Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Dalam Rumah
Bus berhenti di dekat kompleks perumahan Anita. Udara malam di area mewah itu terasa lebih sunyi dan dingin. Anita turun, berjalan perlahan. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi karena ia tahu, ia sedang menuju sangkar yang dingin.
Pukul 23.00. Rumah itu gelap gulita, hanya lampu teras yang menyala. Pintu utama yang tinggi dan berukir tampak seperti gerbang penjara. Anita memasukkan kunci.
KRIIING!
Suara pintu terbuka itu memecah keheningan. Biasanya, suara ini akan disambut oleh derap langkah kecil Kevin, yang akan berteriak, "Mama sudah pulang!" Lalu, ia akan disambut oleh wajah lelah Aidan, yang meskipun dingin, setidaknya ada di sana.
Sekarang, yang ada hanya kehampaan yang bergaung.
Anita masuk, menutup pintu. Ia bersandar di pintu, tidak berani melangkah lebih jauh. Dulu, ia tidak pernah pulang selarut ini. Rutinitasnya dulu ditentukan oleh jadwal sekolah Kevin.
Jam Tiga sore adalah waktu sakral, waktu ia harus ada di rumah untuk Kevin. Kini, ia bekerja hingga larut, menghindari rumah, menghindari Aidan, menghindari penderitaannya.
Saat pandangannya menyapu ruang tamu yang gelap, jantung Anita mencelos. Ia melihatnya.
Di sudut tangga marmer, di tempat Kevin sering menunggu, ada bayangan samar. Bayangan kecil yang tingginya persis setinggi Kevin. Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, mengawasinya.
Keringat dingin langsung membanjiri dahi Anita. Ia memejamkan mata kuat-kuat, merasakan denyutan hebat di rahangnya. Bukan hanya suara. Sekarang visualnya sangat jelas.
Anita tahu ini adalah halusinasi. Ia sudah sering mengalaminya, tetapi malam ini, bayangan itu terasa terlalu nyata, terlalu solid. Ini bukan hanya memori; ini adalah bayangan yang mengancam kewarasannya.
Ia mundur perlahan, hingga punggungnya menyentuh pintu. Ia meraba tombol lampu. Jika ia menyalakan lampu, bayangan itu pasti akan hilang. Tetapi ia takut. Takut jika lampu menyala, bayangan itu tetap ada.
"Aku tidak boleh gila."
"Aku tidak bisa gila."
Ia menjambak rambutnya sendiri dengan tangan yang tidak ia gunakan untuk menahan pintu, berusaha membedakan rasa sakit fisik dari penderitaan mental. Rasa sakit di rahangnya, di perutnya, itu nyata. Tetapi bayangan Kevin di sana... itu hasil dari pikirannya yang sudah rusak.
Batin Anita. "Aku harus ke psikolog. Aku harus segera mendapatkan bantuan."
Namun, pikiran itu langsung dihantam oleh realitas yang kejam: uang.
Sejak Aidan memutus nafkahnya, beban keuangan yang ditanggung Anita sangat besar. Pendapatan tiga toko kue memang besar, tetapi pengeluarannya juga banyak:
Gaji Karyawan dan Bahan Baku: Biaya operasional toko yang sangat tinggi.
Kebutuhan Pokok Aidan: Makanan, listrik, biaya perawatan rumah.
Tunjangan Orang Tua Aidan: Uang bulanan yang Aidan berikan, yang ironisnya berasal dari uang jatuh Anita.
Kewajiban Orang Tua Sendiri: Uang rutin yang ia kirimkan ke kampung.
Biaya Medis Sendiri: Kunjungan ke bidan, obat-obatan, dan mungkin prosedur rahang lanjutan.
Uangnya terkuras habis. Biaya terapi dan psikiater yang baik, yang mampu menangani kasus KDRT dan trauma parah sepertinya, sangat mahal. Anita merasa tercekik. Ia tidak bisa meminta uang kepada Aidan, dan ia tidak punya dana cadangan lagi.
Aku tidak sanggup membiayai kewarasanku sendiri. Pikirannya menjerit.
Bayangan Kevin masih di sana, bergerak sedikit, seolah memanggil.
Anita tahu, satu-satunya cara untuk mengusir bayangan itu adalah menumpahkan semua emosinya. Ia tidak bisa bergerak ke kamar mandinya, ia tidak bisa berteriak, ia tidak bisa berlari.
Ia memutuskan untuk tetap berdiri di depan pintu utama, menahan napas. Ia memejamkan mata sekuat tenaga, membiarkan air mata mengalir, air mata panas yang membakar pipinya. Ia menjatuhkan diri, terduduk di lantai, memeluk lututnya.
Ia menangis tanpa suara. Hanya isak tangis yang bergetar di bahunya, disaring oleh kawat di mulutnya. Ini adalah tangisan seorang wanita yang telah kehilangan anak kandung calon anaknya janinnya yang belum sempat dia ketahui, anak sambungnya, suaminya, dan kini, sedang berjuang untuk tidak kehilangan akalnya.
"Hilang, Hilang, Hilang."
Tangisannya adalah sebuah doa, sebuah permohonan agar bayangan Kevin itu lenyap, agar ia tidak gila dan kehilangan kendali atas toko kuenya. Jika ia gila, ia tidak akan bisa menafkahi orang tuanya, dan ia akan sepenuhnya berada di bawah kendali Aidan.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, ia membuka mata.
Lampu ruang tamu yang gelap masih sama. Sudut tangga marmer masih kosong. Bayangan Kevin telah hilang.
Anita menghela napas panjang, sebuah kelegaan yang hanya sesaat. Ia merangkak naik, menyentuh dahinya yang basah oleh keringat dingin. Ia menang, tetapi ia menang di tempat yang tidak terlihat, di depan pintu yang terkunci.
Ia memaksa dirinya berdiri. Ia harus naik ke atas. Ia harus tidur.
Ia melangkah perlahan, menyalakan lampu ruang tamu. Ia melirik ke lantai atas, ke kamar Aidan. Ia tahu Aidan ada di sana, tidur nyenyak, tidak peduli pada penderitaannya di bawah.
Anita berjalan ke kamarnya. Sebelum masuk, ia mengunci pintu dari dalam, kebiasaan yang ia lakukan sejak Aidan mulai memukulnya. Kunci itu adalah satu-satunya perlindungan nyata yang ia miliki di rumah ini, perlindungan yang tidak bisa didapatkan dari hukum atau dokter.
Ia berganti pakaian. Ia meminum obat sakit perutnya. Ia berbaring di tempat tidur, tetapi ia tahu ia tidak akan bisa tidur nyenyak. Bayangan Kevin akan datang lagi. Ketakutan akan kewarasan yang hilang akan menghantuinya.
Ia hanya bisa memeluk perutnya yang kini kosong, dan berharap esok pagi, ia masih memiliki kekuatan untuk kembali ke toko kue, tempat ia bisa berpura-pura menjadi wanita sukses yang baik-baik saja.