Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai yang Merobek Rumah Tangga
Raya terpaku di ambang pintu kamar Langit, suara guntur menggelegar menyamai detak jantungnya yang berpacu tak karuan. Arlan berdiri membelakanginya, memegang selembar kertas yang dikenali Raya sebagai laporan tes DNA. Napasnya tercekat. Badai telah tiba, dan Arlan memegang petirnya.
“Ini apa, Raya?” Suara Arlan dalam, datar, namun Raya bisa merasakan gunung berapi yang siap meletus di setiap kata yang terucap. Ia berbalik, wajahnya pucat pasi, matanya memerah. Kertas itu bergetar di tangannya. “Jawab, Raya! Apa maksud semua ini?”
Langit? Bukan anak kandungku? Dan… Damar?” Arlan menekan setiap nama, setiap fakta, seperti pisau yang ditusukkan perlahan. Matanya yang biasanya hangat kini membara dengan campuran luka, kebingungan, dan amarah yang belum pernah Raya lihat sebelumnya. “Aku… aku bisa jelaskan, Arlan,” Raya tergagap, langkahnya goyah mendekati Arlan. Ia mencoba meraih tangan suaminya, namun Arlan menepisnya kasar.
“Jelaskan apa? Jelaskan bagaimana anak yang kubesarkan, yang kucintai setulus hatiku, bukan anakmu? Bukan darah dagingmu? Atau jelaskan bagaimana Damar, mantan suamimu, bisa tersambung dengan ini semua?” Arlan menatapnya tajam, menuntut jawaban yang tak mungkin bisa ia rangkai tanpa menghancurkan segalanya. “Sudah berapa lama kau tahu, Raya? Berapa lama kau merahasiakan ini dariku? Dari suamimu?”
Setiap pertanyaan adalah cambuk yang menghantam Raya. Air matanya mulai mengalir deras. “Aku… aku baru tahu beberapa bulan ini, Arlan. Aku bersumpah! Aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Aku hanya… aku takut. Aku takut kau akan meninggalkanku, meninggalkan kami. Aku mencoba mencari tahu kebenarannya sendiri. Aku tidak ingin melukaimu.”
“Tidak melukaiku? Raya, ini bukan sekadar luka. Ini pengkhianatan!” Arlan menunjuk laporan itu. “Aku mencintaimu, aku mencintai Langit. Semua yang kita bangun… ini palsu? Ini kebohongan?”
“Tidak! Cinta kita tidak palsu!” Raya meratap, memeluk Arlan erat. “Langit… Langit adalah putraku, Arlan! Putra kita! Biologis atau tidak, dia adalah jiwaku. Aku mencintainya lebih dari apapun. Dan kau… kau adalah suamiku. Aku mencintaimu!”
Arlan mendorongnya pelan namun tegas. “Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya lagi, Raya. Kau… kau membohongiku. Selama ini. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan kebohongan sebesar ini?” Ia memejamkan mata, memijat pelipisnya. Ruangan terasa sesak, napas Arlan terengah-engah.
“Aku tahu ini sulit, Arlan. Tapi kumohon… beri aku kesempatan. Aku akan ceritakan semuanya. Dari awal. Bagaimana aku menemukan fakta ini, bagaimana aku mencoba menggali kebenarannya. Aku tidak tahu bagaimana Damar terlibat. Aku bersumpah. Aku hanya mencintai Langit. Aku hanya ingin melindunginya.”
Arlan menatap matanya dalam. Ada kebimbangan sesaat, sebersit keraguan yang membuat Raya sedikit memiliki harapan. Namun, sebelum Arlan bisa mengucapkan sepatah kata pun, bel pintu berbunyi. Keras, memecah keheningan yang menyakitkan itu. Raya dan Arlan saling berpandangan, bingung siapa yang datang di tengah badai seperti ini.
Arlan maju beberapa langkah, membuka pintu. Dan dunia Raya runtuh untuk kedua kalinya dalam malam itu. Berdiri di ambang pintu, basah kuyup namun dengan senyum kemenangan yang kejam, adalah Damar. Di tangannya, segepok dokumen berwarna kuning. Matanya menatap Raya, penuh ejekan dan kepuasan.
“Maaf mengganggu malam romantis kalian,” ucap Damar, suaranya tenang, mengiris. “Tapi aku rasa ini saat yang tepat untuk membicarakan putraku.”
Raya terkesiap. Putraku? Kata itu menghantamnya seperti palu godam. Arlan menoleh ke arah Raya, wajahnya kini tidak hanya terluka, tapi juga kaget dan sangat marah. “Apa-apaan ini, Raya?!” geram Arlan, suaranya naik satu oktaf.
Damar melangkah masuk tanpa diundang, senyumnya semakin lebar. “Kau pasti Arlan, suami Raya. Maaf, baru sempat memperkenalkan diri. Aku Damar, mantan suami Raya. Dan orang tua biologis dari Langit.”
Kata-kata itu bagai bom yang meledak di tengah ruang keluarga mereka. Arlan mundur selangkah, menatap Raya dengan pandangan yang tak bisa lagi diartikan. Raya merasakan kakinya lemas. Semua penjelasannya, semua usahanya untuk memperbaiki semuanya, kini hancur berkeping-keping oleh kedatangan Damar yang tak terduga ini.
“Apa yang kau inginkan?” Raya akhirnya berhasil bersuara, suaranya serak dan bergetar. Dia mencoba menutupi Arlan, seolah bisa melindungi suaminya dari racun yang dibawa Damar.
Damar mengangkat tumpukan dokumen di tangannya. “Yang kuinginkan? Hakku, tentu saja. Hakku atas putraku. Langit. Ini adalah dokumen gugatan hak asuh. Aku punya semua bukti DNA yang sah. Dan Raya, aku juga punya cerita lengkap tentang bagaimana Langit bisa menjadi milikku. Cerita yang kurasa Arlan juga perlu dengar, bukan begitu?”
Kilatan mata Damar penuh ancaman. Ia bukan hanya datang untuk mengambil Langit, tapi juga untuk menghancurkan Raya. Arlan menatap Damar, lalu ke Raya, lalu kembali ke Damar, seperti orang yang baru saja menyaksikan ilusi terburuk dalam hidupnya. Ekspresi wajahnya mengeras, berubah menjadi kekecewaan yang mendalam dan dingin. “Bagaimana kau bisa melakukan ini, Raya?” bisik Arlan, suaranya hampa, seolah-olah jiwanya baru saja dicabut.
Raya ingin menjerit, ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa dia adalah korban, sama seperti Arlan. Tapi lidahnya kelu. Suara Damar yang berapi-api mulai menjelaskan rinci bagaimana dia melakukan inseminasi ilegal dengan sel sperma yang disimpan, bagaimana dia sengaja mencari wanita dengan profil genetik yang cocok, dan bagaimana takdir membawanya pada Raya, mantan istrinya, tanpa Raya sendiri menyadarinya. Setiap kata adalah paku yang menancap di hati Raya, juga menghancurkan Arlan. Raya bisa melihat Arlan menegang, mengepalkan tangan. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang meledak-ledak. “Kau gila!” teriak Arlan pada Damar, menudingnya.
“Gila karena menginginkan anakku kembali?” Damar mengangkat bahu, berpura-pura polos. “Aku hanya menggunakan cara yang tersedia untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikku. Dan kebetulan, itu adalah rahim mantan istriku yang subur.” Dia tersenyum lagi, senyum paling menjijikkan yang pernah Raya lihat.
Raya tidak bisa lagi menahan amarahnya. “Langit bukan milikmu! Dia anakku! Anak kami! Kau tidak punya hak untuk datang dan mengklaimnya seperti ini setelah bertahun-tahun!”
“Oh, aku punya hak, Raya. Hak biologis, hak hukum. Dan aku sudah menunggu cukup lama. Sekarang, aku datang untuk mengambilnya,” Damar membalas, matanya menatap tajam ke arah pintu kamar Langit yang tertutup. “Kurasa akan lebih baik jika kita menyelesaikan ini di pengadilan, bukan? Aku yakin hakim akan setuju bahwa seorang anak berhak tahu orang tua biologisnya, terutama yang menginginkannya.”
Arlan menoleh ke Raya, matanya kini memancarkan keputusan yang menakutkan. “Kau tahu tentang ini?” tanyanya pelan, seolah takut akan jawaban yang akan Raya berikan. “Kau tahu Damar merencanakan semua ini? Sejak awal?”
Raya menggelengkan kepalanya panik. “Tidak! Aku bersumpah demi Tuhan, aku tidak tahu apa-apa tentang rencana liciknya ini. Aku baru tahu soal DNA-nya saja!”
“Dan kau merahasiakannya dariku,” Arlan menambahkan, suaranya dingin membeku. Ia menatap Raya dengan pandangan kosong, seolah-olah Raya kini adalah orang asing baginya. “Bagaimana bisa kau masih berani melihat mataku, setelah semua ini, setelah kau tahu siapa sebenarnya Damar dan apa yang dia lakukan, dan masih menyembunyikannya dariku?”
Raya merosot ke lantai, menatap Arlan dengan mata memohon. “Aku mohon, Arlan. Jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan kami. Aku tidak akan membiarkan Damar mengambil Langit. Dia anakku, Arlan! Anakku!”
Arlan tidak menjawab. Dia hanya menatap Damar dengan pandangan jijik, lalu beralih ke Raya dengan kekecewaan yang tak terhingga. “Aku tidak tahu harus percaya apa lagi, Raya,” bisiknya, suaranya kini lebih seperti desahan angin. “Rumah ini… hancur. Kita hancur.”
Dia berbalik, berjalan menuju pintu. Raya mencoba meraih kakinya, memohon agar dia tidak pergi. Namun Arlan melangkah keluar, menghilang ditelan badai yang kini benar-benar menderu di luar. Raya mendengar suara pintu ditutup, suara yang memilukan, memisahkan dirinya dari harapan terakhirnya.
Damar menatap Raya, senyum puasnya tak pudar. “Sepertinya suamimu tidak sekuat yang kau kira, Raya. Mungkin ini saatnya kau menghadapi kenyataan. Kau tidak akan bisa melawanku. Langit akan bersamaku. Cepat atau lambat.” Ia menendang pelan tumpukan dokumen di lantai, seolah memberi penekanan pada ancamannya.
Raya kini sendirian, di tengah puing-puing rumah tangganya yang hancur, dengan Damar yang berdiri tegak, siap merebut satu-satunya yang tersisa dalam hidupnya. Air mata Raya mengering, digantikan oleh bara amarah yang membakar. Matanya menatap tajam Damar. Ia akan berjuang. Demi Langit. Apapun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Damar menang. Badai belum usai, ini baru permulaan dari perang yang sesungguhnya. Dan ia tidak akan menyerah, bahkan jika itu berarti harus menghancurkan dirinya sendiri dalam prosesnya. Ia tidak akan membiarkan Damar mengambil putranya.