Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal yang Baru, Rahasia yang Tersimpan
Pagi itu langit cerah, seakan ikut merayakan langkah baru Aira.
Di kursi depan mobil Dinda, Aira duduk sambil memandangi kunci di tangannya dimana kunci yang sebentar lagi akan membuka pintu menuju awal hidup yang benar-benar baru.
“Siap?” tanya Dinda sambil meliriknya dengan senyum hangat.
"Siap. Tapi... tetap deg-degan," ucap Aira sambil memandangi kunci itu lagi.
“Itu wajar. Tapi hari ini bukan tentang takut, Ra. Ini tentang merdeka,” sahut Dinda, menggenggam tangan sahabatnya sebentar sebelum kembali fokus menyetir.
Mereka berdua berhenti di depan sebuah apartemen modern dengan arsitektur minimalis dan halaman depan yang tertata rapi.
Bangunan itu tampak tenang tapi elegan. Saat Aira melangkah keluar, ia menatap gedung itu seolah belum percaya bahwa tempat ini sekarang miliknya.
Begitu pintu unit apartemen dibuka, aroma ruangan baru langsung menyambut mereka.
Interiornya sederhana tapi cantik, dengan perabotan kayu terang, pencahayaan hangat, dan jendela besar yang menghadap ke taman kecil.
“Ini... lebih dari cukup,” ucap Aira dengan suara nyaris berbisik.
“Dan ini belum semuanya,” sahut suara dari arah pintu.
Aira menoleh cepat dimana Abraham berdiri di sana, mengenakan kemeja kasual dan celana abu-abu.
Di tangannya ada dua kantong kertas berisi buah-buahan segar, makanan siap santap, dan beberapa camilan kecil.
“Pak Abraham?” Aira hampir tak percaya.
“Saya pikir kamu belum sempat belanja, jadi saya bawakan sedikit makanan,” ujar Abraham santai dan masuk meletakkan belanjaan di meja makan.
Dinda menyenggol Aira pelan sambil tersenyum, lalu pamit dengan alasan memberi mereka ruang.
“Aku pulang dulu ya, Ra. Kamu butuh waktu buat menata semuanya.”
Setelah Dinda pergi, Aira menatap Abraham sambil tersenyum canggung.
“Terima kasih banyak... Ini terlalu baik. Saya benar-benar nggak tahu harus bilang apa.”
Abraham membalas dengan senyum tenang. “Cukup dengan bersyukur dan tinggal di sini dengan nyaman. Itu sudah cukup buat saya.”
Aira membuka kantong belanja dan terkekeh pelan.
“Camilan dan buah sebanyak ini... Pak Abraham sering bawain buat orang lain juga?”
“Enggak juga. Cuma buat orang-orang yang saya rasa pantas dapat perhatian lebih,” jawab Abraham tanpa nada menggoda, hanya pernyataan tulus.
Aira menunduk, merasa pipinya sedikit memanas. Ia belum tahu siapa sebenarnya Abraham.
Bagi Aira pria itu hanyalah pemilik kafe yang bersahaja dan ramah.
Ia tidak pernah menyangka bahwa di balik ketenangan itu, Abraham menyimpan sisi lain yang lebih besar dari satu sisi yang belum terungkap.
Setelah membereskan beberapa barang yang ada, Aira mulai menyusun ulang isi apartemen barunya.
Ia membuka tirai, membersihkan permukaan meja, dan mengelap rak buku yang kosong.
Meski ruangan itu sudah tertata rapi, tetap saja ada banyak hal yang perlu dilengkapi.
“Ada beberapa yang masih kosong, ya,” ujar Abraham sambil melihat sekeliling ruangan.
“Ayo, kita beli perabotan baru. Biar kamu makin betah di sini.”
Aira sempat menolak halus, tapi Abraham hanya tersenyum dan memberi isyarat agar ia ikut saja.
Sampai akhirnya mereka berangkat ke toko perlengkapan rumah, berjalan berdampingan sambil membahas barang-barang yang dibutuhkan.
