NovelToon NovelToon
Dunia Yang Indah

Dunia Yang Indah

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Spiritual / Persahabatan / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perahu, Kejujuran, dan Tawaran di Bawah Bulan

Setelah tiba di pinggiran Danau Cermin Bulan yang tenang, udara malam terasa lebih dingin dan sejuk. Aroma air dan tumbuhan air yang segar menguar. Seorang pria paruh baya dengan wajah ramah dan mata yang berbinar-binar melihat peluang bisnis, segera mendekati mereka. Di tangannya ada sebuah buku catatan kecil.

"Selamat malam, Tuan dan Nyonya yang mulia," sambutnya dengan suara merdu, sambil memberikan senyum yang sangat memahami. "Maukah menikmati keindahan malam di danau kami dengan paket perahu spesial untuk sepasang kekasih? Sangat cocok untuk merayakan momen romantis."

Matanya berkeliling dengan licik antara Lanxi yang cantik dan anggun, serta Shanmu yang perkasa meski berpakaian sederhana. Dalam pikirannya, mereka adalah pasangan muda dari kalangan atas berdasarkan aura Lanxi dan bawahannya yang setia, atau mungkin pasangan yang tidak biasa.

Shanmu, yang mendengar kata 'kekasih', hanya mengernyitkan dahinya dengan polos. Kata itu asing baginya. Di Dusun Sunyi, ia tidak pernah punya waktu atau keinginan untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Hidupnya adalah bekerja, makan, tidur, dan bertahan. Beberapa gadis desa mungkin pernah meliriknya karena tubuhnya yang kuat, tetapi perhatian Shanmu selalu tertuju pada batu yang harus dipikul atau hewan yang harus diburu untuk esok hari. Ia tidak memahami konotasi romantis itu, jadi ia hanya membalas dengan senyum sopan dan netral, anggukan kecil, mengira itu hanya bentuk sapaan sopan pedagang.

Namun, Lanxi bereaksi berbeda. Pipinya yang seputih porselen memerah sedikit, bukan karena malu yang manis, melainkan karena sedikit kesal dan ingin menjaga kewibawaan. Ia berdehem dengan nada yang jelas dan penuh wibawa, memecah asumsi si pedagang.

"Siapkan perahu yang mana pun," ucap Lanxi, suaranya datar namun berisi. "Aku hanya ingin menaiki perahu untuk menenangkan pikiran. Bukan untuk hal-hal yang tidak perlu kau sebutkan."

Mendengar nada suara dan aura yang dipancarkan Lanxi, pedagang itu segera menyadari kekeliruannya. Wajahnya berubah menjadi lebih serius dan profesional. "Maaf, Nyonya. Tentu saja. Silakan."

Ia kemudian menuntun mereka ke sebuah perahu yang lebih besar dan indah dari yang lain, terikat di dermaga khusus. Perahu ini berbentuk seperti daun teratai raksasa yang terbuat dari kayu gelap yang diukir halus. Di dalamnya, terdapat sebuah meja rendah dari batu giok buatan, di atasnya telah tersedia sebuah lentera spiritual kecil yang memancarkan cahaya putih keemasan yang tenang, serta set teh dari porselen halus dengan teko kecil yang masih mengepulkan uap hangat. Kemudi perahu itu juga terlihat berbeda, dihiasi dengan formasi kristal kecil yang berfungsi untuk dikendalikan oleh Qi.

"Ini perahu khusus kami," jelas si pedagang dengan bangga. "Bisa dikendalikan dengan sedikit Qi, sangat stabil. Biasanya disewakan dengan harga sepuluh koin emas untuk dua jam."

Tanpa ragu, Lanxi mengeluarkan sepuluh koin emas dari kantong kecil di pinggangnya dan menyerahkannya. "Kami akan kembali sebelum dua jam."

Pedagang itu menerima dengan senang hati, lalu mempersilakan mereka naik dengan membungkuk. "Selamat menikmati, Nyonya, Tuan."

