Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Istana Kelabu
Perjalanan menuju Shadowfall memakan waktu dua hari, namun bagi Elara, rasanya seperti satu abad.
Di dalam kereta yang tertutup rapat, waktu kehilangan maknanya. Dia tidak bisa melihat matahari terbit atau terbenam. Satu-satunya penanda waktu adalah nampan makanan hambar yang disorongkan melalui celah kecil di pintu kereta setiap beberapa jam sekali—roti keras dan air yang berbau logam.
Elara menghabiskan waktu dengan meremas tali tas obatnya, satu-satunya benda yang menghubungkannya dengan kehidupan lamanya. Dia mencoba mengingat wajah Mila, senyum Nenek Hestia, dan aroma tanah basah setelah hujan di Oakhaven. Namun, semakin lama roda kereta berputar, kenangan itu terasa semakin jauh, seolah kabut tebal perlahan menelannya.
Tiba-tiba, suhu di dalam kereta turun drastis. Dinding kayu kereta berderit seolah menahan tekanan yang besar. Udara menjadi berat, membuat Elara sesak napas.
Mereka telah melewati Batas.
Batas adalah garis magis tak kasat mata yang memisahkan wilayah manusia biasa dengan domain terkutuk Raja Kaelen. Di desa, orang tua sering menakut-nakuti anak-anak dengan cerita tentang Batas ini: bahwa rumput berhenti tumbuh di sana, bahwa burung-burung jatuh mati dari langit jika mencoba terbang melintasinya.
Kereta melambat, lalu berhenti dengan sentakan kasar.
Pintu terbuka. Cahaya yang masuk bukan sinar matahari hangat, melainkan cahaya abu-abu yang suram dan mati.
"Turun," perintah prajurit pengawal.
Elara melangkah keluar dengan kaki yang kaku. Saat sol sepatunya menyentuh tanah, dia menahan napas.
Tanahnya bukan tanah liat cokelat seperti di desa. Itu adalah abu vulkanik hitam, padat dan dingin. Dan di hadapannya, menjulang menembus langit yang tertutup awan badai abadi, berdiri Istana Shadowfall.
Itu bukan bangunan yang dibuat untuk ditinggali manusia. Itu adalah benteng yang dipahat langsung dari gunung batu obsidian hitam yang tajam. Menara-menaranya runcing seperti tombak yang menantang surga. Dindingnya ditumbuhi tanaman rambat, tapi bukan tanaman hijau—melainkan Thornvines, tanaman parasit berduri hitam setebal lengan manusia yang melilit batu seperti ular yang sedang membelit mangsanya.
Tidak ada warna di sini. Semuanya adalah gradasi hitam, abu-abu, dan perak.
"Indah, bukan?"
Suara itu membuat Elara tersentak. Pria bertopeng—Vorian, Sang Tangan Raja—telah berdiri di sampingnya. Dia menatap istana itu bukan dengan ketakutan, tapi dengan pemujaan yang ganjil.
"Ini terlihat seperti makam," gumam Elara tanpa sadar. Dia langsung menggigit bibirnya, menyesali kelancangannya.
Vorian terkekeh pelan, suara yang terdengar seperti gesekan kertas amplas. "Memang. Dan kau adalah bunga yang akan kami letakkan di atas nisannya. Mari."
Mereka berjalan menuju gerbang utama. Pintu gerbang itu terbuat dari besi hitam setinggi sepuluh meter, diukir dengan relief pertempuran kuno antara manusia dan monster bayangan. Saat mereka mendekat, pintu itu terbuka sendiri tanpa suara, seolah mulut raksasa yang siap menelan mereka.
Bagian dalam istana tidak kalah mengerikannya. Aula utama begitu luas hingga atapnya nyaris tak terlihat dalam kegelapan. Lantainya marmer hitam yang dipoles begitu licin hingga memantulkan bayangan Elara seperti cermin gelap.
Namun, yang paling mengganggu Elara adalah keheningannya.
Istana sebesar ini seharusnya sibuk. Seharusnya ada suara langkah kaki pelayan, denting piring dari dapur, atau percakapan para penjaga. Tapi di sini, sunyi senyap. Pelayan-pelayan yang lewat—mereka berpakaian serba abu-abu dengan wajah tertunduk—bergerak tanpa suara, seolah mereka melayang. Mereka tidak menatap Elara. Mereka tidak menatap apa pun. Mata mereka kosong, seakan jiwa mereka telah dikuras habis.
"Serahkan dia padaku, Lord Vorian."
Seorang wanita tua muncul dari balik bayangan pilar. Dia mengenakan gaun hitam kaku dengan kerah tinggi yang mencekik lehernya. Rambutnya yang putih disanggul ketat tanpa ada satu helai pun yang lolos. Wajahnya keras, penuh kerutan yang memancarkan ketegasan, bukan kehangatan.
"Ah, Nyonya Thorne," kata Vorian. "Ini upeti baru kita. Namanya Elara. Dia punya sedikit... bakat."
Wanita itu, Nyonya Thorne, menatap Elara dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan menilai yang tajam. Matanya berhenti sejenak pada tas obat di bahu Elara, lalu dia mendengus meremehkan.
"Bakat kecil tidak akan menyelamatkannya di sini," kata Nyonya Thorne dingin. "Ikut aku, gadis kecil. Dan jangan seret kakimu. Aku benci suara berisik."
Elara menatap Vorian sekilas, tapi pria itu sudah berbalik pergi, jubah hitamnya berkibar saat dia menghilang ke lorong lain. Elara tidak punya pilihan selain mengikuti Nyonya Thorne.
