Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebangkitan Nyai Rante Mayit
Di pos evakuasi The Vault, Semarang, malam menebal dengan hawa aneh yang membuat semua orang gelisah. Langit mendung tapi tak turun hujan. Di tengah barisan tenda pengungsi, satu tenda besar ditutup rapat dengan kain putih penuh rajah merah. Tak ada yang berani mendekat.
Agent Liana berdiri bersama dua agen lainnya, menggenggam senjata namun tak bisa berbuat apa-apa.
"Medan energinya... bukan sihir biasa. Ini ritual pemindahan jiwa," gumam salah satu agen berbisik dengan wajah pucat.
Di dalam tenda, Uwa Dargo duduk bersila. Di hadapannya, sebuah mangkuk tanah liat berisi darah segar—darah Ningsih, yang diam-diam pernah ia ambil saat gadis itu tertidur. Di sekelilingnya, beberapa warga Gunung Jati yang tak menyadari apa-apa tergeletak, tubuh mereka mengering perlahan. Uwa Dargo menggumamkan mantra dalam bahasa kuno yang hanya dipakai oleh para pemuja kegelapan masa lalu.
Tangannya gemetar saat menggambar lingkaran ritual terakhir.
"Aku... kembalikan kau, Raras... dari kubur sunyimu… ke dunia ini. Dunia yang mencabutmu dari pelukanku," bisiknya dengan mata berkaca-kaca.
Namun tak ada yang terjadi di dalam tenda itu.
Karena sesungguhnya, bukan di sini tempat kebangkitan itu.
---
Di Desa Gunung Jati, tepat di atas sumur tua yang terkubur di balik ilalang, tanah mulai mendidih. Batu-batu retak. Dari celah retakan, asap hitam tebal menyembur disertai suara tangisan bayi dan jeritan wanita. Tanah seolah mengeluh.
Akar-akar mencuat dari dalam bumi, lalu…
SESUATU merangkak keluar. Bukan manusia. Bukan pula makhluk biasa.
Nyai Rante Mayit bangkit.
Ia tidak berteriak, hanya berdiri dengan gaun putih compang-camping yang menjuntai sampai tanah. Rambutnya menjulur seperti hidup. Di dahinya, rajah darah terbentuk dengan sendirinya. Aura kutukannya mengguncang udara, membuat langit desa retak seperti kaca berjamur.
Di kejauhan, angin membawa suara dari Semarang—suara Uwa Dargo, lirih tapi jelas.
"Aku kembalikan kau… Raras… demi cinta yang tak pernah mati…"
Nyai Rante Mayit membuka matanya. Merah. Basah. Dunia kembali mengenal ketakutan paling purba.
Tubuh Uwa Dargo rebah pelan di tengah lingkaran darah dan abu dupa. Matanya terbuka menatap langit tenda yang tak terlihat, senyumnya kecil—senyum seseorang yang akhirnya bertemu kembali dengan cinta yang ia kubur bersama dosa.
“Raras… maafkan aku…”
Jantungnya berhenti berdetak. Uwa Dargo, dukun terakhir Desa Gunung Jati, mati dalam pengorbanan cinta yang telah berubah menjadi pemanggilan neraka.
Akar-akar raksasa yang menggulung tubuh ketiga Pawang Tanah Merah itu kini mengering, pecah seperti kayu tua. Tanah Desa Gunung Jati kembali hening… untuk sesaat.
Tim Mystic Guard berdiri dalam diam. Nafas mereka berat. Keringat bercampur darah dan debu.
Taki merapikan pena emasnya. Sasmita masih menggenggam shotgun emas yang mulai memudar cahayanya. Yama duduk bersila menenangkan detak jantungnya. Raga mengatur ulang alat frekuensinya. Asvara menarik napas dalam-dalam, Awi di pundaknya mulai bicara pelan-pelan menenangkan.
Ningsih menunduk. Lalu diam. Jemarinya meraba pelan lengan kirinya.
Bekas tusukan. Kecil. Seperti jarum suntik.
Tatapannya kosong. Tapi pelan-pelan berubah jadi ngeri.
“Ada yang ambil darahku…” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Waktu aku tidur di tenda evakuasi…”
Taki langsung menoleh. “Apa?”