Shanmu membungkuk hormat dan berterima kasih pada si pedagang, lalu dengan hati-hati melangkah masuk ke perahu. Perahu itu hampir tidak bergoyang di bawah berat tubuhnya yang solid. Lanxi sudah lebih dulu duduk bersila dengan anggun di salah satu sisi bantalan yang disediakan, tepat di hadapan meja giok. Shanmu mengikuti, duduk bersila di seberangnya, berusaha meniru posisi duduk yang benar.

Dengan gerakan lembut jari telunjuknya yang memancarkan aura biru pucat, Lanxi menyentuh kristal di kemudi. Perahu itu kemudian bergerak dengan sendirinya, meninggalkan dermaga dengan mulus dan senyap, meluncur perlahan di atas permukaan danau yang bagai kaca.

Shanmu segera terpana oleh pemandangan. Dari tengah danau, pandangan terbentang lebih luas. Cahaya bulan purnama jatuh tegak lurus, menciptakan jalan perak di atas air. Lentera-lentera dari perahu-perahu lain berkelip seperti kunang-kunang yang menari. Suara desiran air yang terbelah oleh perahu mereka dan bisik-bisik samar dari pasangan lain menciptakan simfoni malam yang menenangkan. Wajah Shanmu berbinar dalam cahaya lampu spiritual, mencerminkan kekaguman yang tulus.

"Shanmu."

Suara Lanxi memanggilnya. Shanmu menoleh, senyum lebar masih menghiasi wajahnya. "Ada apa, Lanxi?"

Sambil berbicara, ia dengan reflek mengambil teko teh dan menuangkan cairan hangat berwarna keemasan ke dalam cangkir porselen di depan Lanxi dengan gerakan yang masih sedikit kaku namun penuh perhatian, lalu menuangkan untuk dirinya sendiri. Ini adalah etika sederhana yang ia pelajari dari Paman Gong.

Lanxi mengamati tindakannya, lalu menghela napas panjang, seolah-olah mengumpulkan keberanian. "Shanmu," ulangnya, suaranya lebih serius. "Apakah kau... memiliki keinginan untuk berkultivasi? Keinginan yang sungguh-sungguh?"

Shanmu, yang baru saja mengangkat cangkirnya untuk mencicipi teh yang harum, menurunkan cangkir itu perlahan. Senyumnya sedikit meredup. Ia menatap Lanxi, berharap melihat sedikit gurauan di mata indah itu. Namun, yang ia lihat adalah sorotan mata yang sangat serius, penuh dengan intensitas dan sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Ekspresi Lanxi bukanlah ekspresi mengejek atau sekadar bertanya. Itu adalah ekspresi seseorang yang sedang menimbang-nimbang sesuatu yang sangat penting.

Shanmu mengangguk, lambat. "Ingin sekali, Lanxi. Aku ingin sekali." Suaranya jujur, mengandung kerinduan yang dalam. Tapi lalu ia menambahkan, dengan senyum getir yang kecil, "Tapi... seperti yang kau tahu, aku ini tidak bisa berkultivasi, kan? Jadi, keinginan itu... hanyalah seperti angin yang berlalu. Kadang melintas dalam pikiranku, lalu pergi lagi. Aku tidak boleh memikirkannya terlalu serius."

Kejujuran polos dan penerimaan diri yang pasif itu membuat Lanxi terdiam. Ia menatap Shanmu dengan tatapan kosong, pikirannya berputar cepat. Dia menerimanya begitu saja. Tanpa perlawanan, tanpa kekecewaan yang mendalam? Ataukah kekecewaannya sudah terpendam begitu dalam hingga menjadi pasrah?

Ia lalu mengambil cangkir tehnya, menyesapnya dengan lembut, membiarkan kehangatan dan rasa yang kompleks mengalir di tenggorokannya. Matanya beralih ke pasangan-pasangan lain di perahu yang melintas, tertawa lemah, berbagi kehangatan. Kemudian, ia kembali pada Shanmu.

"Apa kau tidak pernah merasa... iri?" tanyanya, suaranya berbisik. "Melihat orang seperti Tuan Muda Dutian, misalnya. Di usianya yang masih sembilan tahun, dia sudah mencapai tingkat Pejuang Perak. Tingkat yang sama denganku yang sudah belasan tahun berlatih. Dia memiliki segalanya, bakat, sumber daya, keluarga... dan dunia kultivasi terbuka lebar untuknya. Apa hatimu tidak pernah merasa sesak melihat itu?"

Pertanyaan itu seperti batu yang dilemparkan ke danau tenang di hati Shanmu. Ia merasakan sesuatu, sebuah remasan samar di dalam dada. Tapi perasaan itu asing. Ia mencoba memahami.

Iri? Mengapa aku harus iri pada bakat orang lain?

Pikirannya yang sederhana bekerja. Bakat adalah anugerah, seperti ada orang yang terlahir kuat, ada yang lemah. Ia sendiri terlahir dengan tubuh yang kuat. Haruskah orang lain iri padanya? Itu tidak masuk akal. Dan tentang dunia kultivasi... itu adalah dunia yang memang bukan miliknya. Seperti ikan tidak iri pada burung yang bisa terbang, karena mereka hidup di alam yang berbeda.

Shanmu meminum tehnya, lalu meletakkan kembali cangkir giok itu dengan hati-hati di atas meja. "Aku... cukup senang dengan kehidupanku sekarang, Lanxi," ucapnya, suaranya tenang dan tulus. "Aku bekerja di pagi hari. Siangnya, aku punya waktu untuk berlatih sendiri di hutan depan gerbang kota. Lalu pulang, mandi, makan, dan tidur. Kehidupan seperti ini... mungkin terlihat biasa saja, bahkan membosankan bagi orang sepertimu. Tapi bagiku, ini berarti. Aku tidak lagi kelaparan, tidak lagi berlari ketakutan. Aku punya atap, tempat tidur, dan makanan yang pasti. Itu lebih dari cukup."

Jawaban itu, sekali lagi, membuat Lanxi tertegun. Bukan filosofi yang tinggi, bukan pula kepasrahan yang pahit. Itu adalah kepuasan sederhana dari seseorang yang telah mengalami dasar-dasar penderitaan dan sekarang menghargai setiap kedamaian kecil. Di dunia kultivasi yang penuh dengan ambisi, persaingan, dan kehausan akan kekuatan, sudut pandang seperti ini hampir tidak terdengar.

Namun, satu kata menarik perhatiannya.

"Latihan? Latihan apa itu, Shanmu?" tanyanya, alisnya yang halus berkerut. "Dan kenapa kau pergi ke hutan itu? Tempat itu dikenal sebagai wilayah binatang spiritual tingkat rendah. Itu bisa sangat berbahaya bagi seseorang yang... yang tidak memiliki Qi untuk membela diri."

Mendengar pertanyaan itu, ingatan Shanmu melayang pada kejadian di hutan tebing. Batu-batu yang menghilang. Binatang spiritual! Pikirannya berkilat. Mungkin itu penjelasannya! Bukan kultivator nakal, tetapi binatang spritual atau makhluk halus hutan yang usil! Itu jauh lebih masuk akal baginya.

Wajahnya kembali cerah. "Tenang saja, Lanxi. Aku pernah diganggu oleh binatang spiritual di sana, kurasa. Tapi mereka tidak berani menunjukkan diri. Mungkin mereka takut padaku," ucapnya dengan percaya diri naif. "Tentang latihan... aku hanya latihan angkat batu biasa saja."

"Angkat batu?" Lanxi semakin penasaran. ia menuangkan teh lagi untuk mereka berdua dengan gerakan anggun yang otomatis. "Latihan angkat batu seperti apa? Untuk apa?"

Shanmu menjelaskan dengan antusias, seolah sedang berbagi rutinitas favoritnya. "Aku cari batu yang besar, yang paling besar yang bisa kutemukan, lalu aku angkat. Aku coba angkat yang lebih besar lagi. Aku pikir, jika tubuhku semakin kuat, semakin perkasa... siapa tahu suatu hari nanti gerbang kultivasiku akan terbuka. Atau setidaknya, aku akan memiliki kekuatan untuk melindungi diri dan orang yang baik padaku."

