Ibu Kos Ku
Suara berisik terdengar dari sebuah rumah panggung di samping rumah keluarga Hartono. Itu adalah suara dari dua pasangan kekasih yang sedang menghabiskan waktu bersama seperti biasa. Ya, itu adalah Roni dan Ayu, yang sedang menikmati saat-saat terakhir mereka di kampung halaman. Setiap kali mereka merindukan satu sama lain, rumah peninggalan orang tua Roni menjadi tempat mereka untuk berbagi kebersamaan.
"Sayang, apakah kamu benar-benar akan pergi meninggalkan aku besok?" tanya Ayu, ingin memastikan apakah Roni benar-benar akan berangkat ke kota untuk melanjutkan studinya.
"Ya, sayang, aku harus pergi. Ini adalah pesan dari mendiang ayahku," jawab Roni dengan tegas. "Tenang saja, setelah aku mendapatkan semuanya, aku pasti kembali dan menikahimu. Di kota, kita bisa mendapatkan banyak ilmu dan peluang pekerjaan. Itu semua bisa membantu aku untuk menjadi pria yang lebih mapan dan diterima oleh keluargamu."
Ayu menghela napas pelan. "Baiklah, kalau itu keputusanmu. Aku akan selalu menunggumu. Semoga kamu tidak melupakan janjimu. Untuk malam ini, aku ingin menginap di rumahmu. Anggap saja ini perpisahan sementara kita," ujar Ayu, matanya mulai berkaca-kaca. Ia tidak bisa menahan kepergian Roni yang akan meninggalkan kampung mereka untuk mengejar cita-citanya di kota besar.
"Aku melakukannya untuk kita juga, Ayu," kata Roni, memegang tangan Ayu dengan lembut.
Malam itu mereka habiskan berdua, di atas tempat tidur yang menjadi saksi banyak kenangan indah mereka. Ayu tidak peduli dengan orang tuanya yang mungkin sedang menunggunya pulang di rumah. Saat itu, yang penting baginya adalah kebersamaan dengan Roni, lelaki yang sangat ia cintai, yang sebentar lagi akan meninggalkannya.
Keesokan paginya, Roni yang sudah menyiapkan segala sesuatunya pun segera pamit pada Ayu. Di kampung ini, ia tak memiliki siapa-siapa lagi, selain Ayu yang selalu setia mendampinginya. Beberapa bulan lalu, orang tuanya meninggal, dan kini Roni harus hidup sebatang kara. Keputusan untuk pergi ke kota menjadi langkah baru dalam hidupnya, dan ia berjanji untuk kembali setelah meraih kesuksesan.
"Sayang, hati-hati ya. Jangan lupa kirim surat ke Ayu. Jaga kesehatan di sana, karena tidak ada Ayu yang bisa merawat kamu," pesan Ayu dengan air mata yang perlahan menetes. Malam yang penuh gairah itu tak cukup untuk menghapus kesedihannya akan perpisahan ini.
"Aku akan selalu ingat pesanmu. Kamu juga jaga dirimu baik-baik, ya. Aku pasti kembali. Tunggu aku," jawab Roni dengan penuh keyakinan, sebelum akhirnya naik ke becak yang akan mengantarkannya ke stasiun.
Roni menatap pemandangan sawah yang menghampar luas di kampungnya. Ia tak menyangka bahwa hari ini adalah hari terakhirnya di tempat yang penuh kenangan ini. Namun, ia sadar bahwa sebagai seseorang yang sebatang kara, ia tak punya banyak pilihan. Tak ada warisan yang ditinggalkan orang tuanya, dan kini ia harus melangkah ke kota untuk melanjutkan studi dan mencari pekerjaan demi masa depan yang lebih baik.
Setelah menempuh perjalanan panjang dengan kereta api, Roni akhirnya tiba di kota besar. Turun di stasiun kereta api, ia segera membuka selembar kertas yang berisi alamat kampus tempat ia akan mendaftarkan diri.
"Ternyata lumayan jauh dari sini. Kukira lokasinya lebih dekat," gumamnya. Tak ada pilihan lain, ia mulai mencari taksi untuk membawanya ke sana.
Seorang sopir taksi menghampirinya. "Tuan, mau ke mana?" tanya sang sopir ramah.
Roni menyerahkan kertas yang memuat alamat kampus tersebut. "Saya mau ke alamat ini, Pak. Saya tidak terlalu paham wilayah kota. Saya datang dari kampung."
Sopir itu membaca alamat tersebut dan tersenyum. "Oh, mau daftar di kampus ini ya? Kebetulan anak saya juga sekolah di sana. Tapi, rencananya kamu mau tinggal di mana? Apa ada keluarga di sini?"
"Sayangnya tidak, Pak. Saya datang sendiri dan rencananya akan mencari kos-kosan di sekitar kampus," jawab Roni.