Mereka menaiki tangga spiral yang tak berujung, melewati lorong-lorong yang diterangi oleh obor api biru—api sihir yang tidak menghasilkan panas. Di sepanjang dinding, lukisan-lukisan tua bergambar raja-raja terdahulu menatap mereka. Wajah mereka agung dan tampan. Elara bertanya-tanya, yang mana Raja Kaelen? Apakah dia pernah tampan sebelum kutukan itu mengubahnya?
"Dengar baik-baik," suara Nyonya Thorne memecah kesunyian, bergema di lorong batu. "Ada tiga aturan mutlak di Shadowfall. Langgar satu saja, dan kau akan mati sebelum matahari terbit."
Jantung Elara berdegup kencang. "Apa aturannya, Nyonya?"
Nyonya Thorne berhenti mendadak dan berbalik. Wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah Elara.
"Satu," katanya, mengangkat satu jari kurus. "Jangan pernah keluar dari kamarmu setelah lonceng malam berbunyi. Monster-monster bayangan—The Void—terkadang merembes masuk melalui celah dinding. Mereka lapar."
Elara menelan ludah.
"Dua. Jangan pernah masuk ke Sayap Barat. Itu adalah wilayah pribadi Raja. Bahkan pelayan pun dilarang masuk ke sana kecuali dipanggil."
"Dan yang ketiga?" tanya Elara pelan.
Mata Nyonya Thorne menyipit, ada kilatan kasihan yang sangat samar di sana, atau mungkin hanya bayangan obor.
"Tiga. Jika kau bertemu Raja Kaelen... jangan menatap matanya. Jangan bicara padanya. Jangan menyentuhnya. Jika dia marah, dia tidak bisa mengendalikan kutukannya. Kau akan berubah menjadi patung batu dalam hitungan detik."
Nyonya Thorne berbalik dan melanjutkan jalan. "Banyak gadis sepertimu yang datang ke sini dengan ide bodoh bahwa mereka bisa menjadi pahlawan. Bahwa mereka bisa 'menjinakkan' monster itu. Mereka semua berakhir menjadi hiasan taman."
Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah pintu kayu ek yang kokoh. Nyonya Thorne membukanya.
Kamar itu mengejutkan Elara. Itu bukan sel penjara bawah tanah yang lembap. Itu adalah kamar tidur yang luas dan mewah. Ada tempat tidur besar dengan kelambu sutra, perapian yang menyala hangat, dan lemari pakaian yang penuh dengan gaun-gaun indah.
Tapi Elara melihat detail-detail kecil yang mengerikan.
Jendelanya memiliki jeruji besi yang diukir indah berbentuk mawar berduri. Pintunya tidak memiliki kunci dari dalam, hanya grendel besi berat dari luar.
Ini adalah sangkar emas.
"Makanan akan diantar satu jam lagi," kata Nyonya Thorne. "Mandi dan ganti bajumu. Kau bau lumpur desa."
Sebelum Nyonya Thorne menutup pintu, Elara menahannya dengan satu pertanyaan.
"Nyonya... gadis-gadis sebelumnya. Berapa lama mereka bertahan?"
Nyonya Thorne terdiam di ambang pintu. Dia tidak menoleh.
"Yang paling lama bertahan tiga minggu," jawabnya datar. "Cobalah pecahkan rekor itu."
Bam.
Pintu tertutup. Suara kunci diputar dari luar terdengar nyaring.
Elara berdiri sendirian di tengah kemewahan yang menyesakkan itu. Kakinya lemas, dan dia merosot duduk di lantai karpet tebal. Tiga minggu. Dia punya waktu kurang dari sebulan untuk hidup.
Matanya tertuju pada jendela besar yang menghadap ke halaman dalam istana. Di sana, di bawah cahaya bulan yang remang-remang, dia bisa melihat sebuah taman. Tapi itu bukan taman bunga. Itu adalah taman patung.
Puluhan patung manusia dalam berbagai pose ketakutan. Ada yang sedang berlari, ada yang sedang memohon, ada yang sedang menangis.
Rasa dingin merambat di punggung Elara.
Itu bukan patung buatan pemahat. Detailnya terlalu nyata. Kerutan di baju mereka, ekspresi horor di wajah mereka...
Itu adalah korban-korban sebelumnya.
Elara bangkit dan mendekati jendela, mencengkeram jeruji besi dingin. Dia tidak akan menjadi salah satu dari mereka. Dia tidak akan menjadi patung batu di taman terkutuk ini.
Dia membuka tas obatnya, mengeluarkan pisau kecil pemotong akar yang berhasil dia sembunyikan di balik lipatan kain kasa. Itu senjata yang menyedihkan melawan monster dan penyihir, tapi itu miliknya.
"Aku akan bertahan," bisiknya pada kegelapan malam. "Dan aku akan menemukan cara untuk mematahkan kutukan ini, atau aku akan mati sambil menancapkan pisau ini ke jantung Rajamu."
Tiba-tiba, dari kejauhan—dari arah Sayap Barat yang terlarang—terdengar suara.
Bukan auman monster. Bukan teriakan kemarahan.
Itu adalah suara piano.
Melodi yang dimainkan dengan kasar, sumbang, dan penuh kemarahan, seolah pemainnya sedang menghantam tuts piano untuk melampiaskan rasa sakit yang tak tertahankan. Namun di balik kekerasan itu, ada nada kesedihan yang begitu dalam hingga membuat hati Elara bergetar.
Musik itu berhenti tiba-tiba dengan suara hantaman keras yang membuat senar piano putus. Lalu hening.
Elara menatap ke arah menara barat yang gelap. Sang Monster tidak sedang tidur. Dia sedang menderita. Dan untuk pertama kalinya, rasa takut Elara bercampur dengan sesuatu yang lain.
Rasa ingin tahu.
BERSAMBUNG...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️