang langkah Riana.
“Sekarang kembali ke kamar, jadi Nyonya Prawira yang patuh, Riana,” ucapnya datar, penuh keangkuhan, seolah kata-katanya adalah perintah yang tak boleh dibantah.
Riana menghentikan langkahnya. Tangannya yang menggenggam map dokumen perceraian bergetar halus. Tatapannya naik perlahan, menatap wajah lelaki yang dulu ia cintai sepenuh hati, lelaki yang kini hanya meninggalkan luka dan harga diri yang tercabik.
“Patuh?” Riana mengulang lirih, suaranya serak namun jelas. “Aku sudah patuh, Septian. Bahkan terlalu patuh… sampai aku lupa siapa diriku sendiri.”
Septian mengerutkan kening, nada suaranya mulai meninggi. “Cukup, Riana! Jangan buat semuanya makin rumit. Kamu cuma emosi, nanti juga akan sadar. Rumah tangga nggak bisa dijalankan pakai amarah sesaat.”
Riana tersenyum getir, matanya memerah menahan tangis. “Rumah tangga? Kamu pikir yang kita punya selama ini masih bisa disebut rumah tangga? Kamu lempar talak, menghinaku, dan biarkan aku sendirian di rumah sakit, bahkan malam ini… kamu duduk makan malam dengan santai seolah tidak ada tempatku lagi. Inikah yang kamu bilang rumah tangga?”
Wajah Septian menegang, rahangnya mengeras. “Kamu bicara apa?”
Riana menatapnya dalam-dalam, lalu menarik napas panjang. Map di tangannya ia lempar tepat ke dada Septian, malas menjelaskan lebih jauh. “Aku sudah membuat perjanjian perceraian. Kamu tinggal tanda tangan.”
Suara map itu jatuh di dada Septian terdengar tegas, menggema di ruangan yang mendadak sunyi. Septian buru-buru membuka isinya, masih dengan keyakinan bahwa ini hanya permainan emosi, bahwa Riana hanya ingin diperhatikan. Tapi begitu matanya membaca tiap baris, senyum di wajahnya memudar.
Ia menelan ludah. Kakinya mundur setapak, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dan salah satu poin membuat matanya membulat, Riana hanya menuntut nafkah seratus perak.
“Seratus… perak?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Beberapa detik kemudian, Septian memaksa dirinya tertawa. Tawa yang terdengar sumbang, bergetar menahan panik. “Riana, perceraian itu bukan hal yang bisa dijadikan bahan bercanda!” katanya dengan nada keras, mencoba terdengar berwibawa.
Riana tidak menanggapi. Tatapannya tetap dingin dan tajam, membuat tawa Septian terasa hampa.
“Kalau bukan bercanda,” lanjut Septian dengan nada lebih tinggi, “kenapa di sini tertulis kamu cuma menuntut uang nafkah seratus perak? Itu bukti kamu nggak serius, Riana. Kamu masih mencintaiku, kan?” Ia tersenyum miring, berusaha menegakkan harga diri yang mulai runtuh.
Riana menatapnya lama, matanya berkilat basah. “Kamu benar,” ujarnya pelan. “Aku memang sangat mencintaimu.”
Septian mengangkat dagu, seolah menang, tapi Riana belum selesai.
“Dan karena cinta itu,” lanjutnya, suaranya mulai bergetar namun penuh luka, “aku rela dibodohi. Aku rela dipermalukan. Aku rela dicintai sepihak. Kamu tahu kenapa aku menulis nafkah hanya seratus perak, Septian?”
Ia berhenti sejenak, menatap suaminya yang kini mulai kehilangan kata. Air mata mengalir di pipinya, tapi senyumnya getir.
“Karena itu harga yang pantas buat seorang suami yang menukar harga dirinya dengan nafsu. Aku cuma ingin menegaskan… begitulah nilaimu di mataku sekarang.”
Tatapan Riana menusuk dalam, membuat dada Septian seolah disayat kata demi kata yang keluar dari bibir wanita itu. Untuk sesaat, ia tidak mampu bicara, bahkan tidak mampu marah. Suara napasnya terdengar kasar, mencoba menguasai emosi yang sudah meledak di dadanya.
