Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Devan berhasil dibawa ke ruangan terpisah. Sementara Ayah Endra dilarikan ke klinik terdekat.
Nara terpaku di tempat, wajahnya pucat pasi, bayangan Devan yang menyerang ayahnya Endra masih jelas terukir di retina matanya. Getaran halus mengguncang tubuhnya, suara-suara di sekitarnya terasa jauh dan samar.
Mama Devan menghampirinya, memeluknya dengan kelembutan yang menenangkan. Orang tua Nara pamit dan membawa pulang Renata yang masih menangis tersedu, meninggalkan Nara dalam pelukan hangat keluarga Devan.
Di lobi, Nara duduk termenung, merasakan guncangan emosi yang luar biasa. Setelah beberapa saat, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Mama Devan berkata dengan suara lembut, “Sabar ya, Nara. Papa dan Omamu sedang menenangkan Devan. Kita beri dia waktu sebentar. Melihatnya seperti itu pasti sangat mengejutkan, apalagi di hari pernikahan kalian. Tapi percayalah, Devan bukan orang jahat. Dia hanya … gagal mengendalikan emosinya.”
Nara bertanya dengan suara sedikit gemetar, “Ma, apa yang sebenarnya terjadi dengan Devan? Apakah dia baik-baik saja?”
Mama Devan menggeleng pelan, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang dalam. “Mama juga nggak tahu, Nara. Tidak biasanya dia seperti ini. Mungkin … mungkin dia sudah terlalu lama memendam sesuatu. Dan sekarang … semuanya meledak.”
Nara terdiam, pandangannya tertuju pada pintu ruangan tempat Devan dibawa. Kebencian Devan pada ayahnya Endra memang terlihat nyata, tetapi perilaku Devan tadi sungguh di luar batas pemahamannya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang terasa asing dan menakutkan.
Mama Devan menggenggam tangan Nara, mencoba memberikan kekuatan. “Kamu kecewa dengan Devan, ya? Di hari pernikahan kalian … dia malah kehilangan kendali atas emosinya.”
Nara membalas dengan menggeleng pelan, menahan air mata yang mengancam untuk jatuh. Ia kembali bertanya dengan suara bergetar, “Nggak, Ma. Aku … aku sangat khawatir dengan keadaannya. Bagaimana kalau kita temui dia sekarang?”
*
Larut malam menyelimuti kamar hotel. Aroma bunga mawar dan melati, sisa-sisa pesta pernikahan, menghangatkan ruangan yang kini terasa sunyi dan dingin.
Nara menemukan Devan terbaring lemah di ranjang pengantin, wajahnya pucat di bawah cahaya remang lampu tidur. Keringat dingin masih membasahi pelipisnya, napasnya terdengar sesak. Papa Devan berdiri di samping ranjang, wajahnya dipenuhi kelegaan dan kekhawatiran yang bercampur aduk.
Papa, suaranya serak menahan lelah, berbisik, “Dia sudah lebih tenang. Dia bilang sedikit pusing dan sangat lemas. Nara, tolong temani dia. Kalau terjadi sesuatu, segera hubungi Mama. Papa dan Mama harus menemui pamannya Devan dan bertanggung jawab atas kejadian tadi.”
Nara mengangguk pelan, rasa cemas masih mencengkeram hatinya. “Iya, Pa. Aku akan menjaga Devan. Mungkin dia memang butuh istirahat.”
Setelah orang tua Devan pergi, hanya Oma yang tersisa sejenak. Oma mendekati Nara, suaranya berbisik lirih di tengah keheningan malam, “Devan sangat membutuhkanmu, Nara. Berikan dia ketenangan. Besok, kalau ada kesempatan, Oma ingin membicarakan sesuatu yang penting. Sekarang, Oma ingin beristirahat dulu. Kamu nggak apa-apa ditinggal sendirian?”
Nara tersenyum simpul, mencoba meyakinkan Oma. “Nggak apa-apa, Oma. Kalau terjadi sesuatu, aku akan segera meminta bantuan.”
Oma pun pamit. Keheningan malam kembali menyelimuti kamar pengantin. Hanya aroma bunga mawar dan melati yang masih terasa, menyertai Nara yang mendekati ranjang. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang wajah Devan yang masih terlihat lelah dan pucat dalam cahaya remang.
Dengan lembut, Nara bertanya, suaranya hampir tak terdengar di tengah sunyi malam, “Dev … apa yang sebenarnya terjadi?”
Nara mengambil selimut, menyelimuti tubuh Devan dengan penuh perhatian. Saat jari-jarinya menyentuh dada Devan yang terasa dingin, Devan tiba-tiba memegang tangannya dengan erat, membuat Nara tersentak.
Sepasang mata itu terbuka, memandang Nara dengan tatapan yang dipenuhi kelembutan. “Nara … kamu nggak apa-apa, ‘kan? Aku … aku nggak menyakitimu, ‘kan?”
Nara merasakan kembali kehangatan tubuh Devan. Ia menggenggam tangan Devan, membawanya ke pipinya, merasakan detak jantung suaminya yang masih berdebar.
Dengan suaranya yang terdengar lembut, Nara menjawab, “Nggak, aku nggak apa-apa. Aku hanya cemas sama keadaanmu.”
Devan menatap Nara dengan kelembutan yang menyentuh. “Kamu pasti ketakutan, ya? Maafkan aku, Nara.”
Nara membalas dengan usapan lembut di wajah Devan, wajah pria asing yang kini menjadi suaminya. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya—kekhawatiran, kecemasan, dan sedikit … kasihan.
“Kamu terlalu terbawa emosi. Kenapa kamu meminta maaf padaku?” Nara bertanya, suaranya masih lembut.
Devan menepuk bantal di sisinya, mengajak Nara untuk berbaring di sampingnya.
Dengan perasaan campur aduk—ketakutan, kasih sayang, dan kebingungan—Nara menurut. Devan langsung memeluknya erat, tubuhnya masih gemetar.
Devan berbisik di telinga Nara, suaranya masih bergetar, “Aku benar-benar membenci Papa Endra. Aku nggak tahu persis apa yang terjadi, tapi … Papa bilang, aku memukulnya tadi.”
“Sstt… tenanglah. Kamu nggak perlu menjelaskan apa pun sekarang. Yang penting, kamu tenang dan kendalikan dirimu. Besok kita bicara lagi,” bisik Nara, suaranya lembut dan menenangkan.
Gadis itu kemudian mendaratkan ciuman singkat dan terasa lembut, di bibir Devan. Sebuah ciuman yang lebih dari sekadar sentuhan fisik; itu adalah ungkapan dukungan dan kasih sayang.
Devan merasakan kehangatan yang menenangkan mengalir di tubuhnya. Ia mengerti, ciuman dan sentuhan Nara adalah obat bagi jiwanya yang sedang bergejolak. Kelembutan Nara menenangkan amarahnya yang masih tersisa.
Devan membalas ciuman Nara dengan lembut, kali ini lebih dalam. Sebuah ciuman yang penuh syukur dan kelegaan. Tangannya, yang sebelumnya terlihat lemas dan gemetar, kini mulai bergerak dengan lembut, menelusuri lekuk tubuh istrinya, mencari ketenangan dan keinti-man di tengah badai emosi yang baru saja mereka lalui.
***
Beneran tidur loh, Mas Dev. Awas aja nyari kesempatan pas nggak bertenaga gitu 🤭
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar