Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Ayesha merasakan kehangatan yang menjalar di hatinya, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan, bukan kehangatan dari uang, tapi dari perhatian yang tulus. Ia menatap Arsha, pria yang seharusnya ia layani malam ini, namun justru memperlakukannya dengan sangat hormat.
"Anda... Anda benar-benar orang baik, Tuan Arsha," bisik Ayesha, suaranya tercekat. Ia ingin menceritakan lebih banyak, namun angin malam mulai terasa menusuk.
Arsha menangkap isyarat itu. "Mari kita pindah ke dalam. Udara mulai dingin," katanya lembut, bangkit dari kursi.
Mereka berjalan masuk, bukan ke kamar tidur yang penuh dengan ketegangan yang belum terucap, melainkan ke area ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu di suite hotel mewah itu. Ruangan itu dilengkapi sofa kulit besar berbentuk L, meja kopi minimalis, dan rak buku tinggi.
Arsha menyalakan lampu duduk, meredupkan cahaya utama, menciptakan suasana yang intim dan nyaman.
"Silakan, Ayesha," Arsha menunjuk sofa, "Aku akan mengambilkan air putih hangat dan sedikit makanan ringan. Aku yakin kau belum merasa kenyang setelah makan malam yang... kaku tadi."
Ayesha tersenyum, mengangguk. Saat Arsha kembali, ia membawa dua cangkir teh kamomil hangat dan sepiring kecil biskuit gandum.
"Teh ini untuk menenangkan. Tidak ada alkohol, aku tidak pernah menyimpannya," jelas Arsha, meletakkan cangkir di meja.
Ayesha menerima cangkir tehnya, menghirup aromanya yang menenangkan. Keakraban mereka semakin mendalam. Mereka duduk bersebelahan di sofa, tidak lagi menjaga jarak kaku seperti di awal.
Ayesha mulai bercerita tentang ibunya, tentang bagaimana ia berjuang membiayai pengobatan, dan betapa takutnya ia jika operasi itu gagal. Arsha mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan tanggapan yang menenangkan.
"Operasi ibumu akan berjalan lancar, Ayesha. Aku yakin itu. Dan lusa nanti, kau tidak perlu khawatir tentang dananya," kata Arsha, nadanya mantap. "Aku akan menambahkannya. Berapa pun kekurangannya."
Ayesha ingin menolak, tetapi melihat ketulusan di mata Arsha, ia merasa enggan. "Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana, Tuan Arsha. Ini terlalu banyak..."
"Anggap saja ini sebagai biaya mengobrol yang sangat mahal," Arsha kembali bercanda, mengembalikan suasana santai. Ia tersenyum lagi, dan lesung pipinya terlihat. "Sekarang, giliranku. Kau harus mendengarkan."
Arsha mulai bercerita tentang masa-masa kuliahnya di luar negeri, tentang perjuangannya mengambil alih perusahaan keluarga di usia muda, dan tentang rasa kesepian yang selalu mengikutinya di tengah gemerlap kekayaan.
"Aku punya segalanya, Ayesha. Mobil, rumah, perusahaan yang stabil. Tapi, aku tidak punya teman. Bahkan, aku tidak punya seseorang yang mau mendengarkan ceritaku tanpa melihat dompetku," Arsha menghela napas.
Ia terus mengobrol, menceritakan hal-hal kecil, dari pertemuannya yang canggung dengan investor, hingga kesukaan anehnya mengoleksi perangko tua. Suaranya yang tenang, terkadang bersemangat, mengalir seperti air.
"Dulu, aku pernah salah naik kereta api di Paris. Aku panik sekali. Aku tidak tahu bahasa Prancis, dan aku hanya bisa menunjuk peta sambil bergumam, 'Eiffel, Eiffel.' Semua orang di sana hanya tertawa," cerita Arsha, tawanya pelan namun tulus.
Ayesha mendengarkan. Rasa kantuk mulai menyerang, diperparah oleh teh kamomil yang hangat dan suasana yang begitu nyaman. Mata Ayesha perlahan memberat. Ia bersandar di sandaran sofa, menikmati suara Arsha yang menenangkan.
Ia tidak sadar kapan ia mulai tertidur. Kepala Ayesha terkulai lembut ke samping, bersandar pada bantal sofa.
Arsha, yang sedang menceritakan detail perbedaan antara kopi Arabika dan Robusta, tiba-tiba menyadari keheningan dari sampingnya. Ia menoleh.
Ayesha sudah tertidur pulas. Gaun bludrunya tampak begitu anggun, dan wajahnya terlihat damai. Senyum kecil masih tersungging di bibirnya.
Arsha mematikan lampu duduk di meja, menyisakan cahaya rembulan dari jendela. Ia menatap Ayesha lama. Ia menarik napas, lalu dengan sangat hati-hati, ia melepas jasnya dan menyelimutkannya di pundak Ayesha.
Arsha duduk di sana, di samping wanita yang dibayarnya untuk menjadi 'teman', menjaga Ayesha hingga fajar datang. Ia mengeluarkan ponselnya, mengambil satu foto selfie dirinya yang canggung dengan Ayesha yang tertidur di sofa.
Waktu menunjukkan pukul 03:15 pagi. Malam yang canggung telah berakhir, digantikan oleh keakraban yang tak terduga.
Arsha memandang Ayesha yang tertidur damai.