“Riana…” suaranya serak, tapi gengsi menahannya untuk merendah. “Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan. Aku ini suamimu.”
Riana menatapnya dengan sorot mata yang kosong namun kuat. “Dulu, iya. Sekarang? Kamu cuma lelaki yang pernah kutunggu di depan pintu dengan hati penuh harap dan ternyata pulang dengan dosa.”
Langkahnya pelan namun mantap. Ia mengambil map itu dari tangan Septian yang masih kaku, lalu menepukkannya ke dada lelaki itu sekali lagi, kali ini dengan lebih tegas ia berkata, “Tanda tangan, Septian. Sebelum aku benar-benar muak melihat wajahmu.”
Septian meraih tangan Riana, tapi wanita itu segera menepis kesar. Sentuhan itu membuat Riana mundur setapak, dan untuk pertama kalinya, tatapannya benar-benar mati rasa tidak ada cinta, tidak ada amarah, hanya kelelahan yang menyesakkan dadanya.
“Jangan sentuh aku lagi,” ucapnya dingin.
Septian menggeram, mencoba menguasai dirinya yang mulai goyah. “Riana, berhenti bersikap seperti ini. Lima tahun kita sudah berumah tangga… kenapa sekarang kamu menyerah begitu saja?”
Riana tersenyum getir, bibirnya bergetar menahan tangis. “Kamu masih tanya kenapa? Kamu lucu, Septian.”
“Aku butuh penjelasan, Riana! Bukan sindiran!” suaranya meninggi, tapi terdengar lebih seperti teriakan orang yang ketakutan.
“Baik, aku beri penjelasan,” sahut Riana lirih tapi tajam. Ia menatap lurus ke mata Septian. “Sekarang aku tanya sama kamu. Tiga hari ini saat aku nggak ada… apa kamu mencariku? Atau kamu lebih bahagia?”
Septian menahan napas, dadanya naik-turun. “Riana, jangan mencari-cari alasan. Kamu tahu kenapa aku memberikan waktu untukmu buat introspeksi diri. Karena sikap kamu yang nggak dewasa… bahkan sampai mencelakai kakakmu sendiri dan anaknya.”
Riana tertawa pendek, getir, air matanya jatuh. “Lalu karena aku cuma mendorong kakakku, kamu sudah seperti hakim… hingga kamu memberikan vonis dengan mendorongku sampai aku menabrak dinding dan dirawat di rumah sakit selama tiga hari?”
Septian membeku. “Apa? Ka… kamu dirawat? Itu tidak mungkin. Aku bahkan tidak—” Suaranya mendadak terputus. Pandangannya kosong, wajahnya tegang. Ada sesuatu yang perlahan muncul di benaknya, seolah ingatan yang selama ini ia tekan tiba-tiba menyeruak.
Riana menatapnya, sorot matanya tajam dan dingin. “Kenapa tidak melanjutkan, Septian? Kamu sudah ingat dengan apa yang kamu lakukan padaku?”
Septian menggigit bibirnya sendiri, matanya bergetar, tidak mampu berkata-kata.
“Itulah cinta yang selama lima tahun kamu berikan padaku,” lanjut Riana, suaranya pecah, penuh luka yang lama terpendam. “Cinta sepihak. Cinta yang mengiris sampai aku lupa siapa diriku.”
Ia menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan kekuatan terakhir. “Dan kamu tidak perlu berpura-pura lagi. Wanita yang selama ini kamu sukai… adalah kakakku.”
Wajah Septian memucat. “Riana…”
“Aku ucapkan selamat, Septian,” Riana melangkah mundur, air matanya jatuh tapi tatapannya tetap tajam. “Semoga kalian bisa hidup bersama. Karena kakakku juga menyukaimu.”
Kalimat itu meluncur seperti petir yang memecah langit malam. Septian terdiam membeku, dada terasa sesak, wajahnya tidak lagi menyisakan sisa-sisa keangkuhan yang tadi ia pamerkan. Tangannya yang masih menggenggam map bergetar, seperti tak tahu lagi harus berbuat apa.
Sementara di sisi lain, Liliana yang mendengar pertengkaran Riana dan Septian kini mulai tersenyum lega dan bangga, "Ternyata wanita yang disukai Tian itu aku."