Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Terhina
'tertarik? Mungkinkah aku tertarik padanya? Rasanya tidak mungkin! Aku hanya merasa kasihan dan harus balas budi atas kebaikannya yang sudah menyelamatkanku, tapi untuk ketertarikan rasanya ~~
Jaka meneguk ludahnya tak menjawab pertanyaan pria tua itu. Ia bahkan baru beberapa menit saja mengenal Sari, lalu bagaimana ia bisa memberikan jawaban yang tepat untuknya?
Rahmat terkekeh dengan menepuk bahunya, dia sadar sangatlah tak pantas menanyakan hal-hal yang tidak seharusnya dipertanyakan, karena itu sama halnya menawarkan cucu perempuannya.
"Hehe..., maafin kakek cah bagus, kakek terlalu naif, tidak seharusnya kakek bertanya hal yang bersifat pribadi padamu, lagian kamu kan masih belum genap sehari tinggal di sini, bagaimana mungkin kamu tertarik pada Sari. Sudah-sudah, jangan dimasukin ke hati atas pertanyaan kakek tadi. Mendingan ayo masuk ke dalam, kakek akan membantumu memasak air."
Udara di lereng pegunungan sangatlah dingin, menjelang sore hari sudah terasa sangat dingin hingga menembus kulit. Jaka sangatlah bersyukur, pria itu begitu peduli bahkan rela memasakkan air untuknya.
Berada di dapur Rahmat langsung mengambil beberapa kayu bakar yang sudah dikeringkan. Dia langsung menuju tungku untuk memasak air agar bisa digunakan untuk membersihkan badan pemuda itu.
"Kakek..., kakek serius ingin menyalakan tungku untuk memasak air? Apa nggak sebaiknya masak air di kompor saja biar lebih cepat?"
Seumur hidupnya baru kali ini dia mengetahui cara masak seseorang mengenakan tungku. Mungkin semasa belum kehilangan ingatannya dia juga tidak pernah mendapati tungku di kediamannya.
"Tidak perlu cah bagus, masak di tungku itu jauh lebih hemat daripada menggunakan kompor gas. Setiap hari kami selalu menggunakan tungku untuk memasak, jadi sudah terbiasa."
"Kalau begitu ajari biar aku terbiasa menggunakan tungku seperti ini kek, aku kan nggak mungkin selamanya berpangku tangan tanpa melakukan kegiatan apapun."
Rahmat terkekeh. "Boleh-boleh, ayo sini biar kakek ajari."
***
Di warung Sari langsung membeli kebutuhan dapur. Dia membeli lima belas kilo beras, sisanya dia membelikan telur dan kebutuhan pokok lainnya, tidak lupa ia belikan Betadine untuk mengobati luka pria itu.
Banyak pasang mata mulai tak nyaman melihat keberadaannya. Mereka mulai berbisik-bisik, namun Sari tak menggubrisnya.
"Sari, banyak sekali belanjaanmu? Nggak biasanya!"
Perempuan paruh baya bernama Nani yang kebetulan berada satu warung dengan Sari langsung kepo dengan barang belanjaan yang dibeli oleh gadis itu. Tidak biasanya Sari berbelanja banyak, lagipula dapat uang dari mana Sari hingga membeli beras dengan jumlah yang lumayan banyak. Sebagai ratu gibah tentunya dia tak tinggal diam dan selalu mencari informasi mengenai uang yang dimiliki oleh Sari.
"Iya budhe, alhamdulilah aku lagi ada rezeki jadinya beli beras agak banyak biar awet," jawab Sari.
Meskipun hampir setiap hari ketemu diperlakukan kurang baik tapi tak membuatnya dendam. Sakit hati sudah pasti tapi ia berusaha untuk tetap sabar menghadapi orang-orang seperti mereka.
"Eh..., Sari! Laki-laki yang kamu bawa pulang tadi itu siapa kamu?" tanya Lasmi, seorang paruh baya yang sempat berpapasan dengannya saat membawa pulang seorang pria asing. Dia juga kepo dengan sosok pria tersebut, hanya saja masih belum sempat menemuinya di kediaman Sari.
"Oh..., dia itu cuma orang asing yang lagi terluka, aku menemukannya di sungai, dia meminta tolong padaku dan akhirnya aku membawanya pulang. Kasihan budhe, dia banyak luka, ditambah lagi dia sepertinya kehilangan ingatan."
Tak ingin ada kesalahpahaman Sari pun menjelaskan siapa sosok pria yang ditolongnya. Setidaknya ia sudah melakukan yang terbaik untuk membantunya, tapi jika saja niat baiknya masih disepelekan ya harus terima nasib.
"Hah! Hilang Ingatan? Maksudmu pria itu tak mengingat identitasnya?"