"Aku akan membereskan urusan ibumu lusa. Kau tidak perlu khawatir lagi," bisik Arsha pelan, seolah mengucapkan janji. Ia tersenyum, menyandarkan punggung ke sofa, memutuskan untuk tetap di sana menjaga tidurnya.
Arsha menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran sofa. Bau parfum Ayesha yang lembut bercampur dengan aroma teh kamomil yang sudah dingin, menciptakan suasana tenang yang belum pernah ia rasakan di ruangan mewah ini.
Ia tidak ingin tidur, takut Ayesha terbangun dan merasa tidak nyaman. Tapi kehangatan jasnya yang membalut bahu Ayesha, keheningan ruangan, dan rasa damai setelah pengakuan tulus mereka, perlahan menariknya ke dalam kelelahan yang menyenangkan.
Arsha memejamkan mata. Ia membiarkan pikirannya tenang, memeluk rasa syukur atas malam yang tidak berjalan sesuai rencana bayarannya, namun justru memberinya koneksi tulus yang selama ini ia dambakan. Tak lama kemudian, ia pun terlelap, duduk tegak di sofa, menjaganya.
Cahaya keemasan fajar perlahan menyusup melalui celah tirai hotel.
Arsha tersentak bangun. Ia segera memeriksa pergelangan tangannya. Pukul 04:30. Waktu Subuh. Ia menoleh ke samping. Ayesha masih tertidur pulas, gaun bludrunya tertutup rapat oleh jasnya. Arsha menarik jasnya sedikit agar tidak mengganggu, lalu bangkit dengan sangat hati-hati.
Ia bergerak ke kamar mandi untuk bersuci. Setelah itu, Arsha mengambil sajadah dan peci, menggelarnya di sudut kamar tidur, dan mulai menunaikan kewajibannya.
Selesai salat, Arsha duduk bersila. Ia membuka Al-Qur'an kecil yang selalu ia bawa, dan mulai membaca. Suara merdunya, yang dipenuhi ketenangan dan kesyahduan, memenuhi keheningan suite tersebut.
Suara lantunan ayat suci itu, meskipun pelan, cukup untuk mengusik tidur pulas Ayesha.
Ayesha mengerjap. Ia bingung. Ia menyentuh bahunya, menyadari dirinya tertutup jas tebal—jas Arsha. Ia ingat semua yang terjadi: obrolan tulus, tawa, dan rasa kantuk yang menenggelamkannya. Arsha tidak menyentuhnya sama sekali. Ia hanya menjaganya.
Hati Ayesha terasa hangat.
Lalu, telinganya menangkap suara itu. Bukan musik, bukan siaran berita, melainkan lantunan indah yang bergema dari kamar tidur utama.
*Lantunan ayat suci*.
Rasa penasaran dan ketenangan mendorong Ayesha untuk bangkit. Ia menarik napas, merapikan gaun dan rambutnya sejenak, lalu berjalan pelan dan tanpa suara menuju sumber suara.
Ayesha berhenti di ambang pintu kamar tidur. Ia melihat Arsha, duduk bersila di atas sajadah, wajahnya menunduk fokus pada lembaran kitab suci, cahaya matahari pagi yang lembut memandikan bahunya. Suaranya terdengar sangat damai dan tulus.
Ayesha merasakan sesuatu yang aneh dan kuat di dadanya. Itu bukan lagi rasa penasaran seorang pekerja terhadap klien. Itu adalah rasa kagum yang dalam. Pria kaya raya yang bisa mendapatkan apa pun, yang membayar mahal hanya untuk ditemani, namun menjalani pagi buta dengan kesederhanaan dan ketakwaan.
Dunia Ayesha, yang selama ini penuh dengan pragmatisme dan perjuangan keras, tiba-tiba terasa tenang. Ia berdiri di sana, menyerap setiap lantunan ayat, hatinya mulai dipenuhi oleh rasa damai yang belum pernah ia temukan dalam pelukan uang.
Ia menaruh hati.
Perlakuan Arsha yang penuh hormat, ketulusannya yang polos, kepeduliannya pada ibunya, dan kini, ketenangannya dalam beribadah, semua itu membentuk bayangan pria yang jauh dari citra yang ia kenal.
Ayesha mundur perlahan, kembali ke sofa. Ia duduk, menyembunyikan dirinya dari pandangan Arsha, lalu mengambil ponselnya. Ia membuka kalender, menghapus janji temu yang seharusnya ia isi dengan klien-klien lain. Ia ingin memastikan ia ada di sisi Arsha lusa nanti, bukan lagi sebagai pekerja bayaran, melainkan sebagai... teman.
Beberapa menit kemudian, Arsha selesai mengaji. Ia melipat sajadah dan kembali ke ruang keluarga. Ia mendapati Ayesha sudah terbangun, duduk tegak di sofa dengan mata berkaca-kaca.
"Selamat pagi, Ayesha," sapa Arsha lembut. Ia sedikit salah tingkah. "Maaf, apa aku membangunkanmu? Suaraku saat mengaji mungkin terlalu keras."
Ayesha tersenyum, senyum yang kali ini jauh lebih tulus dan penuh makna.
"Tidak, Tuan Arsha. Sama sekali tidak," jawab Ayesha, suaranya sedikit serak. Ia menatap Arsha. "Selamat pagi."
"Aku ingin aku segera memesankan sarapan pagi di sini? Atau kau lebih suka kita sarapan di luar?" tanya Arsha menawarkan sesuatu apa yang di inginkan Ayesha.
...----------------...
Next Episode....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.