Gagasan bahwa mengangkat batu bisa membuka jalan kultivasi begitu naif sehingga membuat Lanxi tersedak mendadak pada tehnya. "Cough! Cough!"

Shanmu langsung khawatir. "Lanxi! Kau baik-baik saja?" Ia maju sedikit, tangan terangkat seolah ingin menepuk-nepuk punggungnya tapi ragu karena tata krama.

Setelah batuknya reda dan napasnya kembali normal, Lanxi mengusap air matanya dengan ujung selendang. "Aku... aku baik-baik saja," katanya, suaranya serak. Tapi matanya justru berbinar dengan penasaran yang membara. Gagasan Shanmu itu konyol, tapi... ada sesuatu yang menarik. Kecepatan menyapu Shanmu dan Tuan Yao, ketidakmampuan kultivasi, dan latihan angkat batu ekstrem ini... apakah ada hubungannya?

"Besok," ucap Lanxi tiba-tiba, suaranya penuh tekad. "Ajak aku berlatih bersamamu. Aku sangat penasaran ingin melihat latihan angkat batumu."

Shanmu terkejut, lalu wajahnya bersinar karena senang. Orang lain mau melihat dan bahkan mungkin ikut latihannya? Itu hal yang menyenangkan! "Benarkah? Baik! Tentu saja, Lanxi! Tapi... tempatnya kotor dan jauh lho"

"Tidak masalah," jawab Lanxi cepat. Hatinya berdebar penuh antisipasi. Ia harus melihat dengan matanya sendiri.

Setelah kesepakatan itu, Lanxi teringat janjinya. Ia mengeluarkan sebuah kantong kain kecil dari lengan bajunya dan menyerahkannya pada Shanmu. "Ini, sepuluh koin emas seperti yang kujanjikan untuk menemaniku hari ini."

Shanmu menerimanya dengan kedua tangan, membungkuk dalam. "Terima kasih banyak, Lanxi. Ini sangat membantuku."

Kemudian, di atas perahu yang terus meluncur tenang di tengah danau yang memantulkan bulan, mereka melanjutkan obrolan. Kali ini, Lanxi yang banyak bertanya. Ia menanyakan detail kehidupan Shanmu di Dusun Sunyi, tentang orang tuanya, namun Shanmu hanya bisa menggeleng, tidak ingat wajah mereka, tentang perjalanan satu tahunnya, tentang apa yang ia makan, bagaimana ia bertahan dari penyakit, tentang binatang apa yang pernah ia hadapi. Shanmu menjawab semuanya dengan jujur, tanpa hiasan, seperti melaporkan kegiatan sehari-hari.

Dan sepanjang waktu, Lanxi mendengarkan dengan saksama. Di bawah cahaya bulan dan lentera spiritual, di atas permukaan danau yang bagai mimpi, seorang murid sekte berbakat dan seorang tukang sapu dengan rahasia tersembunyi saling berbagi cerita, dua dunia yang berbeda bersinggungan dengan lembut di malam yang sunyi.

1
YAKARO
iya bro🙏
Futon Qiu
Mantap thor. Akhirnya Shanmu punya akar spritual
Futon Qiu
Karena ada komedi nya kukasi bintang 5🙏💦
YAKARO: terimakasih🙏
total 1 replies
Futon Qiu
Lah ya pasti lanxi kok nanya kamu nih🤣
Futon Qiu
Jangan jangan itu ortunya 🙄
HUOKIO
Baik bnget si lancip😍😍
HUOKIO
Mau kemana tuh
HUOKIO
Ini penjaga kocak 🤣🤣
HUOKIO
Angkat barbel alam 🗿
HUOKIO
Makin lama makin seru 💪💪💪
HUOKIO
Gass terus thor💪💪💪
HUOKIO
Mantap thor lanjut
YAKARO: terimakasih
total 1 replies
HUOKIO
Lanjutkan ceritanya thor
HUOKIO
Shanmu kuat banget untuk manusia 😄
HUOKIO
Ohhh i see💪
HUOKIO
Oalah kok gitu 😡
HUOKIO
Mantap thor
HUOKIO
Gas pacari lqci
HUOKIO
Makin lama makin seru
HUOKIO
Lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!