Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
meminta pisah
Gita bangkit perlahan, memakai pakaiannya yang teronggok dilantai,perbuatan suaminya tadi.
Lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas. Jemarinya gemetar saat mengetik pesan singkat. Bukan kepada Darren, melainkan kepada sahabat lamanya, Rina.
Gita: Rin, apa lowongan di kantor lama kita masih ada? Posisi Marketing Manager itu? atau yang lainnya pun tidak apa apa,yang penting bekerja.
Tak lama, balasan dari Rina masuk.
Rina: Hai Git! Syukurlah kamu hubungi aku. Semenjak kamu resign, posisi itu memang kosong dan belum diisi. Kenapa? Tumben tanya. Ada masalah sama Darren?
Gita tak membalas pertanyaan Rina. Ia fokus pada keputusannya.
Gita: Aku mau apply lagi. Besok aku ke kantormu. Tolong bantu aku.
Setelah mengirim pesan itu, Gita merasa sedikit lega, seolah sehelai beban telah terlepas dari bahunya. Ia menyeka sisa air mata dan memandang pantulan dirinya di cermin kamar yang gelap.
"Aku bukan lagi Gita yang dulu, Mas. Aku tidak akan membiarkan harga diriku terus diinjak-injak," bisiknya pada diri sendiri.
Keesokan paginya, Darren sudah rapi dengan setelan jas mahalnya. Ia turun ke ruang makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Gita yang sedang menyiapkan sarapan.
"Aku pergi. Jangan lupa minum obatmu," ucap Darren dingin, seolah itu hanya formalitas.
Gita tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. Darren kemudian berjalan keluar ,tanpa iringan Gita dari belakangnya sambil menenteng tas,seperti sebelum seblumnya dilakukan.
Suara mobil suaminya menderu meninggalkan pekarangan rumah,seperti tidak mempermasalahkan istrinya tidak mengantarnya kedepan.
Setelah yakin Darren pergi, Gita segera bersiap. Ia mengenakan pakaian kerjanya yang sudah lama tersimpan di lemari. Ia mengambil tas dan kunci mobil, lalu melaju menuju kantor lamanya.
Sesampainya di lobi perusahaan yang familiar, jantung Gita berdebar kencang. Ini adalah tempat di mana ia pernah memiliki harga diri dan pencapaian. Rina menyambutnya dengan pelukan hangat bercampur tatapan prihatin.
"Aku tidak menyangka kamu akan memutuskan kembali bekerja Git. Apa yang terjadi?" tanya Rina saat mereka duduk di kafetaria kantor.
Gita menceritakan semua yang terjadi: sikap dingin Darren, tuduhan-tuduhan menyakitkan, dan malam yang membuatnya sadar bahwa pernikahannya telah kehilangan esensi cinta dan rasa hormat.
"Aku rela resign demi dia, Rin kamu tahu itu. Aku buang karierku demi bisa menjadi istri yang baik, menyambutnya pulang, tapi sekarang? Dia bahkan tidak menghargaiku sebagai istrinya, apalagi sebagai manusia," ujar Gita, suaranya tercekat.
Rina menggenggam tangan Gita seolah memberi kekuatan. "Keputusanmu sudah benar. Kamu terlalu berharga untuk terus disakiti. Aku akan bantu kamu bertemu HRD. Mereka pasti senang melihat track record kamu."
"Terimakasih ya Rin,kamu memang selalu bisa diandalkan." kekeh Gita,walau tatapannya menyiratkan kesedihan yang mendalam.
Hari itu, Gita menghabiskan waktunya mengurus kembali proses rekrutmen. Ia merasa energi dan semangatnya kembali, semangat yang hilang sejak ia memilih menjadi 'istri rumahan' yang dituntut pasif.
Sore harinya, ia pulang. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Ia tahu, jam segini Darren sudah tiba di rumah.
Benar saja, Darren sudah duduk di ruang tamu, membaca koran sambil menyesap kopi. Wajahnya tegang saat melihat Gita baru masuk dengan pakaian blazer formalnya.
"Dari mana kamu?" tanya Darren, nadanya menuduh.
Gita meletakkan tasnya di sofa dengan tenang. "Dari luar, Mas. Mencari udara segar."
"Kenapa pakaianmu seperti itu? Kamu mencari kerja?" nada suara Darren berubah tinggi.
"Ya. Aku kembali bekerja di perusahaan lama," jawab Gita tanpa basa-basi.
Darren berdiri, matanya memancarkan kemarahan. "Apa-apaan ini, Gita?! Siapa yang mengizinkanmu?! Aku sudah bilang, aku mau istriku di rumah!" Darren setengah berteriak.
"Itu maumu, Mas. Bukan mauku," balas Gita tegas. "Dulu aku menurut karena cinta. Sekarang aku kembali bekerja karena harga diri." Gita ikutan menaikkan suaranya.
"Harga diri? Kamu bilang kamu tidak punya harga diri kalau tidak bekerja?! Kamu merendahkan suamimu?"
Gita menatap tajam ke mata Darren. "Aku merendahkan diriku sendiri, Mas, saat aku membiarkanmu berkata-kata kasar, saat kamu hanya menganggapku sebagai pelampiasan, dan saat kamu tidak pernah lagi melihatku sebagai partner, melainkan beban. Aku tidak akan lagi menjadi istri yang kamu kurung dan kamu sakiti."
Kata kata Gita menusuk kalbu suaminya.
Darren terdiam. Ekspresi wajahnya menunjukkan keterkejutan yang nyata melihat perubahan istrinya.
"Baiklah," kata Gita lagi, menarik napas dalam-dalam. "Aku juga sudah memikirkannya semalam. Karena kita sudah tidak punya lagi rasa hormat, dan kamu sudah tidak menginginkan aku, lebih baik kita berpisah sekarang. Mumpung belum ada anak di tengah pernikahan kita."
Kata-kata itu bagai palu godam menghantam dadanya,
"...lebih baik kita berpisah sekarang. Mumpung belum ada anak di tengah pernikahan kita."
Kata-kata Gita yang tegas dan final itu menusuk telinga Darren. Raut wajahnya yang semula terkejut berubah menjadi merah padam. Matanya menyala dipenuhi amarah. Ia tidak bisa menerima bahwa Gita, istrinya yang selama ini penurut, berani mengucapkan kata-kata perpisahan.
"Jaga bicaramu, Gita! Beraninya kamu bicara tentang perpisahan!" raung Darren.
"Kenapa, Mas? Apa kamu takut kehilangan orang yang bisa kamu remehkan dan sakiti seenaknya?" tanya Gita, suaranya bergetar namun matanya tetap teguh menatap Darren.
Plak!
Tangan Darren terayun cepat. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Gita. Kepala Gita tertoleh ke samping, rasa perih menjalar cepat. Ini bukan kali pertama Darren menunjukkan sikap kasar, dan ini kali kedua ia mengangkat tangan pada Gita.
Gita memegang pipinya yang panas dan nyeri. Air mata yang sempat ia tahan, kini meluncur deras, namun bukan air mata kesedihan, melainkan kemarahan dan kekecewaan yang memuncak.
"Kamu... kamu menamparku lagi mas?," lirih Gita, tidak percaya.
Darren tersentak, tangannya yang baru saja menampar Gita kini sedikit gemetar, namun egonya terlalu besar untuk menyesal.
"Itu balasan karena kamu sudah tidak tahu diri! Kamu pikir siapa dirimu berani meminta cerai dariku?! Aku suamimu, Gita! Aku yang memberimu kehidupan nyaman!" bentak Darren, berusaha menutupi rasa terkejut dan sedikit penyesalannya dengan amarah.
Gita mendongak, menatap Darren dengan tatapan yang penuh luka dan kehancuran. "Hidup nyaman macam apa, Mas? Hidup nyaman yang dibayar dengan harga diri dan kesehatan mentalku? Aku lebih baik miskin harta, tapi kaya akan kedamaian hati!"
Ia melangkah mundur, menjauhi Darren. "Tamparan ini adalah titik terakhir, Mas. Aku sudah mantap. Aku akan mengurusnya. Kita akhiri saja pernikahan yang sudah tidak ada artinya ini."
Darren berusaha meraih lengan Gita, namun Gita menepisnya.
"Jangan sentuh aku! Pergilah, Mas. Urus pekerjaan dan kepuasanmu di luar sana. Aku akan mengurus diriku sendiri."
Gita berlari ke kamar tamu yang semalam ia tempati, mengunci pintunya dari dalam. Ia terduduk di belakang pintu, menangis tersedu-sedu. Pipi yang memar tidak sesakit luka di hatinya. Keputusan ini berat, tetapi ia tahu ini adalah satu-satunya jalan keluar.
Di balik pintu yang terkunci, Darren menggedor dengan frustrasi.
"Buka, Gita! Jangan kekanak-kanakan! Kita bisa bicarakan ini baik-baik!"
Gita tidak merespon,sibuk dengan tangisannya.
beberapa menit berlalu,suara suaminya dan gedoran pintu tidak ada lagi kedengaran.
sepertinya suaminya sudah pergi.
Gita kembali menangis pilu.
Baru juga sejam tertidur,tiba tiba pintu kamarnya kembali digedor jauh lebih kencang dari yang pertama.
"Gita buka pintunya..! ada masalah penting! cepat! kita harus segera kerumah sakit.!"
bersambung...