Sebelum mereka sempat mencerna lebih dalam…
Tanah desa kembali bergetar. Tapi kali ini... berbeda.
Tanah di dekat sumur tua—tempat legenda Nyai Rante Mayit dikubur hidup-hidup—mendidih seperti daging rebus. Kabut merah mulai keluar dari dalamnya. Udara membeku. Langit berubah kelabu dan waktu seakan berjalan lambat.
“Jangan-jangan… Uwa Dargo…” Ningsih tersentak, suaranya bergetar.
Asvara memeluk tongkatnya erat. Awi gemetar dan sembunyi di balik jubahnya.
Dari sumur tua itu…
Tangan penuh luka keluar.
Lalu satu lagi. Rambut panjang mencuat dari sela-sela tanah. Kabut pekat melingkupi semuanya. Aroma bunga kematian menyengat. Jeritan samar terdengar dari arah perbukitan, padahal tak ada siapa-siapa.
Sosok itu bangkit. Nyai Rante Mayit. Ibu Iblis Jahanam. Raras Sukesi.
Matanya merah meneteskan darah. Kain putihnya koyak seperti dikoyak arwah. Tatapannya menusuk siapa saja yang melihatnya.
“Cinta… darah… dan kutukan. Kalian pikir ini sudah selesai?”
Tawa cekikikan menelan seluruh desa.
Dan malam pun runtuh ke dalam kegelapan.
Angin berhenti bergerak.
Waktu seolah diam.
Suasana di Desa Gunung Jati yang baru saja lengang setelah kemenangan Mystic Guard berubah menjadi medan sunyi yang lebih mematikan. Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada hembusan daun. Hanya detak jantung. Jantung mereka.
Langkah-langkah lembut terdengar dari arah sumur tua yang kini menghitam seperti dibakar dari dalam. Kabut merah menyelimuti tanah, menggulung lembut seperti asap dupa dari dunia lain. Aroma anyir darah dan bunga kamboja bercampur jadi satu, menusuk hidung, membuat tengkuk semua orang berdiri kaku.
“Dia… dia muncul di sini,” gumam Raga pelan, napasnya membeku di tenggorokan.
“Sihir ini… bukan dari dunia ini,” kata Taki, suaranya bergetar untuk pertama kali.
Sasmita menegakkan tubuhnya, tangan kirinya meremas selendang pusaka yang masih berlumur tanah dan darah pawang. Ia bersiap, tapi tak bergerak. Yama berdiri perlahan, menggenggam vial kecil racun antik miliknya—meski dalam hati tahu, racunnya mungkin tak akan berguna.
Dan Asvara…
Asvara membeku.
Awi di pundaknya menggigil. Bukan karena takut biasa—tapi takut dari memori yang purba. Takut yang hanya bisa dirasakan oleh roh-roh penjaga yang tahu siapa sebenarnya yang kini melangkah ke arah mereka.
Ningsih jatuh berlutut.
Dari dalam kabut, sosok itu muncul.
Langkahnya pelan, tapi tanah retak setiap kali kakinya menyentuh bumi. Rambutnya menjuntai hingga menyentuh tanah, berkilau merah gelap seperti dicelup darah lama. Kain putih yang menutupi tubuhnya berlumur tanah dan bercak hitam yang seperti bekas pembakaran tubuh. Di lehernya, ada kalung besi tua, menghitam oleh karat dan dosa.
Tapi bukan itu yang membuat mereka mundur satu langkah.
Matanya.
Sepasang mata merah menyala, tak seperti api, tapi seperti bara dari neraka yang tidak pernah padam.
“Kalian kompak.” Suaranya seperti tawa seorang ibu yang lembut, tapi juga mengandung ribuan jeritan dari dasar sumur kematian.
“Kalian pintar. Kuat. Dan… lucu.”
Ia berhenti di depan Ningsih.
“Kau… darahku. Dagingku. Darah dari darah. Ningsih...”
Ningsih menatapnya. Tak bisa bersuara. Tubuhnya bergetar hebat, bukan karena kedinginan, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang mengenali sosok itu. Sesuatu dalam darahnya berdenyut… menjawab panggilan.
