Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah yang Sunyi, Jiwa yang Sepi
Langit malam menggantung di atas kota Jakarta. Lampu-lampu gedung memantul di kaca mobil sport hitam milik Arga Maheswara yang melaju kencang di jalanan ibu kota. Di kursi penumpang, Bima, satu-satunya teman yang Arga anggap cukup waras untuk diajak bicara, menatap Arga dengan ekspresi khawatir.
“Lo yakin ini ide bagus, Ga?” tanya Bima sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku jaketnya.
Arga hanya tertawa kecil, suara tawanya berat dan sarkastik. “Gue butuh minum, Bim. Kalau nggak, kepala gue bisa meledak. Semua orang tiba-tiba mikir mereka tahu apa yang terbaik buat gue.”
Bima mengembuskan asap ke luar jendela. “Lo lagi ngomongin pernikahan?”
Arga mendecak pelan. “Gue terpaksa, Bim. Dijodohin sama cewek yang bahkan nggak bisa liat mata gue lama-lama. Jalannya aja kayak... takut dosa tiap injek lantai. Gila, itu bukan tipe gue.”
Bima menatapnya sekilas. “Tapi lo udah nikah, Ga. Suka nggak suka, itu udah sah.”
Arga menggenggam setir lebih erat. “Sah di mata hukum, iya. Tapi di mata gue? Enggak. Gue nggak akan anggap dia istri gue.”
Bima mengangguk pelan. “Lo tau nggak, kadang orang yang paling jauh dari dunia lo justru yang paling bisa nyembuhin lo.”
Arga menatap jalan, matanya gelap. “Gue nggak butuh disembuhin. Gue cuma butuh minum.”
---
Lampu-lampu neon menyala terang di dalam klub malam Velvet Sky. Musik berdentum keras, tubuh-tubuh menari di bawah lampu stroboskop, aroma alkohol dan parfum bercampur jadi satu. Arga duduk di sofa VIP, dengan botol whiskey di depan meja.
Dia meneguk isinya tanpa pikir panjang, hingga wajahnya mulai memerah.
Bima duduk di sebelahnya, memandangi teman lamanya yang kini seperti kehilangan arah. “Lo sadar nggak, lo bukan anak SMA lagi yang bisa kabur dari masalah cuma karena minum?”
Arga menyeringai. “Gue nggak kabur. Gue cuma... nggak peduli.”
Seorang wanita berpakaian ketat mendekat, duduk di samping Arga, menyentuh bahunya.
“Sendirian, ganteng?” suaranya menggoda.
Arga menatap wanita itu dengan tatapan dingin. “Nggak."
Wanita itu tertawa kecil, mencoba menuangkan minuman ke gelasnya. Tapi Arga menolak, menepiskan tangan wanita itu dengan kasar.
“Nggak usah sok akrab.”
Bima menatap Arga dengan pandangan kosong. Ia tahu, di balik semua keangkuhan dan amarahnya, Arga sebenarnya tersiksa.
Tersiksa karena terjebak antara egonya sendiri.
“Lo masih mikirin dia, ya?” tanya Bima pelan.
Arga terdiam sejenak. Matanya kosong menatap kaca bar, pantulan wajahnya sendiri tampak asing.
“Cewek itu terlalu... suci buat dunia kayak gue, Bim. Kayak cahaya yang nggak seharusnya nyentuh gelap.”
Bima mendengus. “Tapi cahaya tetap cahaya, Ga. Nggak peduli di mana dia berdiri.”
Arga tak menjawab. Hanya meneguk lagi sisa minumannya.
---
Sementara itu, di rumah megah Arga, suasana begitu sunyi. Jam dinding menunjukkan pukul 22.30.
Alya Nur Zahra masih di dapur, menyiapkan makan malam yang kini mulai dingin.
Nasi, sup ayam, dan tumisan sayur yang sederhana, semua ia siapkan dengan hati-hati, seperti ajaran ibunya dulu.
“Mbok Darmi, apa biasanya Mas Arga pulang malam?” tanya Alya lembut, menatap pembantu tua yang sedang membereskan piring.
Mbok Darmi menatapnya penuh iba. “Biasanya, mbak. Kadang malah nggak pulang. Tuan Arga kalau lagi kerja bisa sampai pagi.”
Alya tersenyum tipis. “InsyaAllah, saya tunggu saja. Makanan ini masih hangat.”
Mbok Darmi menghela napas. “Mbak... jangan terlalu berharap. Kadang tuan Arga nggak mau makan di rumah.”
Alya hanya menunduk, suaranya pelan tapi penuh keyakinan, “Tidak apa, Mbok. Yang penting niat saya sudah benar. Allah yang menilai, bukan manusia.”
Ia lalu duduk di meja makan yang panjang, sendirian.
Memandang dua piring yang tak tersentuh di hadapannya, satu untuknya, satu untuk suaminya.
Dalam hatinya, ia membaca doa lirih.
"Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri kalian) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
— QS. An-Nisa: 19
Air mata menetes pelan di ujung matanya, tapi segera ia hapus dengan punggung tangan.
Ia tidak ingin menangis untuk hal yang belum layak ia tangisi.
---
Pukul 01.45 dini hari.
Suara mesin mobil terdengar di halaman. Alya yang masih duduk di ruang tamu menegakkan tubuhnya.
Ia segera berdiri dan melangkah pelan ke arah pintu, menyambut suaminya dengan wajah teduh meski matanya lelah.
Arga membuka pintu dengan kasar, langkahnya goyah. Wajahnya merah dan matanya sayu karena alkohol.
Begitu melihat Alya berdiri di sana dengan pakaian sederhana dan wajah lembut itu, amarah dan rasa jijik bercampur jadi satu.
“Apa lagi yang lo lakuin di sini?” katanya dingin, suara berat dan kasar.
Alya menunduk sopan. “Aku hanya menunggu, Mas. Sudah aku siapkan makan malam. Mungkin Mas belum—”
“Gue nggak butuh makanan lo!” potong Arga keras, matanya tajam. “Dan jangan sok perhatian kayak lo istri yang sempurna.”
Alya terdiam. Suaranya tetap lembut meski dadanya sesak. “Maaf kalau aku lancang. Aku hanya ingin menjalankan kewajiban saya.”
Arga tertawa sinis. “Kewajiban? Lo pikir gue mau istri kayak lo? Lihat diri lo, Alya. Lo bukan dunia gue.”
Alya tetap diam, menunduk, menahan diri agar tidak membalas dengan emosi. Ia hanya menjawab pelan, “Dunia kita memang berbeda, Mas. Tapi pernikahan ini tetap amanah. Aku hanya ingin melaksanakannya sebaik mungkin.”
Arga membuang pandang. “Udah, gue capek. Gue mau tidur.”
Alya melangkah pelan ke arah dapur. “Kalau lapar nanti, makanannya masih aku simpan.”
Arga tidak menjawab. Ia naik ke kamar dengan langkah berat, meninggalkan aroma alkohol dan amarah di sepanjang koridor.
Alya menatap punggungnya yang menghilang di tangga, lalu menatap meja makan yang kini benar-benar dingin.
Ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk tetap sabar. Sesungguhnya Engkau bersama orang-orang yang sabar.”
Lalu ia matikan lampu ruang makan dan kembali ke kamarnya yang sepi.
Malam itu, rumah besar itu terasa terlalu dingin bukan karena angin, tapi karena dua hati di bawah atap yang sama tidak saling bertemu.
Dan di luar sana, langit masih pekat.
Tapi di hati Alya, seberkas kecil cahaya iman tetap menyala meski redup, ia tidak padam.
---
☘️ To be continued
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