Aira mencatat apa saja yang di perlukan untuk apartemennya, seperti ak sepatu, kursi tambahan, meja kecil untuk sudut baca, dan perlengkapan dapur yang belum lengkap.
Saat mereka memilih selimut lembut di lorong linen, Aira menoleh dan menatap Abraham dengan ekspresi polos penuh rasa ingin tahu.
“Pak Abraham... Sebenarnya Bapak ini siapa, sih?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja, polos dan tulus. Abraham sempat terdiam, lalu tertawa terbahak-bahak sampai matanya menyipit.
Suaranya menggema di antara rak-rak toko, membuat beberapa orang menoleh penasaran.
“Lucu juga kamu ini,” katanya sambil mengusap ujung matanya yang berkaca.
“Aira, semua orang di dunia ini atau setidaknya di kota ini kenal aku. Tapi kamu? Kamu bisa kerja bareng aku dan tetap nggak tahu siapa aku.”
Aira mengerutkan kening, makin penasaran.
“Memang siapa Pak Abraham?”
Abraham hanya tersenyum misterius, lalu berkata, “Nanti saja aku kasih tahu... Kalau kita sudah sampai apartemen.”
Aira memanyunkan bibir, tak puas dengan jawabannya, tapi ia mengikuti Abraham yang sudah mendorong troli berisi belanjaan mereka.
Ia memperhatikan pria itu yang dengan caranya berjalan tenang, ekspresi lembut tapi tegas, dan bagaimana semua pegawai toko menyapanya penuh hormat.
Tak lama kemudian mereka selesai belanja. Saat Aira hendak merogoh tasnya untuk membayar, Abraham sudah lebih dulu menyerahkan kartu pada kasir.
“Pak Abraham! Ini kan untuk saya...”
“Tenang, Aira. Ini bukan soal bayar-membayar. Ini bentuk apresiasi,” sahutnya dengan senyum ringan.
“Lagi pula, kamu sudah cukup repot mengurus desain kafe. Aku senang bisa membantu sedikit di luar itu.”
Aira hanya bisa menatapnya tanpa bisa berkata-kata. Ada sesuatu dari cara Abraham memperlakukannya yang membuatnya merasa dihargai, tapi sekaligus penuh teka-teki.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi nanti tetap harus cerita. Aku makin penasaran.”
Abraham terkekeh. “Janji. Nanti malam aku cerita...”
Sesampainya di apartemen, Aira langsung sibuk membongkar barang belanjaan.
Dengan cekatan ia menyusun rak sepatu, melipat selimut baru, dan meletakkan bantal-bantal kecil di sofa.
Abraham hanya duduk santai di kursi dekat jendela, menikmati pemandangan dan sesekali melontarkan candaan.
“Hebat juga kamu, Aira. Nggak ada satu jam apartemen ini sudah terasa seperti rumah.”
Aira tertawa kecil, menyeka keringat di dahinya.
“Kalau terlalu lama didiamkan, nanti malah malas beresinnya.”
Setelah semua rapi, Aira masuk ke dapur. Ia membuka kantong belanjaan dan mengeluarkan bahan-bahan sederhana.
“Saya masak yang gampang-gampang aja ya, Pak. Spaghetti carbonara, oke?”
“Wah, favorit saya itu,” jawab Abraham dengan senyum puas.
Beberapa puluh menit kemudian, aroma krim, bawang putih, dan keju memenuhi ruangan.
Aira menata dua piring di meja makan kecil mereka, lengkap dengan minuman dingin dan lilin mungil yang ia temukan di sudut lemari.
Mereka makan dalam suasana nyaman, obrolan ringan mengalir tentang makanan, interior, dan rencana kafe.
Namun di pertengahan makan, Aira meletakkan garpunya dan menatap Abraham dengan serius.
“Pak Abraham... janji Bapak tadi di toko. Sekarang waktunya jawab pertanyaan saya.”
Abraham tersenyum, mengangguk perlahan. Ia menyeka mulutnya dengan tisu, lalu bersandar santai di kursinya.
“Baiklah. Aku memang belum pernah cerita apa pun soal siapa aku sebenarnya. Kamu cuma tahu aku pemilik kafe, kan?”
Aira mengangguk, matanya tak lepas dari Abraham.
“Jadi begini... Sebenarnya, aku CEO dari perusahaan hospitality terbesar di kota ini. Kafe yang kamu desain itu... hanya satu dari puluhan tempat yang aku miliki.”
Aira membelalak. “CEO?! Serius? Berarti benar apa yang dikatakan oleh Dinda kalau Pak Abraham seorang CEO,"
Abraham tertawa kecil melihat ekspresi Aira yang campur aduk antara terkejut dan kagum.
“Iya. Aku sengaja nggak bilang dari awal karena... ya, aku ingin tahu bagaimana orang-orang memperlakukan aku tanpa embel-embel jabatan."
Aira terdiam beberapa saat, menyerap semua informasi itu.
“Jadi... semua ini—apartemen, kebaikan Bapak, kerja sama kita—itu bukan semata-mata karena saya karyawan?”
Abraham menatapnya dengan lembut. “Aku melihat kamu berbeda, Aira. Kamu punya keberanian, ketekunan, dan kejujuran yang jarang aku temui. Aku merasa... kamu pantas diberi kesempatan lebih, bukan karena aku CEO, tapi karena kamu memang layak.”
Aira menunduk, hatinya hangat dan sedikit bingung sekaligus.
Ia tak pernah menyangka bahwa pria sederhana yang selalu sopan dan tenang itu adalah sosok penting di balik bisnis besar.
“Tapi Pak, kenapa tidak bilang dari awal?”
“Karena kalau aku bilang duluan, kamu mungkin nggak akan autentik ini. Dan aku ingin mengenal kamu yang asli, bukan yang bersikap karena tahu siapa aku.”
Aira mengangguk perlahan, perlahan senyum muncul di wajahnya.
“Terima kasih... untuk semuanya. Termasuk karena sudah mempercayai saya tanpa harus mengukur saya dari masa lalu saya.”
Abraham hanya tersenyum. “Sama-sama, Aira. Ini awal dari banyak hal baik. Dan kamu berhak atas semua itu.”
Setelah percakapan panjang dan makan malam yang sederhana tapi hangat, suasana apartemen terasa lebih tenang.
Aira membereskan piring-piring dengan hati yang mulai ringan, sementara Abraham berdiri di dekat pintu, mengenakan kembali jasnya yang tadi ia letakkan di sandaran kursi.
“Terima kasih untuk makan malamnya, Aira. Spaghetti buatanmu enak banget,” ujarnya sambil tersenyum.
Aira membalas senyum itu, menatapnya dengan tatapan yang lebih hangat dari biasanya.
“Saya juga harus berterima kasih. Hari ini rasanya... penuh kejutan.”
Abraham mengangguk. “Kamu butuh istirahat. Mulai besok, hari-harimu bakal makin sibuk. Aku jemput kamu jam delapan pagi, ya?”
“Jemput saya?” Aira mengangkat alis, sedikit heran.
“Ya, kita akan ke lokasi kafe. Aku ingin kita lihat progres dan mungkin mulai bahas konsep interior tahap dua. Tapi sebelum itu kita sarapan dulu. Aku tahu tempat yang bagus.”
Aira tertawa pelan. “Baiklah, Pak Abraham. Jam delapan, jangan telat.”
“Mana mungkin aku telat kalau menjemput orang seistimewa kamu?” ucap Abraham ringan, namun nada suaranya membuat pipi Aira sedikit memanas.
“Selamat malam, Aira,” kata Abraham, membuka pintu.
“Selamat malam, Pak Abraham,” jawab Aira pelan sambil berdiri di ambang pintu dan memperhatikan sosok pria itu berjalan menjauh di koridor.
Begitu pintu tertutup dan suasana kembali hening, Aira bersandar pada dinding. Ia menatap langit-langit sebentar, lalu tersenyum sendiri.