Sari mengangguk. "Benar budhe, dia tidak mengingat apapun, kami bahkan tidak bisa membantunya untuk bertemu dengan keluarganya. Kasihan sekali, pasti keluarganya sedang kebingungan mencarinya."
"Lalu kau memanfaatkannya?"
Kening Sari mengkerut. "Maksud budhe apa? Memangnya apa yang bisa kumanfaatkan darinya? Kenapa sih budhe! Apapun yang kulakukan selalu salah di mata kalian? Niatku tulus ingin menolongnya, bukan untuk memanfaatkannya!"
Wanita bernama Lasmi itu memutar bola matanya, dia memang kurang suka dengan Sari dan keluarganya, dengan kehadiran pria asing itu ia bisa memiliki kesempatan untuk merendahkannya.
"Halah! Kau itu sama aja kayak ibumu! Dulu ibumu juga gitu, katanya nolongin orang yang tersesat, nggak taunya dimanfaatkan. Setelah orang itu sadar dan pergi dari kehidupannya, sikapnya malah merajalela, semua laki-laki yang ada di kampung ini diembatnya. Emang keturunan wanita murahan! Buah nggak akan jauh jatuh dari pohonnya! Aku sangat yakin sekali kau telah memanfaatkan pria itu! Lihat saja nanti, setelah pria itu sadar kau bakalan dicampakkan. Menangislah kau!"
Ucapan mereka begitu menyayat hatinya. Harus sesabar apa lagi ia bisa menahannya? Cacian demi cacian ia terima, tapi kalau sudah merendahkan harga diri orang tuanya tentu ia tak akan rela.
"Budhe, bisa-bisanya anda memfitnah orang tuaku! Kalian benar-benar sudah keterlaluan! Memangnya ibuku punya salah apa sama anda? Beliau sudah tiada, dan anda masih juga mencacinya! Kalau anda membenciku lampiaskan saja padaku, tapi jangan bawa-bawa orang tuaku!"
Lasmi emosi karena Sari berani melawannya, dia mendekat sembari berkacak pinggang dengan tatapan melotot mengomelinya.
"Berani juga kau melawanku Sari! Kau itu masih bau kencur tapi omonganmu pedas beracun! Siapa bilang aku memfitnah ibumu! Memang pada dasarnya ibumu itu wanita nakal, suka mengganggu suami orang. Suaminya Marni bahkan sudah diganggu hingga membuat rumah tangga mereka berantakan."
Semakin panas saja Sari dengan ucapan wanita itu. Semakin diam maka harga dirinya semakin diinjak-injak.
"Budhe, aku memang tidak mengetahui seperti apa tingkah laku ibuku, tapi aku sangat yakin ibuku bukanlah wanita murahan seperti yang budhe tuduhkan. Kakek bilang ibuku nggak pernah mengganggu suaminya budhe Marni. Budhe Marni berpisah dengan suaminya karena diantara mereka tidak memiliki kecocokan. Ini nggak ada kaitannya dengan ibukku! Kenapa budhe seneng banget umbar aib orang lain? Budhe nggak usah sok suci, budhe sendiri punya anak perempuan yang merantau di luar kota. Bagaimana jika ucapan budhe berbalik pada keluarga budhe sendiri? Jangan sampai budhe di buat malu oleh anak budhe sendiri! Lihatlah Mbak Wati, setiap pulang dari luar kota dandanannya nggak layak dipandang. Pakai baju kurang bahan jalan keliling kampung, apa itu baik di mata budhe? Jangan suka menilai keburukan orang lain budhe! Belum tentu keluarga budhe jauh lebih baik dibandingkan orang seperti kami."
Seketika itu suasana warung berubah mencekam. Semua orang diam, hanya Lasmi yang masih juga mengoceh.
"Kalau anakku jelas beda kelas dengan dirimu. Sebenarnya kamu iri kan dengan kehidupan anakku? Lihat saja kalau dia pulang, selalu bawa mobil, sedangkan kamu? Selamanya jalan kaki, dasar kere!"
"Sudah-sudah, jangan dilanjut. Lasmi! Kamu itu sudah tua, harusnya menjadi contoh yang baik buat anak muda! Sikapmu memang sangat keterlaluan. Dia datang ke sini berniat untuk belanja, kok malah kamu musuhin kayak gini. Jangan mentang-mentang kamu lebih tua darinya dia nggak berani melawanmu. Dia juga memiliki harga diri, jadi wajar kalau dia membela ibu yang sudah melahirkannya. Benar juga apa yang dikatakan oleh Sari. Jangan suka menilai keburukan orang lain, karena kita sendiri belum tentu benar. Dan satu lagi yang perlu kau pikirkan, tak selamanya orang yang kau hina derajatnya akan selalu rendah, bisa jadi nanti dia yang lebih kaya darimu!"
Tak mau berlama-lama yang hanya membuatnya sakit hati Sari langsung membayar belanjaannya dan langsung pulang.