“Siapa... siapa kau?” bisik Ningsih akhirnya, suara lirih yang nyaris tak terdengar.
Nyai Rante Mayit tersenyum. Senyuman itu manis seperti pelukan ibu, tapi di balik senyuman itu ada kekosongan yang bisa menelan dunia.
“Aku yang mengandungmu, di garis masa yang jauh. Aku yang disumpah oleh dunia untuk tak punya cinta… tapi aku cinta. Aku cintai Uwa Dargo, dan dia mengorbankan semua untuk membangkitkanku… demi kau, anakku.”
Semua Mystic Guard menegang.
“Apa maksudmu?” Asvara maju selangkah, suaranya tak bergeming meski matanya masih menyimpan gentar. “Kau iblis. Penjagal. Pemanggil arwah sesat—”
“—Dan juga ibu. Sama seperti ibu-ibumu,” potong Nyai Rante Mayit tenang.
“Perempuan yang disalahkan karena tak patuh. Karena mencintai ilmu. Karena berani. Maka dunia menyebutku iblis, padahal aku hanya perempuan yang tak tunduk.”
“Itu pembenaran!” bentak Raga. “Kau korbankan bayi-bayi dalam ritualmu! Kau bunuh banyak orang untuk kekuatan—”
“Dan apa beda kalian?” bisiknya tajam.
“Kau, si anak metal yang melolong dengan energi neraka. Dia,”—tangannya menunjuk Yama—“yang bermain racun seperti dewa kematian. Kalian semua punya darah di tangan.”
Semua diam.
Bukan karena setuju. Tapi karena sihir dalam kata-kata Nyai Rante Mayit terlalu kuat. Seperti mantera yang menembus logika.
Taki maju.
“Aku tak peduli siapa kau. Aku tahu satu hal: kau mengancam dunia. Dan kami akan menyegelnya lagi seperti dulu kau disegel.”
Nyai Rante Mayit menatapnya. Senyumnya tak berubah.
“Kau… anak pena. Anak tinta. Yang menulis ulang kenyataan. Tapi kau lupa, anakku: kenyataan bukan untuk ditulis ulang. Kenyataan harus ditelan.”
Tiba-tiba kabut menyeruak.
Ningsih terlempar mundur. Raga langsung menangkapnya, tapi tubuh Ningsih kini bergetar hebat. Suhu tubuhnya naik. Matanya melotot seperti melihat dua dunia sekaligus.
“Dia… dia masuk… masuk ke kepalaku…”
“Ningsih!” Asvara berteriak, lalu menghantam tanah dengan tongkatnya. Awi langsung melompat, berubah menjadi pohon kecil yang menyerap kabut sementara.
Taki membentuk pelindung hologram. Raga dan Yama mulai bersiap membuat medan frekuensi. Sasmita membuka mantra pusaka dari Garut. Dan Hellhowl dari kejauhan sudah bersiap meledakkan getaran suara paling brutalnya.
Tapi Nyai Rante Mayit tak bergerak.
Ia menatap Ningsih.
“Anakku. Pilihan ada padamu. Dunia membenciku, tapi aku tidak membencimu. Darahmu… milikku. Kau bisa segel aku. Tapi kau juga bisa membiarkanku hidup. Bersamamu. Kau dan aku bisa membakar dunia ini bersama.”
Ningsih terisak.
Dunia di sekitarnya bergoyang. Suara gamelan samar terdengar dari tanah. Aroma dupa dan bunga kematian makin kuat.
“Aku…” Ningsih menunduk. “Aku bukan kau.”
Tiba-tiba mata Ningsih berubah. Sekilas merah. Sekilas biasa.
Samar. Tapi cukup untuk membuat Mystic Guard saling menoleh.
Ada sesuatu dalam diri Ningsih yang mulai retak.
“Tutup kuping kalian!” teriak Yama mendadak.
Tapi terlambat.
Nyai Rante Mayit berteriak.
Satu jeritan yang menembus dunia. Suara bayi. Suara perempuan disiksa. Suara janin. Suara roh. Suara iblis. Semuanya bercampur dalam satu frekuensi mengerikan.
Tanah pecah.
Langit berdarah.
Dan gelap pun turun lebih cepat dari seharusnya.