"Begitu ya. Tapi kos-kosan di sini mahal-mahal loh, Nak," kata sopir itu mengingatkan.
"Nanti saya cari yang lebih murah, Pak. Kalau harus jauh sedikit dari kampus, tidak apa-apa," jawab Roni yakin.
Sepanjang perjalanan, mereka berbincang santai. Roni memperkenalkan dirinya, sementara sopir itu membagikan beberapa tips agar berhati-hati di kota besar. Setelah beberapa waktu, mereka tiba di depan kampus yang megah.
"Pak, saya cuma punya uang segini. Kalau kurang, nanti saya lunasi," kata Roni sambil menyerahkan uang.
"Sudah cukup, Nak. Kamu jaga diri baik-baik ya. Kota ini beda dengan kampung. Hati-hati," pesan sang sopir sebelum meninggalkan Roni.
Roni memandang kampus besar itu dengan takjub, namun ia memutuskan untuk mencari kos-kosan terlebih dahulu sebelum mendaftar. Beberapa jam ia berkeliling, tapi setiap tempat yang ia temukan memiliki biaya sewa yang sangat tinggi.
"Astaga, mahal sekali. Kalau begini, aku tidak bisa makan," gumamnya kecewa. Ia melanjutkan perjalanan, berharap menemukan tempat yang lebih murah.
Namun, di sebuah gang sempit, ia tak sengaja bertemu dengan sekelompok pemuda jalanan. Saat ia hendak berbalik untuk menghindar, mereka sudah melihatnya.
"Heh, mau ke mana kamu? Ayo ke sini gabung," panggil salah satu dari mereka.
"Saya cuma lewat, Bang. Maaf, saya salah jalan," jawab Roni dengan sopan, berniat pergi.
Namun, mereka menghadang. "Tunggu dulu. Kamu orang kampung, ya? Di sini ada uang perkenalan. Berikan sebagian uangmu, biar aman," kata mereka.
Roni berusaha menjelaskan. "Maaf, Bang. Saya tidak punya banyak uang. Ini saja hanya cukup untuk sewa kos dan makan."
"Sudah, jangan banyak alasan. Cepat keluarkan uangmu," kata mereka memaksa.
Roni, yang tak punya pilihan, memilih melarikan diri. "Berhenti, sialan! Kejar dia!" teriak salah satu dari mereka.
Roni terus berlari, menyusuri gang-gang sempit. Namun, karena tak mengenal wilayah itu, ia malah tersesat. Dengan napas terengah-engah, ia melihat sebuah rumah dan memutuskan masuk untuk bersembunyi.
"Sial, kota ini ternyata seram juga," gumamnya sambil mengatur napas.
Tiba-tiba, suara seorang wanita mengagetkannya. "Hei, apa yang kamu lakukan di sini? Jangan-jangan kamu mau mencuri?" seru wanita itu.
Roni langsung menjelaskan. "Bukan, Mbak. Saya hanya berusaha menghindari preman yang mengejar saya. Kalau tidak percaya, saya akan pergi sekarang."
Wanita itu mengamati Roni yang tampak ketakutan, lalu bertanya. "Kamu bukan orang sini, ya? Dari kampung, kan?"
"Iya, benar, Mbak. Kok Mbak tahu?" tanya Roni.
"Hanya menebak," jawab wanita itu sambil tersenyum tipis.
Roni memperkenalkan diri. "Nama saya Roni, Mbak. Saya sedang mencari kos-kosan, tapi belum dapat yang sesuai. Harganya mahal sekali, sedangkan uang saya tidak banyak."
Wanita itu mendengarkan dengan perhatian. "Oh, kamu mencari kos-kosan, ya? Kebetulan di sini juga kos-kosan, tapi saat ini penuh. Mungkin minggu depan ada yang kosong."
"Walah, kalau begitu saya harus cari tempat lain. Hari sudah hampir malam," kata Roni, hendak pergi.
"Tunggu," kata wanita itu menghentikan langkahnya. "Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal sementara di rumah saya. Ada kamar kosong untuk sementara waktu. Kota ini tidak aman, apalagi untuk orang baru seperti kamu."
"Benarkah, Mbak? Tidak apa-apa?" tanya Roni ragu.
"Tidak apa-apa. Ayo, ikut saya," ajak wanita itu.
Roni mengikutinya ke dalam rumah. Wanita itu memperkenalkan dirinya. "Ini rumah pribadi saya, dan di belakang adalah kos-kosan milik saya. Kamu bisa tinggal di sini dulu. Panggil saja saya Mbak Maya."
"Terima kasih banyak, Mbak Maya. Tapi apa suami Mbak tidak keberatan kalau saya tinggal di sini?" tanya Roni.
Maya tersenyum tipis. "Saya sudah lama menjanda, Roni. Jadi tenang saja, saya tinggal sendiri."
Roni mengangguk penuh terima kasih. "Baik, Mbak Maya. Sekali lagi, terima kasih."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments