Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Luna duduk diam di tepian ranjang, menatap sepasang benda berkilau yang ada di tangannya. Ia menggigit bibir bawahnya, hatinya merasa gelisah karena telah membuat sebuah kesalahan.
Berarti saat itu, kotak perhiasan milik si pria yang terjatuh. Tapi dengan bodohnya, Luna mengira jika itu adalah miliknya, lalu memasukkannya begitu saja ke dalam kopernya.
“Aku harus mengembalikannya. Tapi, dimana aku bisa menemukan pria itu?” gumam Luna, tatapannya masih tertuju ke arah cincin tersebut.
Pada akhirnya, Luna kembali membuka koper dan memasukkan kotak perhiasan itu ke dalam kantung di sudut. Benda berharga seperti ini, harus disimpan dengan baik. Begitulah pemikiran Luna sebelum dia bisa mengembalikannya pada sang pemilik.
“Kenapa Ibu kembali menyimpan cincinnya? Aku bahkan belum mencobanya,” tanya Siena dengan polos.
Luna berpikir sejenak, putri keduanya itu telah melihat semuanya. Namun, Luna akan berusaha untuk menyembunyikannya sebisa mungkin. Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman antara dirinya dan David.
Luna melangkah mendekat, lalu duduk berlutut, agar sejajar dengan putrinya. “Karena itu bukan milik Ibu. Jadi, Ibu terpaksa untuk menyimpannya sebelum dikembalikan pada pemilik aslinya. Dan, bisakah ini menjadi rahasia kecil kita berdua, sayang?”
Siena tampak berpikir dengan wajahnya yang sangat lucu. Kemudian ia tersenyum sambil mengangguk penuh keyakinan. “Oke! Ini akan menjadi rahasia kecil kita berdua.”
Luna menarik nafas lega, lalu memeluk tubuh Siena dengan sayang. Meski di dalam hati, ia masih merasakan gelisah. Memikirkan bagaimana caranya menemukan pria asing itu.
Cklek…!
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Menampilkan David yang mendadak masuk ke dalam kamar tanpa adanya ekspresi sama sekali. Ia hanya melirik ke arah Luna sejenak, tubuhnya sedikit membungkuk, menyapa Siena dengan berbeda, sangat lembut.
“Sayang, kalian sedang apa?” tanya David pada Siena.
Luna tampak gugup. Apakah Siena bisa menjawab pertanyaan Ayahnya dengan benar, atau malah akan berkata jujur dan mengatakan semua yang telah dilihatnya. Tapi, bocah kecil itu tampak tenang, dan dengan santainya menjawab.
“Ibu baru saja membacakan satu cerita untukku,” jawab Siena dengan nada riang.
David mengangguk kecil, “Oh begitu, ya,” gumamnya tanpa merasa curiga.
Luna yang sejak tadi hanya diam, merasa begitu lega. Siena memang masih kecil, tapi dia bisa menepati janji dan menjaga rahasia dengan baik.
Tanpa banyak bicara lagi, David langsung berkata, “Ayo kita turun untuk makan. Semua orang sudah menunggu di ruang makan.”
“Bukankah kamu mengatakan jika sudah makan dengan anak-anak?” tanya Luna bingung.
“Aku sudah kenyang, Ayah. Aku tidak mau makan lagi,” rengek Siena sambil memeluk bonekanya.
“Sayang, nenek sudah masak banyak buat kita. Kasihan dong nanti nenek,” bujuk David pada Siena.
“Nggak mau, pokoknya nggak mau.”
Seketika itu pula wajah David berubah, matanya menoleh ke arah Luna, seperti tengah menyalahkan sang istri. Tapi David masih mencoba untuk menjaga emosinya agar tidak tampak buruk di hadapan putri mereka.
“Baiklah, jika tidak mau maka ayam goreng hari ini akan dimakan habis oleh kakakmu,” ucap David lagi masih berusaha untuk membujuk.
