Di kota megah Aurelia City, cinta dan kebencian berjalan beriringan di balik kaca gedung tinggi dan cahaya malam yang tak pernah padam.
Lina Anastasya, gadis sederhana yang keras kepala dan penuh tekad, hanya ingin bertahan hidup di dunia kerja yang kejam. Namun, takdir mempertemukannya dengan pria paling ditakuti di dunia bisnis Ethan Arsenio, CEO muda yang dingin, perfeksionis, dan berhati beku.
Pertemuan mereka dimulai dengan kesalahpahaman konyol, berlanjut dengan kontrak kerja yang nyaris seperti hukuman. Tapi di balik tatapan tajam Ethan, tersembunyi luka masa lalu yang dalam… luka yang secara tak terduga berhubungan dengan masa lalu keluarga Lina sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 7
Satu minggu berlalu dalam kabut siksaan yang aneh.
Rutinitas Lina kini terbentuk tiba pukul tujuh pagi, menyiapkan double espresso hitam pekat (ia sudah menguasai mesin kopi itu), lalu duduk di meja penjaranya menunggu serangkaian perintah mustahil.
"Cari tahu kenapa AC di lantai 12 terlalu bising. Aku tidak mau bicara dengan teknisi, aku mau kau yang periksa."
"Telepon CEO Perusahaan Mitra, Tuan Wibisana. Bilang padanya aku membatalkan janji main golf hari Sabtu. Jangan bilang alasannya." (Ini adalah tugas paling menegangkan, Tuan Wibisana yang ramah terdengar sangat kecewa).
"Aku mau makan siang. Aku tidak tahu mau makan apa. Cari sesuatu." (Lina membelikannya sup miso dari restoran Jepang di seberang jalan. Ethan memakannya tanpa komentar).
Lina telah menjadi secara harfiah kaki tangan, dan tameng sosial bagi Ethan Arsenio. Ia berlari ke seluruh penjuru gedung, berurusan dengan manajer departemen yang kebingungan, dan menerima telepon-telepon marah yang ditujukan untuk bosnya.
Ethan, di sisi lain, tampak menikmati perannya sebagai tiran. Dia mengawasi Lina dengan tatapan elang, seolah menunggu satu kesalahan kecil. Tapi Lina menolak memberinya kepuasan itu. Ia mengerjakan setiap tugas dengan efisiensi yang kaku dan wajah tanpa ekspresi, meniru sikap dingin bosnya.
Itu adalah perang gesekan. Dan sandwich terus berdatangan. Setiap hari pukul 12.30, sebuah kantong kertas diletakkan di mejanya tanpa sepatah kata pun. Kadang isinya wrap ayam, kadang salad. Itu adalah gencatan senjata tengah hari yang aneh di tengah zona perang mereka.
Suatu sore di hari Selasa, Lina sedang mati-matian mencoba memahami laporan keuangan setebal 500 halaman yang Ethan lempar ke mejanya dengan perintah, "Temukan keanehan."
Interkom berbunyi.
Lina mengangkatnya. "Ya, Tuan."
"Aku butuh arsip proyek 'Aurelia Waterfront'. Khususnya proposal awal dari tiga tahun lalu."
Lina mengerutkan kening. "Baik, Tuan. Saya akan minta data digitalnya dari divisi arsip."
"Tidak," potong Ethan, suaranya tajam. "Aku tidak mau data digital. Aku mau proposal fisik aslinya. Yang ada catatan tulisan tangan di marginnya. Kertasnya... seharusnya berwarna kuning gading."
Lina membeku. Dokumen fisik? Dari tiga tahun lalu?
"Tuan," kata Lina pelan, "Arsenio Group punya puluhan ribu dokumen. Ruang arsip fisik ada di basement dan itu—"
"Aku tidak bertanya di mana letaknya. Aku bilang, aku mau dokumen itu," desis Ethan. "Dan aku mau dalam satu jam."
Klik. Interkom mati.
Lina menutup matanya sejenak. Ini dia. Jebakan terbesar sejauh ini.
Satu jam. Untuk menemukan satu dokumen spesifik di ruang arsip seluas lapangan sepak bola yang berisi tumpukan dokumen dari puluhan tahun. Dia sengaja membuatnya gagal.
Lina bergegas ke lift.
Ruang arsip di basement dua persis seperti yang ia bayangkan suram, berdebu, dan dingin. Lorong-lorong rak logam menjulang tinggi, penuh dengan kotak-kotak cokelat yang identik.
Seorang pria tua berkacamata tebal yang menjaga meja depan mendongak dari korannya.
"Permisi, Pak," kata Lina, sedikit terengah-engah. "Saya perlu mencari proposal proyek 'Aurelia Waterfront' dari tiga tahun lalu."
Pria itu mendengus. "Tiga tahun lalu? Proyek besar? Itu bisa ada di mana saja. Bisa di Sektor A, B, atau G. Kau punya kode berkasnya?"
"T-tidak. Presdir Ethan hanya bilang kertasnya berwarna kuning gading."
Pria itu tertawa. "Kertas kuning? Nona, setengah dari dokumen lama di sini warnanya jadi kuning! Semoga berhasil."
Lina menatap lorong-lorong tak berujung itu dengan putus asa. Satu jam.
Ia mulai berlari kecil di antara rak-rak, membuka kotak secara acak. Debu berterbangan. Proyek Delta. Laporan Keuangan 2021. Akuisisi...
Empat puluh lima menit berlalu. Lina mulai panik. Lututnya kotor karena debu, dan rambutnya mulai berantakan. Dia tidak akan berhasil.
Lalu, matanya menangkap sesuatu. Di rak paling bawah di Sektor F, sebuah map penjepit besar terselip miring, warnanya memang kuning gading yang mencolok, berbeda dari map cokelat lainnya.
Tangannya bergetar saat menariknya keluar.
PROPOSAL AWAL: AURELIA WATERFRONT (REVISI INTERNAL)
Dia berhasil!
Lina berlari kembali ke lift, memeluk map berdebu itu erat-erat. Waktunya tersisa lima menit.
Dia menerobos masuk ke kantor CEO, sedikit terengah-engah, rambutnya acak-acakan, dan ada noda debu di pipinya.
Ethan Arsenio mendongak dari komputernya. Matanya yang dingin menelusuri penampilan Lina yang berantakan, dari rambutnya hingga noda di blusnya. Ada sebersit... sesuatu... di matanya. Geli? Terkejut?
Lina berjalan ke mejanya, meletakkan map kuning gading itu dengan bunyi brak pelan.
"Proposal Aurelia Waterfront. Sesuai permintaan Anda, Tuan," kata Lina, suaranya sedikit serak karena debu.
Ethan menatap map itu. Lalu dia menatap Lina. Dia tidak langsung mengambilnya.
"Kau menemukannya," katanya, suaranya datar, tapi Lina bisa menangkap nada keterkejutan yang sangat tipis di dalamnya.
"Ya, Tuan."
Ethan menatapnya sedikit lebih lama. "Mejamu berantakan. Rapikan."
Lina menggertakkan giginya. Tidak ada "terima kasih". Tidak ada "kerja bagus".
Dia kembali ke meja penjaranya. Tapi saat ia duduk, ia menyeka noda debu di pipinya dengan punggung tangannya, dan ia tidak bisa menahan senyum kemenangan yang sangat tipis.
Dia 1, Ethan 0.