Namun usaha itu gagal. Siena justru tampak kesal, bocah perempuan itu bahkan sampai berpaling dan tak mau menatap ke arah Ayahnya. Membuat David harus mengalah dan menyetujui keinginan Siena. David mendekat, mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Siena, lalu berucap,
“Baiklah, Ayah tidak akan memaksa. Ayah juga minta maaf, ya,” ucap David sangat lembut. Tatapannya kembali beralih pada Luna, meski hanya sekilas. “Ayo, kita turun sekarang.”
Luna berdiri, merapikan bajunya. Tak lupa juga ia mengatakan pada Siena untuk tidak memakan terlalu banyak coklat yang ada di dalam tasnya. Saat Luna sampai di pintu depan, tanpa sengaja ia bertemu dengan seseorang, Sarah, putri sulungnya.
Sarah hanya berdiri diam, tanpa ekspresi seperti biasanya. Tapi Luna tetap tersenyum, wanita itu mendekat dan memeluk putrinya, meski Sarah sama sekali tak memiliki niat untuk membalas pelukan tersebut. Luna juga tak mau mempermasalahkannya, ia hanya ingin menjadi seorang ibu yang baik, meski sedikit sulit.
“Ayo kita makan sama-sama,” Luna berucap lembut setelah melepaskan pelukannya.
Sarah hanya membalasnya dengan mengangguk kecil. Keduanya mulai berjalan beriringan, menuruni anak tangga menuju lantai bawah.
Saat baru sampai, Luna sudah mendapatkan tatapan maut dari ibu mertuanya. Meski, semua itu berbeda saat menyambut putra dan cucunya sendiri. Sepertinya keramahan itu memang khusus bagi keluarganya saja, sedangkan menantu? Itu tak berlaku bagi menantu, karena menantu hanya dianggap sebagai orang asing yang menumpang hidup pada keluarganya.
Semua berjalan dengan biasa, hingga Bu Galuh mulai bersuara. “Dulu saat Ayah kalian sering pergi untuk bekerja, ibu selalu menunggunya di depan rumah agar bisa langsung menyiapkan makanan untuknya,” Bu Galuh terkekeh kecil, tangannya berulang kali mengaduk makanan yang berada di hadapannya. “Tapi sekarang zaman sudah berbeda, banyak dari para wanita yang tidak menyadari pentingnya menyiapkan makan untuk suaminya.”
Hening, tak ada satupun dari orang yang berada di sana mau berkomentar maupun menjawab ucapan Bu Galuh. Terlebih lagi dengan Luna. Dia merasa jika kata-kata kasar itu sengaja ditujukan kepadanya.
“Tapi aku akan selalu mencoba menyiapkan makanan yang lezat untuk Mas Doni, Bu,” jawab Maria dengan senyum sumringah. “Keahlian memasak ku juga bertambah, itu semua berkat ibu.”
“Wah ibu memang sangat hebat,” David melirik ke arah Luna sejenak, lalu kembali menatap lembut pada ibunya. “Kuharap bakat luar biasa itu bisa diturunkan juga pada istriku.”
“Entahlah,” Bu Galuh mengucapkannya dengan nada seolah merendahkan. “Tergantung pada istrimu, antara mau atau tidak.”
Luna tak tahan lagi. Dia merasa disudutkan, tidak dihargai, bahkan mereka secara sadar menertawakan itu semua. Anehnya semua orang tertawa tanpa menganggap Luna ada, kecuali satu orang, dan orang itu adalah kakak iparnya, yaitu Mas Doni. Pria itu sama sekali tak menanggapi apapun, ia hanya diam dan tetap menikmati makanannya, seolah tidak terganggu sedikitpun.
Tangan Luna mengerat pada sendok, mencoba bertahan, tapi sekuat apapun manusia pasti tetap akan tumbang jika terus menerus dihina tanpa henti.
“Maaf, tapi saya sudah berusaha untuk menyiapkan makanan untuk putra ibu,” ucap Luna secara tiba-tiba. Membuat suasana yang awalnya sudah penuh canda tawa kini kembali sunyi. “Tapi, putra ibu menolaknya, dan mengatakan jika sudah makan diluar,” Luna melanjutkan.
“Kamu bilang apa?” tanya Bu Galuh, memastikan jika dirinya tak salah dengar dengan ucapan Luna.
“Luna apa yang kau katakan pada Ibu? Cepat minta maaf!” desak David dengan mata yang sudah melotot.
Luna masih diam dengan hati yang bergejolak. Ingin rasanya mengatakan semua yang dia rasakan semenjak tinggal di rumah ini, tapi ada suatu hal yang tak bisa dia lakukan, yaitu tampak buruk di hadapan putrinya. Luna bahkan hampir menangis, tak tahan dengan semuanya. Tapi saat dirinya menoleh ke arah Sarah, bocah perempuan itu menatapnya, seolah mengatakan apakah ibunya akan berbuat onar lagi setelah semua orang merasa bahagia?
“Luna?” David kembali mendesaknya, kini suaranya lebih tegas dari sebelumnya.
“Biarkan saja. Ibu memang sudah tua, wajar jika ucapan ibu tidak bisa diterima oleh kalian yang masih muda.”
Luna kini tengah mengalami pergolakan batin yang sangat keras. Hati kecilnya mengatakan untuk tetap berpendirian teguh pada keyakinannya. Tapi, wajah polos Sarah yang kini bahkan hampir menangis, membuat Luna mengurungkan semua niatnya. Sifat egoisnya ini akan membawa rumah tangganya dalam kehancuran, jika dirinya tak bisa mengendalikan diri.
Dengan kesadaran penuh, Luna menghembuskan nafas, berharap jika keputusannya ini memang benar. Dengan sangat hati-hati Luna menundukkan kepalanya di hadapan Bu Galuh, kemudian berucap.
“Saya minta maaf, Ibu. Tidak seharusnya saya berkata dengan sangat kasar,” ucap Luna dengan nada sungguh-sungguh.
Melihat hal itu Bu Galuh tersenyum penuh kemenangan. Terbukti jika tak ada satupun orang di rumah ini yang berani menentang ucapannya.
“Ibu memaafkanmu, Luna. Kedepannya Ibu harap kamu bisa lebih bijaksana lagi,” jawab Bu Galuh.
“Ibu memang sangat murah hati,” imbuh David yang sangat memuji tindakan Bu Galuh.
Meski sudah memaafkan, tapi sikap dan tatapan yang sering ditujukan Bu Galuh pada Luna masih tetap sama. Yang artinya, jika sesungguhnya Bu Galuh hanya ingin sebuah pengakuan, bukan benar-benar ingin berusaha menjaga hubungan yang lebih baik lagi.
Meski begitu, Luna tetap merasa lega. Sebagai seorang Ibu, ia masih bisa menjaga perasaan putrinya. Saat Luna menoleh ke arah Sarah, bocah perempuan itu telah kembali melanjutkan makannya, sambil sesekali tersenyum.
‘Syukurlah, karena Sarah tidak semakin kecewa padaku.’
Batin Luna dalam hati. Tidak menjadi masalah jika dirinya harus merasakan kesakitan ini, yang terpenting keluarganya bisa tersenyum dan merasa senang di rumah ini.
Luna juga melanjutkan makannya, meski ia tampak hanya mengambil nasi dan sayur saja.
Hingga hal aneh kembali terjadi. Saat Maria hendak mengambil ayam goreng terakhir dari atas piring, Doni tiba-tiba mengambilnya terlebih dahulu, lalu meletakkan ayam goreng itu di piring Luna.
“Lho, Mas, apa yang—” tanya Maria kebingungan.
“Lihat itu, kamu sudah makan dua ayam sedangkan Luna belum,” ucap Doni saat melihat beberapa tulang ayam di piring istrinya. Ia beralih dan berucap ke arah Luna. “Makanlah, jangan sungkan. Lagipula kamu belum makan lauk sama sekali.”
Semua orang yang mendengarnya langsung terdiam. David bahkan tampak tertunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Pasalnya di atas piringnya masih terdapat empat potong ayam goreng yang belum dimakan.
Sedangkan Maria masih menatap ke arah Luna, berharap jika adik iparnya itu akan menolak pemberian Doni karena merasa tak enak padanya.
Alih-alih menolak pemberian Doni, Luna justru mengulas senyum sembari berucap. “Terima kasih, Mas,”
BERSAMBUNG